19. Kiara: Nyai Bocil

3.6K 335 11
                                    

"Mas! Pelan-pelan nggak bawa motornya? Gue nggak mau mati sama lo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mas! Pelan-pelan nggak bawa motornya? Gue nggak mau mati sama lo. Jadi, jangan ngajak-ngajak gue menjemput maut!"

Sialan! Mas Deka malah tergelak saat aku memandang ketus pantulan wajahnya di kaca spion. Dipikirnya lucu apa, ya? Kalau sampai hal-hal buruk terjadi, jelas-jelas ini bukan lelucon.

Namun, aku tidak heran lagi. Dia adalah Mahardika Sadajiwa, sudah biasa membuat orang kesal karena tingkah tengilnya.

Hari ini aku masih dalam mode ngambek pasca kejadian kemarin. Ya, enak saja, hei! Jangan gila, deh. Siapa yang rela dibuat menunggu sampai hampir satu jam lamanya? Mungkin ada di luar sana yang kesabarannya setebal jilid skripsi, tetapi tidak denganku.

Aku sudah berpura-pura menambah kadar kesabaran saat menunggu kemarin. Lalu, apa yang aku dapatkan? Mas Deka lupa dan pergi menolong Jane! Jane-loh, mantannya. Apalah aku yang mungkin tidak pernah ada dalam bongkahan memorinya?

Ya, wong aku ini hanya orang yang terpaksa menikah. Jadi istri pun hanya sebatas status. Kami juga sudah sepakat untuk tidak terlibat jauh mengurus urusan pribadi masing-masing. Sayangnya, semalam aku berpikir sekian jam. Tentang sikapku terhadap Mas Deka.

Aku tidak suka caranya yang memilih pergi bersama Jane dan abai pada janji yang telah ia buat. Aku terus membahas Jane sehingga dia mengecapku cemburu? Come on! Aku enggak cemburu. Rasa tidak suka ini murni karena kekesalanku atas keteledorannya. Baiklah, lupa memang manusiawi, tetapi selama berjam-jam masa dia tidak memiliki secuil ingatan pun akan janji yang telah diikrarkan?

Seharusnya aku memang tidak memercayai Mas Deka. Huh!

"Sampai, Nyai. Ayo, turun!"

"Nggak usah aneh-aneh lagi, deh! Gue jadi punya banyak nama gara-gara lo."

Mas Deka menyengir sambil membuka helm. Lalu mengacak rambutnya yang sudah mulai agak panjang dan tebal.

"Ya udah, Nyai Bocil. Itu bagus, kok. Namanya panggilan kesayangan dari suami, harusnya diterima dengan ikhlas."

Aku enggan menanggapi lagi candaannya. Memilih melangkah ke teras perpustakaan setelah menyerahkan helm. Aku memang masih jengkel pada Mas Deka, tetapi karena sudah janji mau mengerjakan TA barengan agar bisa memenuhi keinginan Mama Ira untuk lulus bareng, aku pun ikhlas menemani Mas Deka sesuai janji sehari lalu.

Mas Deka mengekor dan pembahasan tentang nama masih belum ingin dialihkan olehnya. "Tapi, Nyai Bocil bagus juga, loh. Jarang-jarang gue denger, Ki."

"Nggak usah rese, Mas. Kalau nggak, gue tinggal, nih. Ingat, ya. Gue masih belum menerima maaf lo, jadi usahakan tingkah lo nggak bikin mood gue rusak parah!" kataku penuh peringatan.

Sambil membuka pintu perpustakaan untukku, Mas Deka tersenyum lebar dan berkata, "Baiklah, Kiara Sayangku."

Aku hanya mendecap dan berlalu memasuki ruangan dengan rak-rak tinggi dan hawa dingin yang langsung terasa. Ah, kangennya! Aku rindu saat mengerjakan TA bersama Mbak Erin di sini. Apa kabar Mbak Erin, ya? Nanti akan aku hubungi dan meminta bertemu demi membunuh rasa kangen.

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang