Bab 20: Sikap Dingin Edgar

45 1 0
                                    

Waktu dini hari, salah satu ajudan memberi informasi baru kepada Edgar, pria itu masih berada di ruang kerjanya di lantai satu.

Sang ajudan menyodorkan ponsel Mario yang telah mereka sita kepada Edgar.

Mario mendapat salah satu pesan dari nomor yang tidak di kenal, Edgar mengernyit dalam lalu pria itu segera beranjak dari duduknya menuju tempat Mario di tahan.

Para penjaga menunduk hormat ketika sang tuan melewati lorong dengan langkah penuh kuasa.

Begitu melihat kedatangan Edgar, penjaga langsung membuka pintu dan mempersilahkan Edgar untuk masuk.

Mario masih berada dalam jeruji di satu ruangan khusus dengan penjagaan ketat tentunya, jujur Mario sedikit merasa khawatir dengan tindakan Edgar yang tidak akan terduga.

Pria itu di kenal sangat keji dan tak pandang bulu namun hingga kini bahkan belum sekalipun Edgar menyentuhnya—menyiksa dirinya lebih tepat.

“Mario McLean, kau hanya sedang beruntung. Jika tidak, aku sudah menenteng kepalamu untuk kemudian di lempar di hadapan musuh,” ucap Edgar dengan nada berat yang membuat Mario merinding.

“Ada yang ingin kau katakan?” Edgar memberi kode kepada ajudan yang berada di belakangnya untuk kemudian menunjukkan pesan yang masuk di ponsel milik Mario.

Mario tetap memilih bungkam. Jika Edgar telah bersabar hingga saat ini untuk tidak membunuh pria itu, seharusnya Mario cukup tahu diri untuk tidak menguji kebaikan hatinya.

Edgar tak kunjung mendapat jawaban, ajudan yang lain kemudian masuk ke dalam jeruji lalu mengikat tubuh Mario pada tiang besi yang berada di tengah ruangan.

Jika selama ini Mario bertanya-tanya akan fungsi benda itu maka sekarang dia akan mendapat jawabannya.

Dalam sekali kode seketika tubuh Mario tersengat aliran listrik dari tiang tersebut.

“semakin lama kau bungkam akan semakin tinggi tegangannya,” ucap Edgar, kemudian ajudan kembali menyalakan aliran listrik yang membuat tubuh Mario kejang dengan wajah pucat yang kesakitan.

“Hentikan—kau tidak akan mendapat apapun jika aku mati,” ucap Mario tersengal.

Ucapannya sama sekali tidak berpengaruh bagi Edgar, aliran listrik kembali dinyalakan membuat Mario meraung kesakitan.

Seperti yang di katakan Edgar, semakin lama ia bungkam tegangan semakin tinggi.

Mario merasa jantungnya akan segera copot, tubuhnya bergetar dengan wajah pucat.

Sebelum kembali mendapat tegangan, Mario dengan cepat membuka mulut,

“Mereka anggota Mr. Pumpkin,” ujarnya hampir kehilangan suara.

“Bicaramu menunjukkan kau memang bajingan keparat,” … “Atur kembali tegangan dan buat dia mati di tempat!” perintah Edgar yang membuat Mario seketika kencing berdiri celana.

“Baik. Baik aku akan mengatakan.” Mario menatap Edgar yang terlihat dingin dan gelap.

“Itu salah satu kode dari suruhan Mr. Pumpkin. Pesan itu menunjukkan jika ada target baru yang harus di bunuh,”

“biasanya mereka akan meninggalkan petunjuk untuk rencana selanjutnya,”

Jika menelaah kembali ucapan Mario artinya Mr. Pumpkin belum mengetahui atas penangkapan Mario, setidaknya hal itulah yang dapat di tangkap oleh Edgar.

“Tuan, aku akan melakukan apa saja. Tolong ampuni aku.” Mario menyatukan kedua tangannya memohon kepada Edgar.

“Kau akan mengikuti perintahku?” tanya Edgar menelisik wajah Mario yang putus asa.

“Ya tuan, akan kulakukan,” sahut Mario.

Malam itu Edgar menyusun rencana. Setelah Mario bersumpah dengan nyawanya akan ada di pihak Edgar—dengan syarat Edgar tidak akan membunuhnya maupun Agatha.

Edgar diam-diam memasang alat pelacak di dalam ponsel Mario, benda canggih itu sekaligus dapat merekam seluruh pembicaraan pria itu. Edgar melakukan untuk berjaga-jaga.

Mario akhirnya di bebaskan, rencana pertama yang harus di lakukan oleh Mario adalah dengan memancing ajudan Mr. Pumpkin.

***

Pagi itu seperti biasa, Edgar dan Agatha berangkat ke kantor bersama namun ada yang sedikit berbeda, Edgar lebih banyak diam kali ini.

Agatha juga tidak memiliki keberanian menatap wajah Edgar.

Mimpi tadi malam selalu mengganggu isi kepalanya meski hanya mimpi tapi tetap saja Agatha merasa sangat malu bila harus bertatap muka dengan Edgar.

Tapi apa yang terjadi hingga pria itu jadi lebih dingin? Agatha memang selalu merasa was-was jika Edgar mengetahui rencananya karena itulah dia sedikit merasa gugup jika raut wajah Edgar berubah seperti saat ini.

“Kau sedang marah?” tanya Agatha.

Dia tidak tahan lagi jika harus menerka-nerka apa yang terjadi.

Edgar memalingkan wajahnya ke luar jendela. Entah apa yang di pikirkan pria itu namun yang jelas Agatha tahu ada sesuatu yang berusaha di sembunyikan oleh Edgar. Dia tetap memilih diam tanpa berniat menjawab Agatha.

Hal itu membuat Agatha merasa kesal dan ikut mendiami Edgar. Apa pria itu pikir hanya dia saja yang bisa bersikap dingin seperti ini?

Ketika sampai di basement VVIP, Edgar turun terlebih dahulu lalu melangkah begitu saja di hadapan Agatha.

Wanita itu menatapnya dengan penuh rasa kesal,
“Ada apa dengan bajingan itu?” bisiknya pada diri sendiri sambil mengekori langkah Edgar.

Bahkan ketika berhadapan dengan beberapa karyawan Agatha tersenyum ramah pada mereka, Edgar sama sekali tidak peduli ataupun menatap tajam para pria di sana, yang di rasakan Agatha antara senang tapi juga kesal, biasa Edgar akan bersikap posesif tapi dengan sikapnya yang dingin saat ini membuat perasaan Agatha tak tenang.

Hingga menjelang siang tidak ada percakapan di antara mereka, keduanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

Waktu terasa berjalan begitu lamban dan membosankan, Agatha yang merasa mulai lapar akhirnya memutuskan turun untuk makan siang.

Di depan gedung ini ada salah satu restoran, mungkin dia akan ke sana untuk mengisi perutnya.

Hal yang ia lakukan adalah diam sama seperti yang di lakukan oleh Edgar, dia bersikap acuh dan pergi keluar ruangan.

Setelah kepergiannya Edgar sedikit melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya, tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada pria itu.


Agatha kembali ke kantor setelah selesai makan siang. Dia meletakan dompetnya di atas meja sambil menggerutu, tidak ada kalimat jelas yang keluar dari bibirnya tapi bisik-bisik itu terdengar oleh Edgar yang sudah duduk fokus pada pekerjaannya.

“jika tidak ingin bekerja pulang saja!” ucap Edgar dingin tanpa berniat menatap wajah Agatha.

“YA! Aku memang sangat ingin pulang—pulang ke negaraku sepertinya akan lebih baik!” jawab Agatha dengan suara meninggi.

Dia tidak bisa di perlakukan dingin  seperti ini, Edgar seharusnya berteriak dan mengajaknya adu mulut dengan begitu Agatha tidak akan takut akan pikirannya sendiri.

“Apa masalahmu, Agatha Carter?” tanya Edgar sembari berdiri mendekat ke arah meja Agatha,

“Aku muak dengan ini semua, aku ingin pulang. Itu masalahku!” jawabnya dengan lantang.

“Kau marah karena aku mengabaikanmu.” ... “lalu terlihat jual mahal ketika di perhatikan. Lantas aku harus bagaimana?” tanya Edgar menyipitkan mata.

“Aku tidak marah!” jawab Agatha, namun nada suaranya yang tinggi bertolak belakang dengan ucapannya.

“Ya kau marah, sayang.” Edgar melangkah lebih dekat di hadapan Agatha.

“Aku tidak melakukannya,” sahutnya kembali dengan nada ragu.

Tubuh Edgar yang menjulang tinggi di hadapannya membuat Agatha menahan nafas gugup. Dia menelan ludah lantaran pria itu semakin menutup jarak di antara mereka.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang