Hari ini sepertinya Edgar sedang dalam suasana hati yang baik, tiba-tiba saja pria itu mengajak Agatha untuk ikut ke kantor.
“Aku tidak suka jika berada jauh dari kekasihku,” ucapnya pagi itu yang memunculkan semburat merah di pipi Agatha.
Edgar dengan sikap posesif merangkul pinggang Agatha saat memasuki lobby. Semua terpana melihat keduanya, sungguh pasangan yang membuat banyak orang merasa iri.
Sejumlah orang tentu saja mengenal Agatha, wanita itu biasanya wara-wiri di layar televisi untuk menyiarkan berita tapi kini justru media beramai-ramai menyiarkan kabar tentang hubungannya bersama sang billioner muda yang memiliki paras bak dewa tersebut.
Agatha melihat sekitar dan berusaha memberi senyum kecil untuk beberapa orang yang menatapnya kagum.
“Jangan tersenyum dengan pria lain, aku bisa mengeluarkan bola mata mereka satu persatu.” bisik Edgar sembari memberi kecupan kecil di pelipis wanita itu.
Namun para wanita melihat tindakan Edgar barusan adalah hal paling romantis sehingga semakin menambah rasa iri mereka kepada Agatha.
Sementara Agatha menghiraukan ancaman pria itu, dia memiliki pemikiran sendiri saat ini. Jika Edgar bisa membawanya ke sini lebih sering maka Agatha harus menemukan seseorang yang bisa menolongnya.
“isi kepalamu terlalu terbuka hingga aku bisa membacanya, baby.” bisik Edgar mengelus punggungnya, bersamaan dengan itu pintu lift tertutup dan membawa keduanya ke lantai paling atas.
Agatha sempat kaget, apa memang niatnya begitu terang-terangan?
“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan,” ujarnya bersender pada dinding lift.
“Benarkah? Barusan aku melihat manik matamu melebar karena kaget. Sayang, aku berani bertaruh bahwa isi otak cantikmu penuh dengan rencana.” bisiknya.
Salah satu sudut bibir pria itu tertarik mengejek.
“Terserah kau saja,” sahut Agatha bersikap acuh untuk menghindari kecurigaan Edgar.
Keduanya memasuki ruang kantor Edgar. Agatha sama sekali tidak terkejut dengan suasana di dalam sana yang sedikit meremang–ciri khas seorang Edgar sekali.
Edgar menyampirkan jas hitam miliknya di kepala kursi sedangkan Agatha langsung berkeliling melihat seluruh ruangan.
Tidak ada satupun yang menarik perhatiannya sampai akhirnya wanita itu memilih duduk di sofa yang mengarah langsung kepada Edgar.
Semenjak dia memiliki ponsel lagi, hari-hari Agatha hanya di isi dengan menonton apa saja untuk membunuh rasa bosannya.
Dan saat ini hal itulah yang di lakukan oleh Agatha.
Sedangkan Edgar tetap saja seperti biasa, diam seperti batu dan sibuk dengan dunianya sendiri.
“Tok ... tok ...” terdengar suara ketukan dari luar.
Dores masuk dan melirik ke arah Agatha yang duduk di atas sofa.
“Ada apa Dores?” pria itu sepertinya mengerti akan kekhawatiran Dores. Sang asisten pribadi melangkah lebih dekat,
“Tuan, jejak Mario telah di temukan,” bisik Dores dengan hati-hati.
“Dores, aku tidak memerlukan informasi seperti itu. Aku ingin kau membawanya hidup atau mati di hadapanku!” desis Edgar dengan wajah memerah.
Dores sedikit gemetar takut jika ia melanjutkan kalimatnya justru nyawanya yang akan melayang.
Namun bagaimanapun tuannya harus tahu akan hal ini.
“Apa lagi?” Edgar menatap tajam Dores yang masih berdiri di tempatnya dengan wajah yang terlihat berpikir keras.
“Tuan–saat ini target berada di Turin,” lanjut Dores terbata. Seketika mata Edgar menggelap dengan rahang mengetat.
Turin merupakan salah satu kota di Italia. Kota itu tak kalah terkenal dari kota-kota besar lainnya yang ada di negara Italia.
“Dia ingin bermain rupanya?” desis Edgar menaikan salah satu sudut bibirnya.
...
Detik di mana Dores memberitahu informasi akan keberadaan Mario, pria itu langsung pulang ke rumah dan meminta Dores menyiapkan jet pribadinya untuk terbang ke Italia.
Agatha tidak mengerti apa yang terjadi ketika Edgar memintanya mengemas keperluan seadanya.
“Kita akan ke mana?” tanya Agatha masih mencoba bersabar karena sedari tadi Edgar seakan enggan menjawabnya.
Dia tidak ingin menjadi boneka yang bisa di perlakukan dengan sesuka hati oleh Edgar.
“Kau akan mengetahuinya nanti,” sahut Edgar dengan wajah dingin. Saat ini dia sudah mengirim banyak ajudan untuk menjaga kediaman orang tuanya yang berada di Venesia.
“Aku tidak akan berkemas jika kau tidak memberi tahu tujuan ke mana kau akan membawaku.” ujar Agatha dengan nafas tercekat.
Dia mendapat tatapan maut dari Edgar.
“Kau akan berkemas. Lakukan sekarang Agatha atau kau akan ikut tanpa membawa apapun.” lirihnya tak terbantahkan.
“Aku tidak mau ikut denganmu sialan! Aku bukan boneka yang bisa kau atur sesukamu.”
“Kau sakit jiwa!” ... “Ya–pergilah sendiri bangsat, kau akan ku laporkan melakukan penculikan jika memaksa!” teriak Agatha dengan nafas tersengal.
Saat itu juga kesabaran Edgar sudah habis–bukan, tapi pria itu memang tidak memiliki kesabaran maka beruntunglah Agatha jika masih mendapat kesempatan untuk hidup setelah melawan perintah si iblis tampan dari neraka.
Dia melangkah lebih dekat ke arah Agatha. Wanita itu sama sekali tidak mundur dari tempatnya berdiri, sungguh wanita keras kepala yang menantang maut.
“Kita akan pergi menyaksikan kematian bajingan yang kau sebut daddy, Sayang.” bisik Edgar tanpa sedikitpun nada bercanda.
Agatha seketika membelalak, dia dapat melihat kesungguhan serta kemarahan besar dari mata pria itu.
“Dan–sekarang aku sudah berubah pikiran. Tidak perlu berkemas, aku dengan senang hati akan mengirim padamu kepala bajingan keparat itu.” ucap Edgar sambil berlalu keluar dari kamar.
“Kau tidak bisa melakukan itu, kumohon jangan menyakiti daddyku,” pinta Agatha mengekori langkah lebar Edgar tapi pria itu memang tidak pernah bermain-main dengan ucapannya.
“Aku akan berkemas dan ikut. Edgar tunggulah sebentar.” Agatha berusaha menyamai langkah Edgar yang menuruni anak tangga, Agatha berhasil berdiri di hadapan pria itu dengan membentangkan tangan menahan agar Edgar berhenti.
“Aku akan ikut,” ucapnya rendah dengan mata berkaca-kaca ... “aku akan ikut tapi kumohon jangan menyakiti daddyku.” lanjut Agatha yang membuat kepala Edgar semakin ingin pecah karena melihat wanita itu begitu membela Mario.
“Minggir atau aku bisa mendorongmu dengan satu tangan lalu tewas di bawah sana.” gumam Edgar dengan wajah dingin.
“Kau akan menunggu di bawah bukan? Aku akan berkemas selama lima menit.” terlihat wajah Agatha yang mengiba dan itu membuat Edgar tidak tahan–wanita itu selalu berhasil menggoyahkan prinsip yang selama ini di anut Edgar.
Agatha sepertinya memang sudah putus asa. Pria itu tetap diam dengan wajah datar yang kentara dengan kemarahan. Dia tak ingin sampai Edgar sungguh melakukan seperti yang tadi ia ucapkan kepada Mario.
Dengan penuh keberanian Agatha berjinjit sambil mengalungkan kedua tangannya di belakang kepala Edgar lalu mencium pria itu.
Awalnya Agatha hanya ingin menempelkan bibirnya di atas bibir Edgar selama beberapa detik tapi tak di sangka justru pria itu menarik pinggang Agatha dan mendorong tubuhnya ke pegangan tangga.
Keduanya berciuman dengan penuh perasaan.
“Jangan membuatku berubah pikiran, gadis keras kepala.” ucapnya menatap bibir Agatha yang masih basah.
Saat itu juga Agatha berlari untuk berkemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard's Secret
Roman d'amour21++ ***Cerita ini mengandung unsur dewasa*** Kematian Ludovic cukup mengagetkan orang-orang sekitarnya. Seorang pengusaha kaya yang di kenal tegas dan berwibawa. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri. Pria yang sudah berumur setengah abad itu...