Bab 53: Malam Pertama

102 0 0
                                    

Agatha tak tahu sejak kapan Edgar menyiapkan dua cincin yang saat ini menjadi pengikat pernikahan mereka.

Meski Agatha sudah mengatakan jika ia tidak dalam pengaruh ancaman, tapi pastor Philip sempat ragu untuk menikahkan keduanya secara tiba-tiba.

Tidak ada pilihan lain selain menuruti Edgar, sudah jelas bahwa menolaknya berarti menyerahkan salah satu nyawa dan kemungkinan besar pastor Philip lah yang akan menjadi korban.

Selama dalam perjalanan pulang, Agatha tak berhenti menatap jari manisnya yang kini terdapat cincin pernikahan.

“Ingin pergi ke suatu tempat?” tanya Edgar memecahkan keheningan di antara mereka.

Agatha menoleh ke arah Edgar lalu menggeleng, dini hari seperti ini tidak ada objek yang menjadi tujuan bagi Agatha selain pulang ke rumah.

...

Mereka akhirnya tiba di kediaman Edgar, pria itu menarik lengan Agatha turun dari mobil dan sedikit menyeretnya menuju lantai dua.

“Bersihkan dirimu terlebih dahulu.” bisiknya melepas lengan Agatha.

Wanita itu menelisik seluruh ruangan yang merupakan kamar pribadi Edgar, jantungnya berdebar kencang ketika menyadari bahwa kini mereka sudah menjadi suami istri—hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di benak Agatha.

Agatha mengintari ruangan menuju walk in closet  untuk mencari sesuatu yang bisa ia kenakan. Namun dia cukup terkejut ketika mendapati pakaian wanita yang hampir setengah memenuhi tempat itu, bahkan ada juga dalaman yang memang merupakan ukurannya.

‘Kapan Edgar menyiapkan semua ini?’ tanya Agatha dalam hati, tapi sudah pasti dia tidak akan mendapat jawaban apapun, dia juga tidak berniat untuk bertanya kepada Edgar.

Tangannya meraih gaun tidur berwarna merah muda dan perlengkapan lainnya sebelum masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri.

Agatha sengaja berlama-lama di dalam sana, pikirannya saat ini tengah berkecamuk.

Bukankah kini mereka telah sah menjadi suami istri, artinya mereka akan melakukan sesuatu seperti layaknya pasangan suami istri bukan?

Semua itu belum bisa di bayangkan oleh Agatha, memang ada perasaan senang dan nyaman ketika akhirnya kembali di rumah ini, tapi dia belum bisa bertindak lebih jauh karena dia tidak memiliki perasaan lebih kepada Edgar.

“Kau sengaja berlama-lama di dalam sana?”

Agatha yang baru saja akan melepas bathrobe dari tubuhnya sontak menoleh ketika mendengar suara bariton itu. Edgar berdiri di pintu menuju balkon dengan kedua tangan yang bersedekap di depan dada.

“Aku? Aku tidak melakukannya,” sahut Agatha tanpa berani menatap Edgar. Pria itu selalu saja berhasil menebaknya.

Bak dewa dari kegelapan, Edgar berjalan mendekati Agatha. Dengan perasaan gugup wanita itu kembali merapatkan bathrobe yang sempat terbuka.

Mata elang milik Edgar menatapnya tajam hingga menghantar rasa panas di kedua pipinya, Agatha menelan ludah kala Edgar semakin menutup jarak di antara mereka.

“Kau terlalu mudah di baca, sayang.” bisik Edgar di depan bibirnya. Agatha hanya mampu mengerjap menahan nafas, dia takut ketika sedikit saja menghela nafas maka bibirnya akan menyentuh bibir Edgar yang tipis.

Namun sama seperti dia, Edgar justru tak bisa melepaskan pandangannya dari bibir Agatha yang begitu menggoda. Nafasnya sendiri terasa begitu berat dan hangat menyapu permukaan wajah Agatha.

Edgar meraih dagu Agatha agar dapat dengan puas memandang seluruh wajahnya. Tapi gejolak hebat dari dalam dirinya tak mampu bertahan walau hanya sedetik, Edgar lalu meraup bibir Agatha dan melumatnya lembut—sangat lembut hingga mampu membuat Agatha melayang.

Lumatan itu perlahan berubah menjadi sangat panas dan penuh gairah. Edgar seakan melampiaskan apa yang telah membuatnya begitu tersiksa sebulan terakhir ini.

Bibirnya kemudian berpindah menyusuri leher jenjang Agatha, meninggalkan jejak basah di beberapa tempat sensitif di sana.

“Ed ...” lenguh Agatha ketika Edgar menghisap pundaknya bagai drakula.

“Di mana bajingan itu menyentuhmu?” tanyanya serak tanpa menghentikan kecupan-kecupan kecil di sepanjang tulang selangka Agatha.

