47. Kiara: Dia Setuju, Ya?

3.3K 379 14
                                    

Samar-samar kedua indra penglihatanku menangkap seberkas sinar mentari dari celah kusen jendela

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Samar-samar kedua indra penglihatanku menangkap seberkas sinar mentari dari celah kusen jendela. Semerbak aroma yang cukup membuat perut keroncongan pun menguar. Aku mengusap mata beberapa kali. Hendak bangkit, tetapi pinggangku sedikit terkekang. Ya, tangan Mas Deka melingkar di sana. Begitu aku mengedarkan pandang, ternyata kami tertidur di kamar Mas Randu. Artinya semalam kami tidak pulang.

Aku berusaha menyingkirkan tangan Mas Deka. Untuk sesaat aku memegang pergelangan tangannya. Mengusap lembut punggung tangan lebar itu sekian detik sambil memperhatikannya yang masih tertidur pulas. Aku mengingat bagaimana semalam aku menangis sesenggukan, berkali-kali mengatakan nggak mau pergi.

Sebelumnya mungkin aku dan Mas Deka enggak akan keberatan kalau kami hidup terpisah. Namun, sering berjalan waktu, tanpa dilisankan, tanpa dijelaskan, kami sama-sama merasakannya. Bahwa kami tidak ingin hidup terpisah.

"Mas," lirihku pelan. Sebelum akhirnya bangkit meninggalkan Mas Deka keluar dari kamar Mas Randu.

Aku memilih ke kamar mandi terlebih dahulu. Mencuci muka dengan air dingin akan membuatku lebih segar. Walaupun kedua mataku masih agak sembab karena semalaman menangis. Mas Deka pun dengan sabar menenangkan. Aku tersenyum tipis di depan cermin seiring dengan kedua pipiku yang menghangat.

Kapan terakhir kali aku tersenyum tidak jelas hanya karena melihat atau mengingat seseorang? Entahlah. Kali ini aku merasakannya lagi.

Selesai dengan urusan di kamar mandi, aku bergegas keluar. Bermaksud untuk membangunkan Mas Deka. Sayangnya, pintu kamar Mas Randu terbuka dan tidak ada Mas Deka di kasur. Dia udah bangun? Aku melangkah ke arah dapur untuk menemui Mama, tetapi suara obrolan antara dua orang membuat langkahku tertahan. Aku merapatkan tubuh di tembok lorong, mencuri dengar obrolan Mas Deka dan Mama Ira.

"Kiara mana? Belum bangun?"

"Udah, tuh. Lagi di kamar mandi." Ketika aku mengintip, Mas Deka tampak duduk di sofa sambil memejamkan matanya.

"Ka, Papa udah cerita ke Mama tentang kuliahnya Kiara. Kamu bagaimana? Mau ikut sama Kiara atau bakal biarin Kiara sendiri di sana?"

"Nggak tau, Ma. Aku masih mikir."

Mama malah melempar wajah Mas Deka dengan bantalan sofa. "Nggak usah mikir segala. Bilang aja kamu nggak setuju! Papamu udah bicara sama papanya Kiara. Kalau Kiara  dibiarkan kuliah di Jakarta, Papamu sendiri yang akan membiayai Kiara ... sampai tamat."

Mas Deka berdecak sebentar tatkala membuka mata. "Kenapa, sih? Nggak Papa Malik, nggak Papa Roni ... kalian sama-sama nggak ngasih aku kesempatan untuk bisa menghidupi Kiara, begitu? Maksudku ... aku bisa membiayai kehidupan Kiara! Aku tau Kiara pasti ingin kuliah, tapi nggak secepat itu, kan? Dia harus istirahat dulu, Ma.

"Mama tau, Kiara sampai sakit mengerjakan skripsinya. Apa Mama tau gimana dia berusaha selama ini? Dia sampai begadang, berusaha keras, bolak-balik kampus nggak ada capeknya, lalu sekarang apa? Mau lanjut kuliah? Aku bukannya nggak mendukung, tapi apa bisa jangan terlalu cepat? Kiara butuh istirahat."

Pasutri Satu Bimbingan√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang