Sudah setengah jam gue duduk termenung di bangku panjang bengkel Rega. Menghitung setiap tetes bunyi hujan yang menerpa kanopi bangunan ini. Sia-sia. Itu hanya perbuatan gabut di saat pikiran gue tidak kunjung jernih. Gue terduduk di sana juga bukan sekadar pengin saja, tetapi untuk merenungi kesalahan yang sudah gue perbuat. Namun, mengingat Jane tetap kukuh enggak mau mengaku, lantas harus bagaimana?
Gue tiba-tiba merasa takut buat pulang. Betapa pengecutnya karena merasa enggak sanggup buat ketemu Kiara. Sikap Kiara yang demikian dingin membuat gue merasa canggung buat ketemu lagi. Gawatnya, kami satu rumah, coy! Ini kalau gue pulang sekarang, bisa mati gregetan gue kena silent treatment. Maka dari itulah gue melipir ke tempat Rega sejak siang tadi. Berusaha membantu Rega yang tengah membongkar mesin Vespa PXE2 milik klien yang sempat bermasalah di tempat sebelumnya. Gara-gara kekeliruan masalah packing oli yang menggunakan packing untuk vespa super.
Mau enggak mau, gue ikut turun tangan membantu Rega. Selain karena sedang gabut, gue juga melakukan itu demi menghilangkan pikiran yang lagi penuh. Wajah Jane dan Kiara terus berkelebat dalam benak dan itu jelas-jelas menggangu fokus. Bisa enggak, gue menghilang saja sehari dari peradaban? Sayangnya, terdengar mustahil. Tadi pagi padahal gue sangat optimis bakal bisa melewati kekacauan ini, tetapi enggak ... tatkala teman-teman rese dan beberapa adik tingkat yang gue kenal malah tanya-tanya seenaknya tentang kabar yang beredar. Alhasil gue terpaksa senyum lebar sepanjang waktu jika ada yang bertanya. Sampai pegal ini bibir, asli.
"Ngelamun bae lo." Suara itu membuat gue menoleh dan menemukan Rega yang datang membawa dua gelas alumunium berisi kopi hangat.
Mantaplah hujan-hujan begini ngopi.
"Eh, Ka ... bukannya Radi ngajak lo balik kerja lagi di RadiOcafe?"
"Iya, tapi gue lagi mikir, nih. Akhir-akhir ini lagi ribet masalah skripsi."
Rega menyeruput kopi panas dengan hati-hati. Tangannya yang sudah agak bersih dari jejak oli pun mencomot pisang goreng yang juga dibawanya tadi. Sementara gue sibuk melamun, sampai kapan gue mau tetap di sini dan menghindar dari Si Bocil?
"Gue perhatikan dari tadi, lo ngelamun aja, Ka. Masalah apa lagi selain skripsi?"
"Nggak ada, sih. Gue cuma lagi kepikiran Jane aja."
"Kalau masih suka, ya ajak balikan. Lagian gue masih nggak ngerti kenapa kalian putus. Kalian baik-baik aja selama ini, kan?"
Gue tersenyum pahit kalau harus mengingat sebab-musabab gue dan Jane akhirnya kandas. Kalau diingat-ingat, nyesek juga. Cuma seiring berjalan waktu, gue mulai paham akan keadaan. Sadar bahwa tembok tinggi di antara gue dan Jane enggak bisa dipaksakan. Kami berakhir pun atas keputusan bersama. Sepakat untuk tidak melangkah lebih jauh karena sama-sama tidak ingin mengalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...