Bab 50: Keinginan Kotor

39 0 0
                                    

Agatha hanya diam membisu ketika seorang wanita datang dan mengaku suruhan Rafael, dia mendapat perintah untuk merias wajah Agatha.

Tadi pagi Agatha mendengar dari salah seorang pelayan jika sekarang ia berada di Milan. Namun baginya tidak lagi penting apakah ini Milan atau bukan, selama sebulan mendapat pelecehan dan penyiksaan membuat Agatha seperti kehilangan kewarasannya.

Saat di mana ia melukai dirinya sendiri, tidak ada lagi ketakutan untuk mati yang ada hatinya semakin hancur mengetahui kenyataan dia masih bernafas.

Hanya berselang beberapa menit setelah ia selesai di dandan, Rafael masuk dengan penampilan rapi.

“Hei baby, malam ini aku memiliki tamu spesial,” ujarnya mendekati Agatha yang duduk di pinggir tempat tidur dengan tatapan kosong.

Rafael kemudian menarik dagunya hingga mata keduanya bertemu.

“Selama perjamuan jangan memasang wajah menjijikkan seperti ini, berikan senyum terbaikmu untuk tamuku.” lanjut Rafael dengan wajah dingin.

Tidak ada jawaban apapun dari Agatha, dia juga tidak berniat mengikuti aturan pria itu.

Kakinya sedikit terseok menuruni anak tangga, Rafael terlihat sedikit menyeret wanita itu untuk turun.

Keduanya duduk berdampingan di sofa menunggu seseorang yang di katakan oleh Rafael sebagai tamu spesial. Agatha sedikit melirik dan ada banyak ajudan yang berada di sekitar mereka, dia tidak tahu apa lagi yang akan terjadi namun apapun itu dia tidak lagi peduli.

Detik-detik di mana dua orang iblis akan bertemu—terasa begitu menegangkan. Meski Agatha tidak tahu siapa tamu yang akan datang, tapi suasana rumah itu seketika berubah mencekam, suhu ruangan terasa sangat dingin tapi tubuhnya mengeluarkan keringat. Agatha melirik Rafael yang duduk di sisinya, tubuh pria itu mungkin menunjukkan gestur angkuh namun matanya jelas memancarkan kegelisahan.

Di tengah keheningan rumah itu terdengar langkah kaki yang masuk ke dalam rumah. Sangat pelan, teratur, dan sekaligus mendebarkan.

Seorang pria dengan pakaian serba hitam, tatapan matanya dingin sementara wajahnya penuh aura gelap dalam pahatan sempurna.

Agatha yang sebelumnya menunduk perlahan mendongak penasaran dengan langkah kaki yang kini sudah berhenti tepat di tengah ruang tamu.

Seketika manik matanya melebar, lalu berkedip.

“DEG!”

Nafas Agatha tercekat di tenggorokan, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak mampu ia jelaskan. Melihat Edgar yang berdiri di sana, rasanya Agatha sangat ingin berlari kepada pria itu.

Tapi—tidak, tatapan pria itu padanya penuh permusuhan. Agatha tanpa sadar mengangguk kecil, tentu saja sekarang Edgar membencinya, apa lagi setelah menerima video seminggu yang lalu, bukan hanya karena itu tapi Agatha lah yang memilih Rafael.

Agatha sadar bahwa ini pilihannya dari awal, lantas mengapa hatinya harus sakit karena tatapan kebencian dari Edgar?

Dia menunduk dengan mata berkaca-kaca; Agatha merasa malu dengan perasaannya yang tidak tahu malu.

“Selamat datang, tuan EDGAR MATEO.” Rafael sengaja menekankan penyebutan nama pria itu, sebagai bentuk keangkuhannya karena merasa saat ini posisinya berada di atas Edgar.

Edgar terdiam selama beberapa saat, detik di mana kakinya berdiri di tengah ruangan ini tak sedikitpun tatapannya beralih dari Agatha. Kondisi wanita itu memprihatinkan, wajah pucat, tubuh kurus dan cahaya matanya yang menjadi kesukaan Edgar kini meredup.

“Katakan apa maumu.” suara bariton itu mampu membuat Agatha merinding.

Dia seakan mengenal Edgar lebih dari siapapun. Dari nada bicaranya, tatapannya, langkah kakinya, bentuk bibirnya; dan banyak hal kecil lainnya yang bisa di baca oleh Agatha apakah suasana hati Edgar sedang baik atau justru sebaliknya.

“Kau cukup berani datang tanpa pengawal. Apakah dia seistimewa itu?” tanya Rafael menyipitkan mata.

“Kalau kau terus berbicara omong kosong, kupastikan kau tidak akan mendapat apapun yang kau inginkan, Coppin.” desis Edgar dingin.

“Wah … kau memang tidak sabaran.” cetus Rafael. Dia seperti tidak takut dengan apapun yang keluar dari mulut Edgar.

Lalu tangannya sedikit terangkat membelai pipi Agatha sambil memperhatikan reaksi Edgar, yang langsung di tepis oleh wanita itu.

“Sayang, lihat bajingan itu bahkan rela menyerahkan nyawanya demi kau.” mata Rafael menelisik seluruh tubuh Agatha dengan tatapan mencemooh. Agatha sedikit tersentak, benarkan Edgar datang demi dia?

“Wajar saja, tubuhmu memang luar biasa.” lanjut Rafael. Semua ucapannya tentu saja terdengar oleh Edgar.

“lepaskan tanganmu darinya, sialan!” geram Edgar dengan nafas berat.

Sembari menahan diri, sudut matanya juga menelisik sekitar, jika sedikit saja dia gegabah mungkin Agatha yang akan menjadi korban. Dia akan membiarkan Rafael terlena untuk mengulur waktu, sementara Dores mendengar setiap pembicaraan mereka melalui earphone kecil, dia dan beberapa sniper kepercayaan Edgar kini berada di sejumlah titik di gedung tertinggi yang mengarah ke rumah Rafael.

“Katakan apa yang kau inginkan?” tanya Edgar kemudian.

Rafael masih dengan wajah angkuh mengangkat salah satu kakinya ke atas kaki yang lain, sementara kedua tangannya ia lipat di depan dada.

“Berlutut!” perintah Rafael sambil menaikkan sebelah alisnya.

Suasana menjadi mencekam. Agatha menggeleng kecil kepada Edgar yang juga tengah menatapnya, dia berharap pria itu tidak melakukannya. Namun sebaliknya, pria itu perlahan berlutut tepat di hadapan Rafael dan Agatha seperti orang tak berdaya.

Dengan perasaan puas Rafael berdiri lalu melangkah mendekat ke arah Edgar.

“Ini pemandangan yang sangat luar biasa, Edgar.” ujarnya sambil mengambil gambar di mana posisinya berdiri dan Edgar berlutut tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Aku akan mengirim jalang itu di kediamanmu, setelah kau mengirim pasokan bahan senjata yang aku inginkan.” ucap Rafael. Kakinya dengan kurang ajar sengaja mendorong bahu Edgar tapi pria itu sama sekali tidak tumbang.

Jadi inilah yang diinginkan Rafael, setelah berhasil mendapat ide rakitan senjata milik Edgar dia juga menginginkan bahan senjata yang di produksi oleh perusahaan Edgar.

Rafael akan membuat gebrakan baru di dunia persenjataan dan tentu saja tidak akan ada yang menyadari jika ide dan bahan yang digunakan pria itu di dapat dengan cara kotor.

“Bebaskan dia, biar aku yang berada di sini sebagai jaminan.” ujar Edgar kemudian. Meski sudah meminta dengan baik nyatanya hal itu tidak membuat Rafael ingin berkompromi dengan ide Edgar.

“Di sini aku yang mengatur dan berkuasa, sialan.” Kali ini Rafael dengan kuat menendang bahu Edgar.

“Ikuti saja perintahku jika ingin jalangmu tetap hidup.” lanjut Rafael. Tanpa di sadari oleh pria itu bahwa saat ini tak ada lagi para penjaga di luar rumah karena telah di habisi oleh para sniper. Rafael yang bodoh terlalu percaya jika kali ini dia bisa menakhlukkan Edgar, dia lupa jika Edgar tidak dengan mudah menyerahkan diri—dia bukan lawan yang seimbang bagi seorang Edgar.

Jika Agatha dapat menakhlukkan jiwa iblis Edgar, maka dapat dipastikan karena wanita itupun Edgar dapat mengubah dunia yang kini mereka pijak menjadi neraka penuh darah dan api.

Rafael sangat salah jika berpikir Edgar akan mematuhi semua keinginannya karena detik berikutnya pria itu berdiri dengan aura gelap yang melingkupi sekitarnya.

“Aku belum memerintahkanmu untuk berdiri, Mateo!” seru Rafael mengamati pergerakan Edgar yang mencurigakan, bahkan Edgar belum melakukan apapun tapi sejumlah senjata telah mengarah ke kepalanya dan juga kepala Agatha.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang