"Silakan masuk, Mbak."
Mbak Erin segera melewati aku yang berdiri memberikan akses padanya. Benar kata Mas Deka, aku tetap tidak bisa menghindar dari fakta yang mengikat kami berdua. Untuk itulah aku memberikan izin kepada Mbak Erin untuk berkunjung. Walaupun sejak tadi aku diam-diam mengamati wajah Mbak Erin yang menahan diri, mungkin ingin segera menggodaku. Duh, percaya diri sekali!
Sementara Mas Deka melipir ke kamar mandi, aku memilih ke dapur membuatkan Mbak Erin minuman dan mencari camilan di kulkas. Untung masih ada makanan ringan yang dibawakan oleh Mama Ira beberapa waktu lalu. Aku bersicepat menyuguhkan jamuan itu kepada tamu pertama yang datang ke rumah ini-selain keluarga kami tentunya.
"Ki, gue masih nggak percaya tau, tapi setelah lihat lo di sini, ternyata emang bener. Gila, gila, gue nggak nyangka kalau lo dan Bang Deka ... astgaaa!" Dia heboh sendiri dan membuatku menyengir kaku.
"Diminum dulu, Mbak." Aku sengaja mengalihkan pembicaraan.
Mbak Erin mengangguk takzim seraya meraih teh hangat yang aku sediakan. Agaknya sebagai formalitas saja karena tampak Mbak Erin hanya menyesap sedikit. Biar aku tebak, Mbak Erin pasti lebih tertarik untuk membicarakan hubunganku dengan Mas Deka. Sejak tadi matanya terlihat memancarkan binar antusias.
"Jadi ... lo udah pernah anu dong sama Bang Deka?"
"Mbak!" Aku memekik seraya menutup mulutnya dengan tangan kananku. Mbak Erin malah terlihat tidak berdosa setelah mengeluarkan pertanyaan itu-terdengar sangat frontal di telingaku. "Apa pun pikiran jorok yang ada di otak lo sekarang, gue nggak pernah melakukannya."
Seniorku ini terbahak setelah berhasil bebas dari bekapan tanganku. "Ya, ya, santai. Gue cuma bercanda kali. Tapi, masa lo nggak pernah ...."
"Mbak, ih! Nggak, nggak ada yang kayak gitu, ya. Gue sama Mas Deka nikah bukan kemauan satu sama lain. Jadi, please ... berhenti berpikir seperti itu. Gue nggak pernah yang kayak gitu-gitulah."
Mbak Erin kembali mengekeh. "Bukan nggak pernah, tapi belum."
"Nggak, ya! Nggakkk!"
"Apanya yang nggak?"
Suara Mas Deka membuat kami mendongak kompak. Lelaki jangkung itu berjalan mendekat dan duduk di sofa, di hadapan kami. Tangan panjangnya meraih camilan di dalam toples dan mulai mengunyah seraya membagi tatapan antara aku dan Mbak Erin. Aduh, jangan sampai Mbak Erin bertindak iseng lagi.
"Hm, bukan apa-apa, kok. Oh ya, lo mau ngapain ke sini, Mbak? Kok, bisa bareng Mas Deka?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...