"Kita nonton aja, Mas." Kiara membuat pilihan dan gue hanya mengangguk setuju.
Gadis berponi tipis itu bangkit dari posisinya dan bergegas keluar dari kamar. Sementara gue hanya mengekor dan melihat dia sudah duduk manis di depan televisi. Bukan, dia enggak menonton di layar itu, tetapi layar laptopnya. Gue ikut menyusul, duduk di dekat Kiara yang entah sejak kapan mengambil laptop dari ruang belajar.
"Tapi, kita nonton apa, ya, Mas?" tanya dia begitu gue duduk di sampingnya.
"Hm, lo sukanya film apa? Gue lebih suka action-thriller gitu."
"Gue suka komedi, sih."
"Oke, nonton horor aja."
Keputusan gue membuatnya mengerutkan dahi. Tercetak jelas ekspresinya yang menyuarakan tanda protes. Gue terkekeh pelan melihat ekspresi Kiara, tetapi detik berikutnya ... tatapan gue malah enggak bisa beralih dari profil gadis ini. Sejak kapan dia tumbuh menjadi gadis dewasa seperti ini, ya? Padahal di mata gue, dia selalu menjadi Kiara kecil yang jutek, cerewet, tetapi di sisi lain selalu peduli dengan orang lain.
Pikiran gue terantuk pada masa lalu. Saat kami masih kecil dahulu dan menjadi tetangga. Suatu ketika Kiara datang ke rumah gue sambil berteriak meminta ditemani untuk mandi hujan. Gue hampir lupa satu fakta bahwa Kiara sangat menyukai hujan saat masih kecil. Sekarang? Entahlah.
"Ya udah, film romantis aja," tukas gue begitu terselamatkan dari lamunan tentang masa kecil kami. Dia berdecak sesaat dan melirik sewot ke arah gue. "Terus lo maunya apa, Bocil?"
Belum sempat dijawab, suara tetesan air yang menerpa atap membuat gue dan Kiara kompak mendongak. Padahal pagi tadi cuaca sangar cerah, tetapi ramalan BMKG kayaknya melesat jauh. Selang beberapa saat suara rintik hujan makin riuh terdengar. Gue dan Kiara saling pandang selama beberapa saat.
Senyum di bibirnya terangkat sempurna. Sepasang matanya kembali terarah pada jendela dengan gorden yang menari dibalai angin. Lalu, beralih lagi ke arah gue. Wajah antusiasnya tidak kunjung hilang.
"Jangan bilang lo mau ngajak gue main hujan malem-malem gini?"
Kiara malah terkekeh pelan seraya menggeleng. "Nggaklah, tapi kalau lo nggak keberatan boleh, kok."
"Gue keberatan, sih."
Tangannya terangkat hendak menyerang gue dengan pukulan. Refleks gue menghindar saking kagetnya, tetapi tangan Kiara justru terhenti di udara. Dengan gerakan canggung, dia menurunkan tangan dan menepuk-nepuk lengan gue, enggak lupa sambil nyengir lebar.
"Sekarang kita jadi nonton nggak?"
"Nggak, deh. Gimana kalau kita lihat hujan aja."
Ya, ampun! Gue yang tadinya senang karena turun hujan, malah jadi malas karena tahu Kiara akan lebih tertarik pada hujan yang terdengar makin deras. Gadis dalam balutan baju tidur bergambar Dora itu pun bangkit. Astaga Naga! Dia enggak serius, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pasutri Satu Bimbingan√
RomanceKiara: Dia bukan tipeku meski ada yang bilang, dia menantu idaman. Dia berbanding terbalik dengan aku yang enggak banyak bicara. Sementara dia bisa saja talking too much 24 jam. Hanya saja, karena insiden konyol, kami malah hidup seatap selepas aka...