Bab 5: Tanda Pengenalan

67 4 0
                                    

Keesokan harinya Agatha terbangun, untuk kedua kalinya wanita itu menemukan dirinya di atas tempat tidur, kali ini dengan pakaian berbeda dan kamar yang berbeda juga.

Dia menelisik seluruh tampilannya yang menggunakan gaun tidur dengan dalaman yang semua sangat pas di badannya, jelas semua pakaian itu bukanlah miliknya.

Benaknya kembali mengingat kejadian tadi malam yang berhasil membuat matanya berkaca-kaca dan sedikit timbul rasa takut dalam hatinya, dia turun dari tempat tidur lalu melepas gaun itu perlahan, terlihat jelas memar dan bekas jemari pria itu di leher jenjangnya.

Begitupun dengan punggungnya yang membiru, dia sempat berpikir jika tulang punggungnya patah karena terlempar begitu saja.

“Kau menyukai tanda pengenalan dariku, baby?” Agatha sontak menarik kembali gaun itu sampai menutupi tubuhnya.

Pria iblis itu sudah berdiri di pintu kamar mandi entah sejak kapan, Agatha tidak mendengar suara langkah kaki atau memang dia terlalu fokus melihat bekas memar di tubuhnya?

“Lumayan. Apa hanya segini kemampuanmu?” ujarnya dingin. Dan Edgar tidak menyukai jawaban itu, Agatha terlihat jelas menantangnya.

“Kau cukup bernyali dari dugaanku.” Edgar mengakui keberanian wanita itu. Dia berjalan mendekat lalu mengurung tubuh Agatha di antara wastafel.

“Jika kau suka maka jangan berhenti menguji kesabaranku, aku bisa membuatmu memohon untuk di ampuni.” bisiknya tepat di atas bibir Agatha.

Aroma tubuh wanita itu begitu memabukkan hingga terasa sulit bagi Edgar untuk menjauh. Tanpa aba-aba Edgar meraih dagu Agatha dan memberi kecupan kecil di atas bibir wanita itu, hanya kecupan lembut yang singkat.

Hal lain yang tak kalah mengejutkan adalah ketika tiba-tiba saja Edgar menggendongnya ala bridal style kemudian berjalan menuju tempat tidur.

Dia meletakkan Agatha dengan pelan di pinggiran tempat tidur dalam posisi duduk, Agatha tidak tahu pria itu menghilang ke mana tapi tak lama kemudian Edgar muncul kembali dengan sebuah kotak obat, pria itu mencari-cari sesuatu di dalamnya dan menemukan salep untuk meredakan rasa sakit dan juga memar.

“Buka gaunmu!” perintahnya menatap Agatha.

Seketika wajah wanita itu terlihat horor, pria gila ini sepertinya tidak pernah berpikir dua kali jika ingin mengatakan sesuatu.

“Berikan, aku bisa melakukannya sendiri.” Agatha berusaha meraih benda itu dari genggaman Edgar namun dia kalah telak karena pria itu dengan sigap menjauhkan tangannya.

“Aku sudah melihat tubuhmu tadi malam, jadi sekarang itu bukan masalah,” ucapnya dengan nada biasa saja. Sementara wajah Agatha sudah memerah karena malu.

“Kau benar-benar sudah gila!” bentak Agatha dengan mata melotot.

“Buka gaunmu, Agatha!” ulangnya dengan nada meninggi.

“Aku tidak mau. Berikan salepnya dan kau bisa keluar.” Agatha tetap bersikeras tidak mau mengikuti perintah pria itu.

Edgar terlihat sudah sangat ingin meledak.

“ini kamarku, kau tidak bisa mengusirku,” ujarnya masih berusaha menahan diri.

“Kalau begitu berikan salepnya dan biarkan aku keluar,” sahut Agatha sambil berdiri mengulurkan tangan kepada pria itu.

Namun Edgar justru meraih pergelangan tangan wanita itu sampai jatuh terduduk di pangkuan Edgar, kesempatan itu langsung di gunakan Edgar untuk melumat bibir Agatha sementara satu tangannya mengunci tubuhnya yang ramping dan tangan yang lain dengan sigap menarik gaun malang itu hingga robek menjadi dua bagian.

“Kau benar-benar keras kepala.” bisiknya di atas bibir Agatha yang terlihat bengkak karena ulahnya.

Edgar menurunkan tubuh Agatha di sisinya dengan posisi membelakangi, sekarang punggung wanita itu berada tepat di hadapannya, Edgar mengambil salep lalu mengolesnya dengan perlahan di seluruh bagian yang memar.

Tanpa di sadari oleh Agatha rahang pria itu mengetat, tidak ada yang bisa menebak raut wajahnya. Agatha merasa bingung dengan sikap Edgar yang sedikit aneh, tadi malam pria itu berusaha untuk melukainya dan sekarang untuk apa dia merepotkan diri mengobati luka tubuhnya?

“Aku akan bersikap baik jika kau menjadi kekasih yang baik dan menurut,” bisik Edgar di tengkuknya. Nafasnya yang hangat berhasil membuat Agatha meremang.

“Aku tidak mau menjadi kekasihmu, mengapa kau memaksa?” tanya Agatha.

“Aku tidak peduli kau mau atau tidak, yang jelas kau saat ini kekasihku.” ucap Edgar sungguh tak bisa terbantahkan.

“Kau tidak bisa memperlakukanku seperti itu,”

“Aku bisa, Agatha. Kau akan menjadi wanita paling bahagia jika tidak membantahku.” Agatha terdiam menggigit bibirnya, dia harus berpikir keras bagaimana cara agar bisa terbebas dari iblis yang sakit jiwa ini.

Agatha tak menyangka bahwa sungguh ada manusia sakit jiwa seperti Edgar di dunia nyata.

“bersihkan dirimu. Ada banyak pakaian yang bisa kau kenakan di sana,” unjuk Edgar ke arah Walk in closet.

“Sebelumnya itu pakaian adikku tapi sekarang kau bisa menggunakannya sebelum kita pergi berbelanja keperluanmu. Setelah itu turun, kau sudah sangat lapar karena cacing dalam perutmu sungguh sangat berisik.” ujar Edgar sambil berlalu dari sana.

...

Agatha berkedip menatap banyaknya gaun bermerek yang tentu saja memiliki harga yang tidak main-main, tidak hanya itu berbagai jenis pakaian, tas dan sepatu wanita terpajang di sana sudah seperti butik.

“Sekaya apa keluarganya? Siapa dia? aku tidak pernah melihat pria itu sebelumnya,” ujar Agatha pada dirinya sendiri.

Dia juga semakin penasaran secantik apa adik pria itu. Mungkinkah seorang artis? Melihat dari barang-barang yang di miliki wanita itu tentu saja mereka bukan orang sembarangan. Dia memutari seluruh walk in closet dan bahkan masih terdapat pakaian baru lengkap dengan label dan harganya yang tiga kali lipat lebih besar dari gajinya tiap bulan.

Agatha sudah bekerja sebagai penyiar selama tiga tahun, baik berita kriminal, berita tentang bisnis dan beberapa yang berkaitan dengan perusahaan milik para konglomerat di kota ini, namun tidak pernah sekalipun Agatha melihat Edgar di jajaran para pria terkaya yang selalu berhasil menyita perhatian publik atau ada hal yang ia lewatkan? Dia semakin penasaran dengan kehidupan Edgar.

---

Dia turun dan mendapati Edgar yang sudah menunggu di meja makan dengan hidangan makan siang yang tertata di atas meja. Agatha sudah pasti tidak akan percaya bahwa yang melakukan itu semua Edgar seorang diri.

“Sulit di percaya tapi ini sungguh sangat enak,” ungkapnya jujur setelah mengetahui Edgar yang telah memasak semua makan siang luar biasa itu.

Kemudian Agatha melihat sekitar dan tidak ada siapapun selain mereka berdua,

“Lalu di mana adikmu? Maksudku bukankah seharusnya dia juga berada di sini?” tanya Agatha dengan hati-hati.

Raut wajah Edgar seketika berubah dingin dan tangannya mencengkram kuat pisau yang berada dalam genggamannya.

“Kau tidak perlu tahu tentang keluargaku apa lagi jika merasa penasaran dengan semua yang kulakukan. Itu berbahaya untuk nyawamu, baby.” desisnya dengan tatapan dingin yang berhasil membuat Agatha terdiam dengan sedikit tersinggung.

'Manusia aneh yang arogan.' bisiknya dalam hati.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang