Bab 9: Penerbangan Menuju Venesia

51 2 0
                                    

Edgar berjalan dengan langkah lebar menuju Jet pribadi yang siap terbang mengantarkan mereka ke Italia.

Agatha berada jauh di belakang pria itu, sedikit terseok menyesuaikan langkah kaki Edgar namun tiba-tiba Edgar berhenti sebelum menaiki anak tangga pesawat.

Dia bukan tidak menyadari jika Agatha tertinggal jauh tapi,

“Terlalu lambat,” ucapnya dengan nada rendah lalu menoleh ke belakangan. Agatha terlihat seperti habis menyelesaikan misi lari maraton.

“Kau berjalan terlalu … cepat,” ujar Agatha dengan nafas terengah.

Edgar terpaku pada wajah Agatha yang begitu cantik di bawah sinar matahari sore, semburat merah di kedua pipinya dan rambut yang di cepol asal membuat Edgar ingin sekali menggendongnya untuk kemudian di ikat di tempat tidurnya—hanya dia yang boleh melihat kecantikan Agatha—wanita itu miliknya.

“Ada apa?” tanya Agatha yang melihat Edgar hanya terdiam menatapnya.

“Kau terlalu lambat.”

Tangan kuat Edgar langsung meraih pinggang Agatha dengan posesif dan melangkah bersama menaiki anak tangga pesawat.

Seorang wanita cantik semampai yang tersenyum menyambut mereka—tapi Agatha menyadari bahwa pramugari itu hanya tersenyum kepada Edgar. Dia tidak peduli, Agatha bahkan akan dengan senang hati jika pramugari itu membawa Edgar sekalian dari bumi ini.

Edgar dengan penuh perhatian menuntun Agatha untuk duduk terlebih dahulu sebelum dia sendiri menyusul.

Tak lama setelahnya dua pramugari kembali muncul yang salah satunya merupakan orang yang sama ketika mereka naik.

Dua wanita itu membawa masing-masing segelas jus dan beberapa jenis cookies yang tidak begitu di ketahui oleh Agatha.

Mereka akan menempuh penerbangan jauh dan Agatha tahu itu akan sangat membosankan tapi tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti Edgar—setidaknya begitu untuk saat ini.

Benar saja seperti yang sudah di bayangkan oleh Agatha, dia melirik Edgar yang duduk di sampingnya dan mulai menyalakan layar laptop miliknya. Pria itu sepertinya memang super sibuk.

Agatha sendiri meraih majalah bisnis yang tersedia di sana dan berusaha membaca seakan menyukai apa yang tertulis di sana, biasa dia hanya akan membaca naskah seperti itu karena tuntutan pekerjaan.

Namun sekarang meski dia sedang tidak akan menyiar, hampir setiap hari Agatha akan membaca entah itu majalah atau buku lain yang semua isinya tentang bisnis.

Tanpa di sadari olehnya bahwa meski Edgar tampak sibuk di layar laptop tapi pria itu sejujurnya tidak dapat fokus pada pekerjaannya sendiri.

Aroma strawberry yang menguar dari tubuh Agatha selalu berhasil membuat Edgar meliriknya dan memperhatikan wajah cantik itu diam-diam.

Perlahan kini Edgar mengetahui betapa anehnya, betapa randomnya, betapa—dia tidak tahu harus menyebut Agatha seperti apa.

Wanita itu selalu membuatnya penasaran, raut wajahnya yang selalu berubah-ubah membuat Edgar harus berpikir keras apa yang sedang di dalam otak cantik Agatha.

Belum lagi tingkah Agatha yang seakan di luar nalar Edgar.

Dua hari lalu sepulang kerja Edgar mendapati Agatha yang telungkup di lantai, dia sempat panik dan berpikir jika wanita itu dalam bahaya, ternyata Agatha hanya tertidur nyenyak dengan air liur yang membanjiri lantai atau dia pernah mendapati wanita itu tengah berbicara dengan burung yang hinggap di dahan dekat jendela kamar, Edgar yang saat itu sudah bersiap untuk menembak siapapun orang yang berada di luar jendela tapi justru dia tidak habis pikir saat melihat kenyataan di depan matanya.

Lalu dia juga sempat memergoki Agatha yang tengah menangis hebat hanya karena film yang saat itu ia tonton dan sementara saat ini dia sedang terpaku menatap Agatha yang lagi-lagi berulah.

Wanita itu tertidur dengan sebuah majalah terbuka di pangkuannya, ada potongan cookies dalam mulutnya yang belum selesai di kunyah.

Edgar mengernyit mencoba berpikir bagaimana wanita itu bisa tertidur seperti itu? tapi tingkah aneh dan random Agatha yang justru membuat Edgar merasa dia berbeda dari wanita manapun.

Edgar mencondongkan tubuhnya ke arah Agatha lalu mengambil sisa cookies yang di apit oleh kedua bibir wanita itu menggunakan bibirnya sendiri. Tidak ada rasa jijik, Edgar justru memakan kembali sisa cookies dari mulut Agatha dan mencium wanita itu sebelum mengubah posisi tubuh Agatha menjadi berbaring, Edgar kemudian menutup tubuhnya dengan selimut.

Agatha terbangun karena tepukan halus di pipinya. Dia mendapati wajah Edgar tepat di depan matanya ketika Agatha berhasil membuka matanya dengan sempurna.

“Kau harus makan,” bisik Edgar.

Agatha mengernyit.

Berapa lama dia tertidur? Jam berapa sekarang? Matanya melirik jam di pergelangan tangan Edgar. Enam jam lagi sebelum mereka mendarat di Venesia, dia sudah tertidur selama tiga jam.

Keduanya makan bersama, sesekali mereka mengobrol tentang Italia.

Meski terkesan dingin tapi Edgar selalu menjawab pertanyaan dari Agatha. Saat itu Agatha menyadari bahwa Edgar juga manusia biasa seperti dirinya, tidak hanya bisa memasak tapi Edgar bisa melakukan hampir semua pekerjaan rumah.

Agatha merasa kagum pada sosok pria kaya yang harusnya bisa saja meminta pelayan untuk melakukan itu semua.

“Apa kau akan terus bekerja?” tanya Agatha setelah mereka selesai makan dan Edgar kembali berkutik pada pekerjaannya.

“Hm.” gumam Edgar tanpa mengalihkan fokusnya.

“Ed, boleh aku menanyakan sesuatu?” tanya Agatha lirih.

“Katakan,” jawab Edgar.

“Apa yang telah di lakukan daddyku hingga kau begitu marah?” pertanyaan itu sudah lama tertahan di tenggorokan Agatha.

Edgar terdiam sesaat di iringi dengan perubahan wajahnya yang menggelap,

“Aku tidak akan mengatakannya meski sangat ingin.” desis Edgar.

Agatha tidak bisa menebak raut wajah maupun isi dalam pikiran pria itu.

“Jika ada yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahan daddyku, akan kulakukan.” Agatha terdengar bersungguh-sungguh.

Entah mengapa, Agatha memiliki firasat jika daddynya dalam bahaya,

Edgar tidak akan melakukan penerbangan secara mendadak seperti ini jika bukan karena ingin mengincar nyawa daddynya.

Sekarang Edgar benar-benar berhenti dari pekerjaannya dan menatap tepat di manik Agatha yang jernih.

“Kau tidak pantas mengorbankan diri untuk bajingan itu,” ucap Edgar dalam.

Dia tidak suka dengan sikap Agatha yang lebih perhatian kepada Mario.

“Aku sudah mengatakan dia bukan lagi daddymu.” lanjutnya.

Agatha menelisik wajah Edgar. Walau hanya setitik tapi dia yakin dalam lubuk hati terdalam pria itu masih ada tersisa rasa kemanusiaan—Agatha dapat melihat dari manik Edgar yang sedetik lalu menggelap lalu kembali berbinar begitu beradu tatap dengannya.

“Dia satu-satunya orang—pria yang telah membesarkan aku seorang diri tanpa kekurangan apapun. Bagaimana bisa dengan mudah aku menyangkal bahwa dia bukan daddyku terlepas dari kesalahan yang ia lakukan?” tanya Agatha dengan nada sedih.

Edgar terdiam dengan rasa marah yang luar biasa. Dia marah kepada Mario.

Bertahun-tahun bajingan itu menutupi semua kejahatan yang ia lakukan kepada Agatha, sementara wanitanya yang polos, yang tidak tahu apapun begitu bangga pada sosok yang ia panggil daddy itu.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang