Bab 45: Pilihan Agatha

31 0 0
                                    

“Bukankah kau juga tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Mario?” tanya Edgar lebih lanjut.

Dan terlihat dari matanya Alan mencoba menahan kekesalan. Atau ketakutan?

Namun jawaban Alan selanjutnya justru membuat Edgar menyipitkan mata.

“Tentu saja aku tahu, tuan. Karena itulah aku berada di sini menyelamatkan nona Agatha.” jawab Alan menyeringai.

“Mario telah memilihku sebagai walinya.” lanjut Alan dengan bangga. Pria itu lalu memberi kode kepada Adriana dan wanita itu datang dengan selembar kertas putih.

“Semua tertulis dengan jelas di sini.” Alan menunjukkan kertas yang berisi tulisan tangan Mario di atasnya.

Edgar mengetatkan rahangnya, tatapan matanya yang tajam mampu membuat ruangan itu menjadi panas sekaligus menegangkan.

“Aku tidak peduli dengan benda sialan itu. Serahkan Agatha sebelum aku mengeluarkan isi otakmu.” desis Edgar dengan suara berat. Kesabarannya tak tersisa lagi dengan permainan ini.

Namun entah dari mana keberanian itu, Agatha lalu keluar dari dalam kamar dengan wajah datar.

Sontak Edgar melangkah mendekat dengan wajah menggelap, tapi Agatha justru menghindar mencoba berlindung di belakang tubuh Alan.

“Ed …” Agatha terdiam sesaat. Dia tidak memiliki keberanian menatap mata Edgar, tapi beberapa detik kemudian wanita itu bertekad harus bicara tegas dengan Edgar.

“Lepaskan aku. Mario telah memilih Alan sebagai waliku,” ujarnya datar.

Kalimat yang keluar dari mulut Agatha telah membuat harga diri Edgar terluka.

“Kau dengar? Dia ingin terbebas darimu.” ucap Alan mengejek.

“Kau sungguh memilih bajingan ini dari pada aku?” tanya Edgar dingin.

“YA!” jawab Agatha dengan yakin.

“Baiklah.”

Dan semua berakhir dengan semudah itu. Edgar pergi dari sana dengan langkah bak malaikat kematian.

Benar, dia membebaskan Agatha. Wanita itu yang memilih dan kelak wanita itu juga yang akan memohon di bawah kakinya agar di bebaskan.

***

“Kau senang dengan hadiah yang ku bawa?” tanya Alan kepada Rafael di ruangan lain di lantai dua.

Ya, Villa itu milik Rafael Coppin.

“Katakan apa keinginan tuanmu?” tanya Rafael menghisap kuat cerutu yang diapit kedua jemarinya.

“Lepaskan anak cabang perusahaanmu yang berada di Los Angeles.” jawab Alan dengan santai.

Rafael mengetatkan rahang mendengar keinginan Mr Pumpkin.

“Berhenti bermain denganku bajingan, apa kau pikir jalang itu memiliki nilai tinggi hingga bisa kau tukarkan dengan anak cabang perusahaan?” desis Rafael geram.

Hanya karena kesalahan anak buahnya yang gagal terpaksa Alan turun tangan lagi untuk mendapatkan Agatha.

“YA. wanita itu memiliki nilai tinggi. Jika kau tidak setuju maka kau tidak akan mendapat apapun.” ujar Alan.

Rafeal tertawa sarkas, begitu kotor memang permainan Mr Pumpkin.

“kita sudah melakukan perjanjian sebelumnya, sialan! Lalu mengapa sekarang anda seakan ingin membuat penawaran ulang?”

Rafael merasa Mr Pumpkin sekarang ingin mengurasnya.

“karena anda telah gagal.” sahut Alan.

“Bahkan sekalipun aku gagal hingga seratus kali, bukan berarti apa yang seharusnya milikku menjadi hilang.” desisnya menatap lekat bola mata Alan.

“Ya. Karena kami telah mendapatkan Agatha lebih cepat artinya dia menjadi milik kami bukan milik anda, sekarang anda tahu mengapa kita membuat penawaran ulang?” tanya Alan dingin.

Rafael mengepalkan tangannya, semakin ke sini dia semakin tahu karakter dari kelompok Mr Pumpkin. Mereka menjadi lintah yang sangat liar demi memuaskan keinginan mereka.

Dia tidak punya pilihan, jika Rafael membatalkan perjanjian awal maka dia harus mengganti rugi kepada Mr Pumpkin, begitulah isi dari perjanjian mereka sebelumnya.

Jika dipikir, dia yang mengalami kerugian namun dia juga yang harus membayar kerugian kepada Mr Pumpkin.

Hanya anak cabang. Bagi Rafael itu tidak seberapa, lagian dua tahun terakhir laba anak cabang itu mulai menurun.

Sesaat benaknya kembali mengingat Agatha yang luar biasa cantik. Tubuh wanita itu juga menggiurkan dan Rafael bertekad mendapatkannya.

“Baiklah.” ucapan itu berhasil membuat penawaran ulang di antara mereka berhasil.

Sementara di benua lain, Mr Pumpkin tertawa senang setelah mendapat penawaran dari Rafael.

“Lihat, dia sangat bodoh. Atau sebegitu hebatnyakah wanita itu hingga mampu membuat semua orang tunduk padanya?” tanya Mr Pumpkin kepada dirinya sendiri.

Ck, aku jadi penasaran dan ingin menyicipinya juga.” lanjut Mr Pumpkin bermonolog di ruang gelap.

Dia senang karena sebentar lagi akan membuat peperangan dengan Rafael. Anak cabang itu akan sangat bernilai setelah ini. Dia sangat ingin melihat bagaimana wajah Rafael yang bodoh menjadi murka.

Bekas anak cabang akan bersaing dengan induk perusahaan itu sendiri. Membayangkannya saja membuat Mr Pumpkin begitu puas.

***

Edgar kini tahu bahwa Rafael bekerja sama dengan Mr Pumpkin. Dalam hati pria itu juga menyumpahi Mario yang sudah tiada. Beraninya Mario menjual Agatha?

Pikirannya selalu terlempar kepada Agatha, dia sangat marah. Tapi ini adalah cara Edgar untuk melihat pergerakan Mr Pumpkin.

Begitu tiba di rumah Edgar langsung membersihkan diri dan berencana langsung pergi ke kantor. Dia belum ada beristirahat selama dua hari ini, namun ada banyak pekerjaan yang sudah menunggunya di kantor.

Berada di kantor ternyata tidak membuat suasana hati Edgar menjadi lebih baik, apa lagi dengan kehadiran Louisa yang terlalu banyak bertanya, wanita itu seakan begitu antusias untuk mencoba segalanya tapi walau berulang kali telah di jelaskan oleh Edgar wanita itu masih saja kurang mengerti.

Lain hal jika yang bertanya Agatha, maka dengan senang hati Edgar akan memberi tahu wanita itu sambil sesekali menggodanya. Namun dengan Lou, dia justru sangat ingin mengusirnya dari sana.

Bagai anak kucing Louisa terus mengikuti ke mana saja Edgar pergi, masih dengan alasan bahwa banyak hal yang ingin ia ketahui tentang kerja sama ini.

“Mungkin untuk seterusnya kau bisa bertanya kepada Dores jika ada hal yang tidak kau ketahui,” ucap Edgar dingin.

“Aku lebih nyaman jika bertanya langsung padamu,” sahut Louisa dengan senyum tersipu.

“Aku memiliki banyak pekerjaan selain mengajari anak baru lahir kemarin,” balas Edgar masih dengan wajah datar.

Seketika Louisa terdiam, senyum di bibirnya tidak lagi selebar sebelumnya.

“Apa aku membuatmu tidak nyaman?” tanya Louisa dengan wajah muram.

“Ya.” dan seperti biasa, Edgar tidak akan bersusah payah untuk menjaga perasaan orang lain.

Louisa tersenyum kecut, tapi dia tidak akan dengan mudah menyerah begitu saja. Keinginannya untuk tetap di dekat Edgar tak mungkin berakhir begitu saja hanya dengan ucapan ketus dari mulut pria itu.

“kau bisa mengabaikanku jika kau sibuk.” balas Louisa kemudian.

Dia akan mencoba memahami Edgar, membuat pria itu nyaman berada di sisinya; Louisa ingin tahu lebih banyak tentang Edgar, meski pria itu selalu bersikap dingin dan memasang wajah datar tapi hal itu yang membuat Louisa semakin bergetar setiap kali bertemu.

The Bastard's Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang