Malam itu Edgar menyusuri pinggir jalan yang gelap menuju gedung tua, dia tidak memiliki tujuan selain tempat kosong tersebut.
Tanpa rasa takut malam itu dia tidur di sana, di lapisi dengan jerami padi kering yang ia angkut dari luar.
Hanya cahaya bulan dan angin malam yang membuatnya sesekali terbangun lalu kembali tertidur.
Edgar tidak lagi menangis, dia benci menangisi siapapun yang telah menghancurkan mimpi dan hatinya.
Keesokan harinya, rasa perih dari dalam perutnya yang kosong membuat Edgar meringis, dia akan mencari sisa-sisa makanan untuk mengganjal perut atau setidaknya sedikit air agar tenggorokannya tidak terlalu perih.
Kakinya terus saja berjalan entah ke mana, tujuannya adalah restoran-restoran pinggir jalan.
Namun hingga sejauh ini Edgar tidak menemukan restoran, matanya justru mendapati salah satu bengkel di pinggir jalan. Dia masuk ke sana dan salah seorang pria yang duduk di meja kasir hanya mengabaikannya.
Di daerah sekitar memang ada beberapa tunawisma yang kadang datang mengemis.
“Uncle?” panggil Edgar pada pria yang sibuk dengan ponselnya.
“Tidak ada. Pergilah!” ucap pria itu seakan sudah tahu apa yang akan di minta oleh Edgar.
“Aku hanya ingin meminta sedikit saja air dari kran itu.” unjuk Edgar pada kran air yang biasa digunakan para karyawan bengkel.
Pria itu seketika diam dan menatap Edgar.
Dia sempat berpikir anak lelaki itu akan meminta uang, jika di lihat dari paras dan sikapnya anak itu sangat tidak cocok menjadi tunawisma.
Bahkan meski tubuhnya banyak bekas luka dan beberapa bagian wajahnya masih ada terlihat lebam, sama sekali tidak mengurangi ketampanan Edgar.
“Ambil sesukamu,” ujar pria tinggi yang sedikit buncit itu.
Dia memperhatikan Edgar yang menampung air menggunakan telapak tangannya yang tidak seberapa lalu meminumnya.
Seketika timbul rasa iba dalam hati pria itu,
“Hei nak, siapa namamu?” tanya pria yang ternyata pemilik bengkel tersebut.
“Edgar.” sahut Edgar serak.
“Aku Bob, kau sudah makan?” tanya pria bernama Bob.
Edgar menggeleng lalu tak lama Bob datang dengan sepiring nasi dan sepotong daging, ia menyodorkan kepada Edgar dan dengan lahap anak itu menghabiskan makanannya tanpa sebutirpun tersisa.
Tak lupa Edgar berterima kasih kepada Bob.
“Apa uncle tidak membutuhkan tambahan pekerja?” tanya Edgar, setelah merasa Bob sepertinya orang yang baik.
“Berapa umurmu?” tanya Bob.
“Delapan tahun, uncle.”
Sesaat Bob terdiam lalu menghela nafas.
“Aku tidak bisa mempekerjakan anak di bawah umur. Kau ingin membuat usahaku dalam masalah?” sindir Bob kemudian.
“Aku akan bertanggung jawab jika sesuatu terjadi, uncle.” sahut Edgar berusaha meyakinkan Bob.
“Ck, dasar berandal. Kau tahu apa? Negara ini punya undang-undang kuat untuk anak di bawah umur.” ujar Bob dengan mata melotot.
Edgar terdiam menunduk membuat Bob merasa kasihan tapi dia juga tidak ingin mengambil resiko.
Namun Edgar terus saja memohon hingga membuat Bob kesal dan mengusirnya.
“Uncle, aku akan bekerja dengan baik. Uncle tidak perlu membayarku—aku hanya butuh tempat tinggal dan sisa makan anda,” ujar Edgar tak ingin menyerah, dia masih yakin Bob orang yang baik.
“Lalu kau pikir di mana kau akan tinggal?!” tanya Bob mulai kesal.
“Di sini—di dalam bengkel.” jawab Edgar dengan polos.
“Ck, benar-benar menyusahkan!” kesal Bob.
“Kita akan membutuhkannya sebagai pesuruh, Bos.” celetuk salah satu pekerjanya.
“Tutup mulutmu, kau pikir undang-undang di negara ini milik pribadi nenek moyangmu?” sahut Bob kesal.
Bukan dia tidak bisa tapi betapa ribetnya jika harus berurusan dengan pihak berwajib.
“Wajahnya di coret saja Bos supaya kelihatan tua,” sahut pekerja yang sama.
Bob di buat pening sekarang,
“Eh berandal, kau bukan bagian dari pekerja di sini tapi kau boleh tidur di sana.” Bob menunjukkan salah satu tempat kecil yang terpisah dari bengkel—ruang dengan ukuran 2x3 itu biasa di gunakan oleh Bob untuk memarkir kendaraan roda dua miliknya tapi sekarang dia mengizinkan Edgar tinggal di sana.
Bob tidak mungkin meninggalkan kunci atau membiarkan Edgar tinggal di bengkelnya sementara anak itu hanya orang asing yang datang beberapa jam yang lalu.
...
Baik Tracy maupun Fazio sama sekali tidak memiliki niat untuk mencari Edgar.
Sementara itu Agatha tengah menunggu di luar pagar gedung sekolah Edgar.
Jadi di satu komplek itu memang di khususkan untuk gedung taman kanak-kanak, sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.
Begitu Agatha selesai, dia langsung menuju ke gedung sekolah Edgar yang tidak begitu jauh.
Gadis kecil itu tidak sekalipun mengalihkan pandangannya dari anak-anak yang mulai keluar melewati pagar.
Dari yang ramai sekali hingga tinggal satu persatu Agatha belum ada melihat atau lebih tepat tidak ada tanda-tanda Edgar akan keluar dari sana.
Agatha kembali ke taman di sisi bangunan tersebut, mommynya sedikit terlambat karena harus ke supermarket terlebih dahulu.
...“Mom,” panggil Agatha, saat ini dia sudah berada di dalam mobil.
“Ya sayang,” sahut Sonya melirik Agatha yang duduk di bangku penumpang.
“Aku tidak melihat Edgar di sekolah. Apa dia pergi ke tempat Alexa?” tanya Agatha dengan wajah kecewa.
“Biar nanti daddy yang pergi bertanya ke rumah Edgar,” sahut Sonya lembut.
Dia tidak ingin membawa Agatha ke sana—Tak ingin jika putrinya merasa ketakutan lagi.
Agatha mengangguk tapi entah mengapa dia memiliki firasat jika tak akan bertemu dengan Edgar lagi.
...
Akhirnya Edgar kini tinggal di bangunan kecil milik Bob.
Meski tidak ada peralatan apapun namun setidaknya di sana ada cahaya lampu setiap malam, dia juga sudah berhenti pergi ke sekolah.
Edgar anak yang cukup tahu diri, merasa telah di selamatkan oleh Bob, setiap hari Edgar bekerja sangat keras untuk membantu para pekerja, dia juga menurut dan tidak banyak tingkah.
Hal itu yang membuat beberapa pekerja dan Bob sendiri menyukai Edgar.
Setiap harinya dia akan mendapat jatah makan dua kali dalam sehari dari Bob, seperti yang di katakan Edgar dari awal bahwa dia tidak akan mendapat bayaran uang dari Bob, hanya makan, minum dan tempat tinggal.
Dia bahkan tidak memiliki pakaian cadangan, terpaksa setiap malam Edgar akan mencuci seluruh pakaian dan meletakkannya di luar sehingga besok pagi dapat di gunakan lagi.
Di ruang tempat ia tidur ada sejumlah goni dan kardus yang ia gunakan untuk menghangatkan badan setiap malam.
Waktu sungguh telah membuatnya hidup dengan keras dan kuat.
Setiap malam Edgar berpikir apa yang harus ia lakukan ke depan, dia tahu tidak akan selamanya mendapat kebaikan Bob.
Kelak jika ia dewasa haruskah menjadi preman untuk mendapatkan uang? Atau menjadi pengemis di trotoar? Bahkan sempat terpikir olehnya bagaimana jika ia mati saja lalu masalah selesai.
Begitulah kehidupan Edgar selama hampir dua bulan, sampai akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang menjadi malaikat dalam hidupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard's Secret
Romance21++ ***Cerita ini mengandung unsur dewasa*** Kematian Ludovic cukup mengagetkan orang-orang sekitarnya. Seorang pengusaha kaya yang di kenal tegas dan berwibawa. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri. Pria yang sudah berumur setengah abad itu...