Tanpa di sadari oleh Agatha pria itu berhasil menyusupkan tangan di balik bathrobenya yang terbuka. Dia tercekat ketika Edgar menarik pinggulnya agar lebih merapat, sementara bibirnya masih terus menyusuri leher Agatha sambil sesekali turun ke bagian atas dadanya.

“Apa di sini?” Edgar mengelus dadanya yang tidak tertutupi sehelai benangpun.

“atau di sini?” tangan pria itu berpindah membelai paha dalamnya menuju daerah intim dengan gerakan yang sangat pelan hingga berhasil membuat Agatha kembali melenguh kecil.

Dengan sekali gerakan bathrobe itu luruh dari tubuh Agatha dan terjatuh di lantai.

Agatha membuang muka malu karena tatapan Edgar mampu membakar tubuhnya yang telanjang.

“Ed—”

Ucapnya menggantung di udara karena di detik yang sama Edgar mendorong tubuhnya hingga menabrak meja rias.

Manik Edgar menjadi gelap, Agatha-nya telah tumbuh menjadi wanita dewasa yang begitu matang. Mulai saat ini Agatha hanya miliknya seorang, hanya dia yang boleh berada di sisi wanita itu.

“Kau tumbuh dengan sempurna,” bisiknya membelai bibir bawah Agatha dengan ibu jarinya. Agatha sedikit merasa bingung dengan ucapan pria itu, terkesan seperti mereka telah saling mengenal selama bertahun-tahun lamanya.

Demi memenuhi kepuasan matanya Edgar menelisik setiap inci tubuh Agatha tanpa sedikitpun yang terlewatkan, termasuk memar biru di bagian punggung Agatha tak lepas dari pandangannya.

“Beraninya bajingan itu menyentuhmu.” bisiknya dengan gemuruh amarah yang sangat kentara. Bibir Edgar mendarat seringai bulu di beberapa bagian memar yang mulai memudar.

“Sejauh apa dia melakukannya?” tanyanya, kini wajahnya terlihat dingin dan menggelap.

Agatha hanya menunduk diam, diingatkan kembali apa yang telah di lakukan oleh Rafael membuatnya bergetar takut dan juga malu.

“Agatha, kalian tidak ...” Edgar tidak melanjutkan kalimatnya karena seketika Agatha mendongak menatap wajahnya, wanita itu tentu tahu apa yang di maksud oleh Edgar.

“Apa kau pikir aku akan melakukan hal itu dengannya?!” tanyanya kembali dengan suara yang sedikit meninggi.

“Aku hanya bertanya,” sahut Edgar mengernyit, sementara Agatha membuang muka antara malu dan kesal. Mengapa pria itu bisa berpikir jika Agatha mau berhubungan lebih dengan Rafael?

“Maaf,” ucapan itu keluar dari bibir Edgar membuat Agatha menoleh sambil mengerjap, ada apa pria itu meminta maaf?

“Aku tidak seharusnya meninggalkanmu di sana,” gumamnya menggesekkan ujung hidungnya ke ujung hidung Agatha, sedangkan tubuhnya semakin merapat ke tubuh Agatha yang telanjang.

“Itu—hmpp” Agatha tak sempat mengatakan bahwa itu adalah kesalahannya sendiri karena begitu ia membuka mulut Edgar langsung mengambil kesempatan itu untuk melumat bibirnya.

Edgar yang awalnya bertindak lembut untuk mengeksploitasi seluruh rongga mulut Agatha kini berubah liar penuh gairah. Tangannya menekan tengkuk Agatha agar dapat dengan mudah menguasai seluruh bibir wanita itu, Edgar semakin menggila ketika Agatha mulai merespon ciumannya.

Entah bagaimana Edgar berhasil membuat seluruh tubuh Agatha lemas, kakinya terasa bagai jeli. Namun Edgar seakan tahu akan hal itu, karena selanjutnya dia dengan mudah mengangkat tubuh Agatha untuk duduk di atas meja rias sedangkan kedua kakinya yang mulus melingkar di pinggang Edgar.

Keduanya kembali berciuman,  kali ini tidak hanya bibirnya tapi tangan Edgar juga mulai menyentuh apa saja yang di jangkau olehnya.

Dan lagi Agatha kembali melenguh ketika tangan Edgar membelai putingnya yang mengeras. Edgar sendiri sudah sangat bergairah, tubuhnya panas dan dia membutuhkan Agatha untuk membuatnya tetap bisa waras jika tidak mungkin dia akan gila.

“Agatha ...” desah Edgar dengan mata terpejam, sementara bagian tubuhnya yang mengeras bersentuhan dengan perut Agatha yang polos, menunjukkan betapa tersiksanya dia saat ini.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang