Bab 49: Segera Bertemu

23 0 0
                                    

Pelecehan dan penyiksaan yang di lakukan Rafael masih terus berlanjut, sudah mendekati sebulan tapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan menyelamatkan Agatha.

Dia sudah merasa putus asa; tubuhnya terasa lelah dan mentalnya tak sanggup lagi berada di tempat itu. Setiap kali mengingat perlakuan menjijikan yang di lakukan oleh Rafael membuat Agatha begitu membenci dirinya sendiri.

Kejadian seminggu yang lalu adalah puncak yang membuat Agatha tak lagi memiliki gairah untuk hidup.

Saat itu hari masih sore, Rafael masuk dengan raut wajah gelap dan tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat Agatha sangat ingin menyumpahi pria itu.

“Buka pakaianmu jalang!” perintah Rafael sambil mengarahkan kamera ponselnya ke tubuh Agatha.

Ketika itu Agatha begitu ketakutan, dia meringkuk seperti anak kucing di sudut kamar.

“Aku menyuruhmu membuka pakaianmu, sialan!” teriak Rafel. Wajah pria itu bagai iblis yang tidak memiliki hati nurani.

“Enyahlah ke neraka, kau sungguh manusia paling hina di muka bumi.” desis Agatha dengan nafas berat. Dia bersumpah tidak akan pernah mengampuni Rafael setelah apa yang di lakukan bajingan itu.

Agatha terus saja menghindar ketika Rafael mendekat masih dengan kamera ponsel yang mengarah kepadanya, dia tidak hanya sekali mendapat pelecehan dari Rafael namun kali ini pria itu semakin gila dengan ingin merekam tubuh Agatha yang telanjang.

Entah iblis mana yang sedang merasukinya saat ini, Rafael langsung berteriak yang kemudian membuat dua ajudannya masuk ke dalam kamar. Dia menurunkan ponselnya sebelum akhirnya memberi perintah kepada ajudannya,

“Telanjangi dia!”

Seketika Agatha membelalak sambil menggeleng.

“Kumohon jangan lakukan itu.” dengan mata perih Agatha memohon kepada Rafael agar tidak melakukan hal gila itu.

Namun dua ajudan berbadan besar terus melangkah mendekati Agatha. Salah satu dari mereka meraih dua tangan Agatha dari belakang dan salah satunya berusaha mengoyak pakaian tidur tipis yang ia kenakan.

“jangan lakukan ini, kumohon.” Agatha berurai air mata dan dengan segala upaya berusaha melepaskan diri dari dua pria berbadan besar itu. Namun apa dayanya?

“Kau akan membayar semua rasa sakitku, Rafael.” desisnya dengan mata merah. Tinggal celana dalam dan bra yang tersisa di tubuhnya.

Rafael mengintari tubuh Agatha yang terlentang di tengah ruangan. Kedua ajudannya masih memegang kedua tangan dan juga kaki Agatha, ada banyak memar dan kemerahan di seluruh tubuhnya karena terus berusaha melepaskan diri.

“Wah, siapa kali ini yang kau harapkan untuk membalasku?”

“Kau pikir Edgar akan menolongmu? Oh benar juga, sebelumnya aku cuma mengirim pria itu fotomu yang sedang tertidur dan dia sama sekali tidak merespon.” ucap Rafael membuat Agatha mengerjap. Apa maksud dari pria sinting ini?

“Dan sekarang aku berniat meengirim ini padanya, kita akan tahu apakah dia peduli denganmu atau tidak.” lanjut Rafael sambil menunjukkan video yang baru saja ia rekam.

“Hentikan sialan‼!” teriak Agatha berusaha melepaskan diri. Namun video itu terlihat sudah terkirim kepada Edgar.

Nafas Agatha tersengal, dari wajahnya dia terlihat murka dan juga jijik kepada Rafael.

“Tubuhmu begitu indah, apa karena itu kau menjadi jalang istimewa?” tanyanya sambil menyusuri sisi tubuh Agatha dengan punggung tangannya.

Merasa tak terima, Agatha sedikit melengkung dan meludahi wajah Rafael, tak lupa ia juga melakukannya kepada dua ajudan yang mencekalnya.

Hal itu semakin membuat Rafael murka, dia menampar Agatha lalu menekan tulang rahangnya dengan kuat.

“Kau hidup karena masih berguna untukku. Namun setelah kematian Edgar akan kupastikan kau menyusulnya ke neraka jahanam.” desis Rafael.

Dan hal yang lebih membuat Agatha begitu syok adalah ketika Rafael kemudian menembak kedua ajudannya tanpa peringatan apapun. Di detik itu juga keduanya terkapar bersimbah darah.

“Mungkin saja mereka akan di bunuh oleh Edgar setelah melihat video ini, bukankah lebih baik aku yang menikmati kematian mereka? dengan begitu Edgar akan semakin frustasi karena tidak mendapat bagian apapun.” ujarnya seakan untuk mencabut nyawa seseorang merupakan mainan menyenangkan.

Tubuh Agatha bergetar hebat kala matanya mendapati ruangan itu penuh darah. Meski sudah berusaha kuat, tapi pada akhirnya Agatha terisak sesenggukan. Hatinya begitu hancur, tidak ada lagi yang bisa ia harapkan.

Agatha tersadar dari lamunannya ketika terdengar suara pintu terbuka dari luar. Seorang pelayan meletakkan nampan berisi makan siang dan segelas jus di atas nakas. Dia menatap makanan itu tanpa sedikitpun niat untuk menyentuhnya, tapi entah dari mana pemikiran itu saat kaki Agatha melangkah dengan tatapan kosong. Tangannya meraih gelas jus dan menenggak seluruh isinya, lalu menjatuhkan gelas tersebut hingga pecah.

Tak ada rasa sakit maupun rasa takut ketika ia mencoba menyayat pergelangan tangannya. Hal terakhir yang diingat oleh Agatha adalah pandangannya mengabur dan dengan mudah tubuhnya yang lemah jatuh tak sadarkan diri.

Kematian adalah satu-satunya keinginan Agatha, tapi tidak semudah itu karena setelah beberapa saat bulu matanya yang lentik bergerak perlahan. Dia mencoba menyesuaikan pandangannya pada ruangan yang terasa asing saat ini.

‘Dia di mana?’ tanyanya dalam hati. Jelas tempat ini bukan Villa yang beberapa jam lalu membuat kenangan buruk di benaknya, Agatha sempat berpikir mungkin saja kini dia telah terbebas?

Tapi itu hanyalah harapan kosong, karena tak lama kemudian Rafael kembali muncul di ambang pintu.

Edgar masih terus mencari keberadaan Alan—pria itu menghilang begitu saja selama berada di Paris.

Pagi ini Edgar mendapat kabar jika Agatha kini telah dipindahkan ke kediaman Rafael yang berada di Milan. Edgar masih ingat seminggu yang lalu Rafael mengirimnya video Agatha yang hampir seluruhnya telanjang …

Edgar mengernyit ketika mendapat satu notif dari nomor tak di kenal—kala itu, Edgar bahkan sudah akan menaiki jet pribadinya menuju Villa tempat Agatha berada setelah menonton video tersebut. Namun urung ia lakukan ketika mendapat panggilan masuk dari Rafael.

“Kau suka kejutan dariku, hm?” terdengar suara Rafael yang mengejek dari seberang telepon.

“Kau terlalu berani, bajingan.” desis Edgar mencengkram ponsel dalam genggamannya. Sementara dalam genggaman tangannya yang lain terdapat pistol yang siap melesat kapan saja.

“Duduk saja dengan tenang, aku akan tiba untuk mencabut nyawamu.” sungguh Edgar tidak mampu menahan amarah yang sudah menguasai dirinya—pria itu marah dan tidak ada yang bisa mengehentikannya.

Terdengar suara Rafael yang tertawa sarkas dari seberang telepon.

“Kau tidak perlu terburu-buru untuk datang ke sini, kita akan segera bertemu di Milan. Akan ku pastikan kau tidak akan pernah melihat jalang itu jika berani datang tanpa perintah dariku.” ancam Rafael lalu mematikan sambungan telepon secara sepihak. Dia tersenyum puas, sekarang betapa menyenangkan membuat Edgar merasa begitu frustasi.

Edgar sudah mendapat pesan dari Rafael dan malam ini mereka akan bertemu di markas milik Rafael.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang