Bab 22: Pengkhianatan Mario

36 1 0
                                    

Sementara sang ajudan yang tidak di ketahui namanya, menunjukkan dua pesan masuk dari Mario kepada Mr Pumpkin.

Pesan itu berasal dari dua nomor yang berbeda.

Mario mengirimkan alamat tempat tinggalnya melalui nomor lama yang sudah di sadap oleh Edgar sedangkan dari nomor yang lain pria itu justru meminta perlindungan dari Mr Pumpkin dan mengancam pria itu.

Mario sangat yakin jika Edgar tidak akan memberinya ampunan bila mengetahui semua  kebenaran yang telah terjadi karena itu Mario tidak memiliki pilihan selain tetap di pihak Mr Pumpkin untuk mendapatkan perlindungan.

Dan seperti dugaannya, Mr Pumpkin menyanggupi permintaan Mario. Mereka membuat temu janji di suatu tempat.

“Dia tidak lagi berguna, dia akan menjadi sampah yang menyusahkan.” … “Alan, kau tahu apa yang harus kau lakukan?” tanya Mr Pumpkin yang duduk di bangku kekuasaannya.

“Ya, tuan.” jawab Alan sedikit menunduk.

Mr Pumpkin mulai menyusun langkah selanjutnya. Sang ajudan—Alan telah mengirim petunjuk berikutnya kepada Mario.

---

Siang itu Dores datang ke ruang Edgar, dia melirik sekitarnya dan tidak menemukan Agatha di sana.

“Ada apa, Dores?” tanya Edgar.

Dores kemudian memberi tahu Edgar informasi baru yang ia peroleh.

Agatha yang kala itu berada di kamar mandi baru saja akan keluar ketika mendengar suara Dores yang berbicara menggunakan bahasa Italia, Agatha mengurungkan niatnya dan tetap berdiri di balik pintu kamar mandi menunggu apa yang akan terjadi.

“Mario sialan, seharusnya aku membunuhmu dengan tanganku sendiri!” ucap Edgar penuh aura gelap.

Agatha sontak menutup mulut dan semakin mendekat untuk mendengar percakapan kedua pria itu.

“Ikuti dia. Aku tidak mau tahu, penggal kepala bajingan itu dan bawa di hadapanku!” perintah Edgar.

Agatha mendengar dengan jelas ucapan Edgar,

“Apa maksudmu?” Agatha yang tiba-tiba muncul dari ambang pintu kamar mandi membuat Dores kaget lalu kemudian segera mengundurkan diri setelah mendapat kode dari Edgar.

Agatha mendekat karena tidak mendapat jawaban dari pertanyaannya.

“Ed, jawab pertanyaanku.” wajah Agatha terlihat pucat,

“Kau mendengar dengan jelas apa yang kuperintahkan.” ujar Edgar dengan tatapan tajam.

“Kau memerintahkan orang untuk membunuh daddyku?” tanya Agatha dengan bibir bergetar.

“bajingan itu bukan daddymu, AGATHA‼!” teriak Edgar menggelegar.

Sontak Agatha mundur dengan tubuh bergetar, perlahan matanya berkaca-kaca setelah mendapat bentakan dari Edgar.

Ada rasa sesak di dalam dada, alih-alih membalas pria itu Agatha justru kembali duduk di tempatnya dengan gemuruh amarah yang terpendam.

Sialnya mengapa tidak ada satupun yang menanggapi emailnya hingga saat ini? Dia harus terlepas dari cengkraman Edgar, pria itu memang bukan manusia tapi iblis berparas dewa.

Dengan pikiran yang buntu serta perasaan tercekik, Agatha memilih untuk keluar sebentar mencari udara segar dan mungkin secangkir kopi dapat menjernihkan pikirannya.

Lift berhenti tepat di lobby, Agatha keluar dari sana hendak ke cafe yang berada di seberang gedung kantor.

Dia berjalan sembari melamun sehingga tidak sengaja menabrak seorang wanita muda yang tengah mengepel lantai lobby.

“Maaf …” keduanya serempak mengucap maaf.

“Tidak. aku yang salah,” ujar Agatha sadar jika dia yang salah di sini.

“Tidak masalah,” sahut wanita itu.

“Terima kasih, Delila.” ujar Agatha. Dia mengetahui nama wanita itu dari nametag yang Delila kenakan setelah itu Agatha kembali melanjutkan langkah kakinya.

Edgar masih di liputi kemarahan, sejak awal dia tidak mempercayai Mario. Namun hal yang lebih membuatnya kesal bukan karena tidak mendapat informasi dari bajingan itu tapi keinginannya untuk membunuh Mario dengan tangannya sendiri tidak pernah tercapai hanya karena otaknya di penuhi oleh bayangan wajah Agatha.

Dia menyugar rambutnya, tidak seharusnya dia membentak Agatha namun sulit bagi Edgar untuk bersikap baik setiap kali mengetahui Agatha mengkhawatirkan Mario.

Selang beberapa menit, Edgar ikut turun lalu menyusul Agatha ke kafe.

Dari jauh dia melihat Agatha dengan wajah murung menyesap kopi miliknya.

Ada sejumlah bajingan di sana yang terang-terangan memperhatikan Agatha.

Edgar mengedarkan pandangannya di sekitar kafe dan menyadari betapa banyak mata yang harus ia congkel di tempat itu.

Edgar melangkah semakin dekat ke arah tempat Agatha duduk, wanita itu seketika mengernyit saat melihat kedatangannya.

Tanpa izin Edgar menarik bangku kosong yang berada di seberang meja tepat di hadapan Agatha kemudian duduk.

Saat itu juga beberapa pria berhenti menatap Agatha setelah mendapat tatapan membunuh dari Edgar.

Pria itu memesan makan siang dan juga secangkir kopi.

Tidak ada tanda-tanda keduanya akan mengobrol, sampai akhirnya Edgar buka suara setelah hampir beberapa menit.

“Aku tidak suka kau sering ke tempat ini,” ucapnya dingin.

Agatha tidak menanggapi, wanita itu justru hendak berdiri untuk membayar bill.

“Aku akan mengacaukan tempat ini jika kau pergi walau selangkah.” desisnya mencengkram pisau dalam genggamannya.

Agatha mengernyit menahan geraman.

Tapi dia salah jika berpikir ucapan Edgar hanya ancaman belaka karena masih beberapa langkah saat Agatha menuju arah kasir, terdengar jeritan beberapa orang dalam ruangan itu.

Agatha sontak berhenti di tengah ruangan dan melihat sekitar di mana orang-orang menunduk ketakutan.

Edgar dengan gerakan cepat berhasil melempar pisau dalam genggamannya ke arah seorang pria yang duduk tidak jauh dari pintu masuk.

Pisau itu melesat hanya beberapa mili dari kepala pria tersebut.

Benda tajam itu mendarat dengan sempurna di bingkai jendela yang terbuat dari kayu.

Bak iblis marah, Edgar melangkah mendekati pria yang menjadi sasaran kemarahannya.

Semua orang di ruangan itu tidak mengetahui apa yang telah terjadi, termasuk pria asing itu.

Edgar menarik pisau tadi kemudian sedikit menunduk ke arah pria yang mungkin sedikit lebih tua dari Edgar.
“jangan sampai aku mengeluarkan kedua bola matamu dengan pisau ini!” desisnya.

“Apa masalahmu, dude?” tanya pria itu masih belum tahu di mana letak kesalahannya.

Edgar seketika menarik kerah baju sang pria tak di kenal dan satu pukulan dari kepalan tangannya mendarat tepat di rahang pria tersebut.

Agatha reflek berlari menarik tubuh Edgar.

“Hentikan, Ed!” Agatha berusaha menarik pinggang Edgar namun sedikitpun tidak ada pergerakan.

“Aku melihatmu menjilat bibir begitu kekasihku berdiri, tatapan birahimu sungguh menjijikkan, sialan.” desis Edgar dengan mata nyalang, baru saja tangannya akan kembali melayang ketika terdengar suara Agatha yang ketakutan

“Ed, hentikan please!” teriak Agatha memeluk lengan Edgar.

Tak ada satu orangpun di ruangan itu yang berani melerai. Tatapan intimidasi dari Edgar membuat semua orang di sana bergidik takut.

“jika bertemu sekali lagi, akan kupastikan itu adalah hari terakhir kau menghirup udara.”

Setelah selesai mengucapkan itu, Edgar meraih jemari Agatha dalam genggamannya lalu membawa wanita itu pergi dari sana.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang