Begitu masuk ke ruang rapat, Louisa yang tadinya sumringah kini terlihat sangat muram. Dia mulai berpikir apa gunanya Agatha dalam ruangan itu?
Perubahan wajahnya begitu kentara dan hal itu tidak lepas dari pandangan Dores. Sekarang apa yang ia takutkan sepertinya akan terjadi.
"Nona Terlatto, mungkin sebaiknya saya memberi ini kepada Anda untuk di pahami." Edgar menyodorkan dokumen itu kepada Louisa.
"Hanya Lou. Cukup memanggilku seperti itu, tuan Mateo," ujar Lou.
"Kalau begitu, cukup Edgar. kau bisa memanggilku seperti itu," balas Edgar.
Dari tatapan Lou yang masih polos Edgar tahu apa yang biasa di pikirkan wanita muda seperti Louisa. Edgar bukan tidak tahu jika Lou dengan terang-terangan memujanya.
Mereka mengobrol banyak siang itu, berbeda dengan Agatha yang sibuk dengan dunianya sendiri, bahkan ketika tiba-tiba bola matanya membulat dengan sempurna hal itu tidak luput dari pandangan Edgar.
'Apa yang di pikirkan Agatha?' ingin rasanya Edgar membedah otak wanita itu dan melihat semua apa yang ia pikirkan.
Agatha kini tahu siapa wanita yang berada dalam foto, sesaat dia melirik Edgar lalu mengedipkan mata.
"kau sungguh membuatku penasaran dengan isi kepala cantikmu," bisik Edgar di telinganya.
Tapi reaksi Agatha justru di luar nalar Edgar-tidak, dia begitu gemas hingga rasanya detik itu juga Edgar ingin melumat bibir manis milik Agatha.
Wanita itu melihat ke sembarang arah lalu kembali menoleh menatap wajah Edgar.
Dia masih syok antara benar atau tidak dengan apa yang ia duga saat ini.
"Ada apa baby, mengagumiku?" bisik Edgar kembali.
Baik bisikan Edgar maupun obrolan antara Louisa dan Dores hanya terlintas dengan samar dalam pendengaran Agatha karena pikirannya kembali terlempar dengan ucapan Edgar beberapa hari lalu ...
"Pembunuh itu pantas mendapatkannya ..." ucapan itu keluar dari mulut Edgar pada hari di mana pria itu memberikan tahu Agatha jika Mario sudah tiada.
Agatha reflek menggeleng, dia berharap daddynya tidak terlibat atas meninggalnya Norah Mateo.
Agatha masih ingat dengan jelas ketika berita sadis yang menimpa seorang pelukis muda dari Italia itu santer terdengar di seluruh kota Los Angeles.
Dari awal dia sempat merasa penasaran dengan adik perempuan Edgar yang tidak pernah terlihat hingga saat ini.
Dan ketika di walk in closet yang berada di Los Angeles, Agatha sempat teringat dengan gadis cantik itu namun saat itu Agatha berpikir nama belakang Edgar hanya kebetulan sama dengan Norah.
Kenyataan keduanya memang kakak beradik.
...
Louisa dan Edgar berjalan berbarengan ke depan, sementara ada Dores dan Agatha beberapa langkah di belakang mereka.
Agatha memang sengaja memperlambat langkahnya sembari mengajak Dores mengobrol hingga Edgar dan Louisa tidak terlihat.
"Dores, aku ingin menanyakan satu hal padamu." Agatha berhenti di tengah lorong.
Dia melirik ke arah Edgar yang sudah menjauh menuju lift untuk mengantar Louisa.
Dores ikut berhenti selangkah di belakang Agatha.
"saya akan berusaha memberi jawaban untuk pertanyaan anda, Nona." sahut Dores datar.
"Apakah kematian Norah Mateo ada kaitannya dengan daddyku?" tanya Agatha sedikit berbisik.
Dan kali ini Dores berhasil di buat membisu tanpa bisa menjawab pertanyaan Agatha.
"Benarkah Mario pelakunya?"
"Dores, tolong katakan kebenarannya agar aku bisa tenang," desak Agatha dengan bibir bergetar.
"Nona, sebaiknya anda tidak mencari tahu akan hal itu," ucap Dores gelisah.
"Dores, aku yakin daddyku bukan pelakunya. Tapi jika hal itu benar, aku yakin dia di peralat oleh oknum tertentu," lirih Agatha mencoba meyakinkan Dores.
"Nona-"
"Apa kau ku gaji untuk mengobrol dengan kekasihku?" Edgar sudah berdiri di ujung lorong dengan kedua tangan di dalam saku celana.
Matanya tajam menghunus Dores.
Seketika Dores menunduk dan dengan langkah lebar meninggalkan Agatha serta Edgar.
"Apa yang kau bicarakan dengannya?" tanya Edgar mendekat. Tangan Agatha terasa mulai dingin dan berkeringat.
"Em-aku menanyakan soal pekerjaan," jawab Agatha gugup.
Edgar mengernyit dalam,
"Kau bisa menanyakan padaku, mengapa harus kepada Dores?"
"Kau selalu bersikap dingin dan itu membuatku tidak nyaman," jawab Agatha sedikit menaikkan dagu, dia sudah mendapat kembali kepercayaan dirinya.
"Lalu kau ingin aku mengajarimu bagaimana?" kini Edgar berdiri tepat di depan Agatha.
"Em-" Agatha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ada perasaan gugup saat mata Edgar sedikitpun tak teralihkan dari wajahnya.
"Aku tidak tahu-aku akan kembali ke ruangan, ada pekerjaan mendesak." Agatha mencoba melangkah pergi namun lengannya di cegat oleh Edgar.
Pria itu tersenyum iblis saat melihat Agatha yang gugup.
"Tidak ada pekerjaan yang mendesak, baby. Tapi kau mencoba menghindar," bisik Edgar dengan senyum geli.
Tentu saja dia tahu Agatha berbohong, sementara semua pekerjaan wanita itu berasal dari Edgar-tidak ada pekerjaan yang mendesak.
Agatha terdiam, matanya jatuh tepat di bibir Edgar yang membuat jantungnya semakin berdetak kencang.
"Aku tidak suka kau berbicara dengan pria lain." suara serak itu menyapu hangat pipi Agatha.
"Dia asistenmu,"
"Aku tidak peduli, Agatha." bisik Edgar.
"Lain kali, apapun itu kau hanya boleh bertanya padaku, berbicara padaku karena kau kekasihku,"
Wajah Agatha merona merah antara kesal dan juga malu.
"Kau berlebihan, tuan." ujar Agatha menyipitkan mata.
"Hm," gumam Edgar, lalu detik berikutnya tangan kokoh pria itu menarik pinggang Agatha hingga menabrak tubuhnya. Kemudian seperti biasa, dia mencium bibir Agatha sekilas.
***
Meski Agatha belum tahu yang sesungguhnya, namun jika benar pembunuh Norah Mateo yang begitu sadis adalah daddynya, maka tidak ada suatu pembelaan yang bisa di lakukan oleh Agatha.
Sepanjang hari itu Agatha bertanya-tanya, lalu mengapa Edgar justru ingin Agatha menjadi kekasihnya?
"Aku sudah mendapatimu hampir sepanjang hari melamun," suara bariton itu muncul dari balkon kamar sebelah. Tepatnya dari balkon kamar Edgar.
Saat ini Agatha memang tengah berdiri di balkon kamarnya menatap langit malam dengan sapuan angin yang terasa semakin dingin.
"Aku hanya sedang menghirup udara segar," jawab Agatha menatap Edgar dengan kaos hitam yang begitu pas di badannya.
"Katakan siapa yang mengusikmu? Aku akan membuatnya membayar perbuatannya." ucap Edgar bersedekap.
Keduanya hanya di halangi oleh pintu yang terbuat dari jeruji besi berwarna putih.
Melihat Agatha di sana, membuat Edgar kembali teringat dengan Norah. Dulu kamar itu merupakan kamar Norah jika sedang berada di Milan.
Di waktu luang biasanya mereka akan mengobrol di balkon seperti saat ini.
Pembatas balkon antara kamar Norah dan Edgar hanya berupa pintu jeruji besi, dengan begitu mereka bisa mengobrol dari balkon masing-masing.
"Aku sudah mengatakan jika hanya ingin menghirup udara baru, Ed." sahut Agatha dengan senyum yang berhasil membuat kaki Edgar lemas dalam seketika.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard's Secret
Romance21++ ***Cerita ini mengandung unsur dewasa*** Kematian Ludovic cukup mengagetkan orang-orang sekitarnya. Seorang pengusaha kaya yang di kenal tegas dan berwibawa. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri. Pria yang sudah berumur setengah abad itu...