Bab 10: Permohonan Marie

44 2 0
                                    

“Rasanya aku ingin cepat-cepat membunuh bajingan itu,” desis Edgar menatap ke sembarang arah.

Dia tidak menyukai wajah Agatha yang memelas karena orang lain, dia tidak suka wanita itu lebih peduli pria lain selain dirinya.

“Kau kekasihku. Kau di pihakku bukan bajingan itu.” Edgar bahkan enggan menyebut nama Mario, membuat hati Agatha sakit.

Kesalahan apa yang sudah di lakukan daddynya hingga Edgar sebegitu marah? Itu adalah pertanyaan yang tidak mendapat jawaban apapun.

“Artinya tidak ada yang bisa menebus kesalahannya?” tanya Agatha.

“Tergantung hal apa yang akan aku dapatkan dari penebusan itu.” khas Edgar sekali.

Tidak ada sesuatu yang cuma-cuma, tentu setiap tindakan ada konsekuensinya, setiap orang harus membayar kejahatannya. Itu prinsip dalam pikiran Edgar.

Namun semenjak bertemu dengan Agatha nyatanya banyak prinsip yang selama ini ia terapkan dalam hidupnya tanpa sadar Edgar telah melanggarnya.

***

Marie memeluk erat tubuh Edgar sambil terisak. Terlihat jelas betapa besar kasih sayang Marie padanya.

“Kau membuat Papa dan Mama khawatir,” ucap Marie mengusap lembut pipi Edgar.

“Aku baik saja, Mam.” sahut Edgar dengan senyum hangat yang tidak pernah di lihat Agatha sebelumnya.

“Kau mendapat wanita secantik ini dari mana, hm?” tanya Marie sembari mendekati Agatha lalu memeluknya seperti memeluk Edgar.

“Dia kekasihku,” jawab Edgar yang berhasil membuat Agatha menelan ludah gugup.

Dia tidak tahu jika Edgar akan memperkenalkannya dengan begitu berani kepada kedua orang tuanya.

Edgar mengelus lembut punggungnya seakan tahu akan kekhawatiran Agatha.

“Siapa namamu, sayang?” tanya Marie menggenggam lembut tangan Agatha.

“Agatha.” ucapnya tersenyum.

“Aku Marie, Mama Edgar dan ini Diego, Papa Edgar.” jelas Marie ramah.

Diego mendekat dan ikut memeluk Agatha.

Agatha sendiri langsung merasa nyaman berada di tengah keluarga Edgar yang bersikap hangat.

Kedua orang tua Edgar sungguh jauh berbeda dari Edgar yang dingin dan arogan.

Sebelumnya dia sudah membayangkan bagaimana wajah permusuhan dari keluarga pria itu namun nyatanya Marie dan Diego begitu baik—sangat baik.

Kini mereka tengah duduk di ruang tamu dan saling mengobrol, lebih tepatnya Marie dan Diego lebih banyak mengajak Agatha mengobrol.

“Apa kalian akan tinggal di sini?” tanya Marie, membuat Agatha mengernyit.

“Ya, hanya malam ini, Mam.” sahut Edgar membuat Marie terlihat sedih.

“Rumah ini besar, kalian bisa tinggal lebih lama, Ed.” ujar Marie dengan harapan Edgar dan Agatha dapat tinggal lebih lama.

“Mam, ada pekerjaan yang harus ku urus di Milan,” … “dan ada hal penting yang harus aku bicarakan kepada Papa—mungkin selesai makan malam.” Edgar kembali terlihat datar.

Marie menghela nafas kecewa tapi dia tahu Edgar sibuk dan banyak hal yang harus di tangani pria itu.

Marie juga tahu betapa besar resiko yang harus selalu Edgar hadapi, dia telah mendampingi suaminya selama bertahun-tahun terjun dalam dunia bisnis yang—bisa di katakan tidak pernah tidak terlibat dalam dunia gelap, walau kini Marie lebih banyak mengingatkan Edgar agar tidak terjun terlalu jauh.

Marie dan Diego pindah ke kota Venesia setelah Diego pensiun.

Mereka memutuskan untuk menikmati sisa masa tua mereka di kota yang penuh pesona ini—kota impian keduanya selama ini.

Namun sayangnya pusat perusahaan keluarga mereka berada di Milan, sehingga Edgar harus tinggal terpisah dengan mereka. Sementara Norah anak gadis mereka yang selama ini tinggal bersama di Venesia kini telah tiada.

Meski begitu, sesekali Edgar akan datang ke Venesia untuk mengunjungi orang tuanya sekalian memantau cabang perusahaan yang ada di sini.

Seperti yang dikatakan pria itu sebelumnya, setelah selesai makan malam Edgar dan Diego pergi ke ruangan khusus, biasa tempat ini menjadi ruang baca bagi Diego untuk mengisi hari-harinya.

Sementara Agatha bersama dengan Marie. Terlihat Marie tak berhenti tersenyum kepada Agatha, “Kau terlalu cantik.” ujarnya tulus kepada Agatha.

“Aku tidak tahu bagaimana pertemuanmu dengan Edgar, tapi aku senang kau menjadi kekasihnya,”

“Kau adalah wanita pertama yang di bawa ke rumah artinya kau begitu spesial baginya.” lanjut Marie mengelus lembut tangan Agatha.

“Aku boleh memanggilmu, Aggie?” tanya Marie membuat Agatha begitu terharu dan sontak mengangguk.

Dia begitu bahagia dapat menemukan sosok ibu  dari Marie yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.

“Aggie, aku pernah menangis sepanjang malam setelah ulang tahun Edgar ke tujuh belas tahun. Seketika aku ingin egois dengan memilikinya seorang diri, aku takut jika dia menemukan tempat ternyaman baru selain aku—ibunya—rumahnya.”

“Suamiku menghiburku sepanjang malam, tapi tetap saja aku menangis. Aku telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang, tapi bagaimana bisa setelah dewasa dia akan menjadi milik istrinya? Hingga akhirnya Edgar mengetahui kesedihanku dan mengatakan dia tidak akan bersama wanita manapun jika bukan atas izinku.” Marie tersenyum sebentar mengingat masa itu.

“... Aku cepat tersadar. Aku akan semakin tua dan suatu hari pasti akan menghadap Tuhan. Mengingat aku akan meninggalkan mereka seorang diri membuat hatiku terasa lebih sakit dari sebelumnya,” Marie tertawa mengingat keegoisan itu.

“Lalu aku mengatakan bahwa mereka memiliki kebebasan dalam mencari pendamping hidup.”

Mendengar cerita Marie membuat Agatha berkaca-kaca serasa bisa mengerti apa yang di rasakan wanita itu.

“Aggie, maukah kau berjanji padaku?” tanya Marie dengan nada lirih.

“Ya?” Perasaan Agatha mulai terasa tidak enak.

“Kumohon, jagalah Edgar untukku,” Marie berhenti sejenak untuk menahan desakan air matanya.

“Dia lemah dan membutuhkan seseorang untuk selalu berada di sisinya,” pinta Marie penuh harap.

Seketika lidah Agatha terasa  keluh, permintaan Marie bukanlah sesuatu yang mudah. Apa lagi jika mengingat bahwa hubungan ini datang dari satu pihak—atas keinginan Edgar sendiri.

Tapi wajah Marie yang sendu membuat Agatha tidak tega, mana mungkin dia bisa menyakiti hati wanita baik itu. Lantas haruskah ia berjanji untuk sesuatu yang belum bisa ia pastikan?

“Ya.” Agatha mengangguk dengan senyum lembut, Marie sontak memeluknya dan berterima kasih.

Sementara itu,

“Kau menemukan pelakunya?” tanya Diego yang duduk tepat di hadapan Edgar, salah satu kaki pria itu berada di atas kaki yang lain dan menunggu Edgar untuk bicara.

“Pa, pelakunya telah di tangkap dan kini berada di Milan,” ucap Edgar, namun Diego melihat ada keraguan di dalam wajah putranya.

“Lalu apa masalahmu, Nak?” Diego langsung ke inti pertanyaan.

“pelakunya bernama Mario, dia ayah dari kekasihku—lebih tepatnya sebagai ayah angkat—tidak aku belum memastikan dengan jelas bagaimana Agatha bisa menjadi anak angkat bajingan itu,” ujar Edgar.

Diego terdiam cukup lama, entah apa yang sedang ia pikirkan saat ini.

“Pa, aku pastikan Agatha tidak terlibat sama sekali.” Edgar sepertinya takut jika kedua orang tuanya menaruh curiga kepada Agatha.

“Kau mengenal wanita itu?” tanya Diego.

Tidak pernah sekalipun putranya itu membawa wanita ke rumah mereka, apa lagi sampai memperkenalkannya sebagai kekasih. Diego merasa ada yang aneh di sini. Edgar mengangguk kecil.

Benaknya kembali terlempar ke dua puluh tahun silam ...

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang