Agatha memalingkan wajah saat Edgar duduk di pinggir tempat tidur, tapi tidak dengan aroma makanan di hadapannya. Dia melirik nampan melalui sudut matanya.
“Hadap kemari jika kau menginginkan makanan ini.” ucap Edgar.
Namun tidak ada jawaban, Agatha juga seperti enggan untuk menghadap ke arah Edgar, lalu bagaimana dengan suara cacing yang tidak tahu malu di dalam perutnya? Belum lagi dengan tenggorokkannya yang terasa kering bagai padang pasir.
“Aku akan membuangnya jika kau tidak mau.” lanjut Edgar dengan ancaman.
Agatha merasakan tubuh Edgar yang bergerak membuatnya reflek menoleh ke arah pria itu, dia sempat berpikir bahwa Edgar akan membawa kembali makanan itu.
Dia terlihat malu saat mengetahui Edgar hanya mencoba mencari posisi yang nyaman.
“keras kepala.” lirih Edgar.
Lalu Edgar langsung menyodorkan sendok berisi bubur ke mulut Agatha.
Entah karena rasa lapar yang luar biasa atau karena takut jika sikapnya bisa membuat Edgar kembali marah, wanita itu perlahan membuka mulutnya.
Makanan itu habis tak tersisa, bukti jika Agatha memang sangat lapar. Makan malam di restoran asia kemarin malam sungguh membuatnya tidak menikmati sama sekali.
“Ed …” wanita itu memanggilnya saat Edgar hendak pergi dari sana.
Edgar berhenti lalu menoleh ke belakang. Matanya menatap Agatha menunggu wanita itu melanjutkan omongannya.
“Ini sakit.” ucap Agatha dengan nada rendah.
Wajahnya yang sayu hampir saja membuat Edgar kalah—bukan, tapi tangannya memang sudah meremas kuat kunci borgol dalam saku celananya.
Dia tidak bisa melihat wajah Agatha yang terluka, alih-alih membebaskan wanita itu Edgar justru meletakkan kembali nampan di atas nakas dan meraih dagu Agatha.
“Agatha, kau tahu bahwa pengkhianatan adalah dosa yang tidak bisa aku ampuni?”
“Tapi membunuhmu dengan mudah bukan solusi yang baik.” … “kau terlalu naif, andai kau tahu karena kecerobohanmu hampir membuat peperangan di lima negara.” wajah Edgar begitu dingin.
“Aku hanya ingin membalas apa yang kau lakukan dengan daddyku,” sahut Agatha dengan tatapan nanar.
“berhenti membahas bajingan itu, dia tidak jauh lebih kotor dariku, Agatha.” terdengar geraman dalam nada bicara Edgar.
“lebih baik pikirkan hal apa yang bisa kau lakukan untukku agar tidak mati membusuk di ranjang ini.” setelah itu Edgar keluar dari kamar masih dengan wajah kesal.
…
“Rafael melarikan diri, tuan.” ucap Dores berusaha tetap tenang meski ada rasa takut dalam nada bicaranya.
“Keparat itu, dasar pecundang!” desis Edgar mengepalkan telapak tangannya.
“Bagaimana dengan Mr Pumpkin?” tanya Edgar kemudian.
Dores menyodorkan gulungan kertas berisi nama-nama yang masuk dalam kelompok Mr Pumpkin.
Setelah mendengar penjelasan Dores bagaimana kelompok mafia ini bekerja, Edgar sadar jika ini adalah struktur organisasi yang menjebak.
Bahkan untuk sekedar membaca nama anggota yang hampir ribuan sungguh membuat Edgar bosan.
Sangat tidak mungkin untuk memata-matai setiap orang anggota yang jumlahnya tidak sedikit dan mereka terpencar di berbagai negara. Bukan tidak mungkin, namun pastinya akan memakan waktu yang lebih lama.
Namun ada satu nama yang cukup menarik perhatian Edgar ‘Abraham Fernando’, dia pernah mendengar tentang pria itu dari Diego.
Mungkin dia harus menanyakan hal ini kepada Diego.
...
Agatha sudah bolak balik mengubah posisi tubuhnya. Dia merasa pegal di semua persendiannya karena posisinya yang tidak bisa bebas.
Walau otaknya sudah berputar keras memikirkan hal apa yang bisa ia lakukan untuk pria itu namun tetap saja buntu, dia tidak tahu apa yang di inginkan Edgar darinya.
Tangannya yang di borgol terasa mati, dia sudah berulang kali berteriak dalam ruangan itu. Rasanya Agatha akan gila sekarang.
Dia melirik jam di dinding dan hari mulai sore. Rasa marah, kesepian, sakit, takut semua bercampur menjadi satu. Lagi-lagi dia menangis; meraung seorang diri.
Dia bersumpah akan berterima kasih kepada siapa saja yang bisa membebaskanya dalam neraka ini.
Waktu berjalan terasa lamban, bahkan menunggu jam makan malam sudah seperti seabad bagi Agatha.
…
Yang di tunggu akhirnya muncul di ambang pintu.
Edgar masih mengenakan kemeja putih dengan sedikit kancing paling atas terbuka, jangan lupa lengan kemejanya yang digulung hingga ke sikut.
Meski kelakuannya bagai iblis namun Agatha tidak bisa menyangkal jika pesona Edgar sungguh mampu membuat siapapun tunduk padanya; tatapannya yang mampu menghipnotis setiap orang sekaligus membuat merinding.
Masih sama seperti tadi pagi, Edgar menyuapi wanita itu. Tidak ada obrolan di antara keduanya, karena memang otak Agatha terasa buntu.
Sementara Edgar diam-diam memperhatikan kondisi Agatha yang mengenaskan—dia tidak tahan lagi, pria itu membanting nampan di atas nakas dengan rahang mengetat. Agatha tidak tahu apa lagi yang terjadi pada pria itu sekarang.
“Kau sudah memikirkan apa yang harus kau lakukan?” tanya Edgar.
Dia menelisik mata Agatha yang terlihat bengkak akibat terlalu banyak menangis kemudian turun pada bibir wanita itu yang membuat dia selalu kehilangan kewarasannya.
Agatha terdiam, dia tidak tahu apa yang harus ia lakukan hingga kemudian matanya tidak sengaja bertatapan dengan Edgar, dia tahu ke mana arah mata pria itu.
Agatha membuang muka ketika ide gila itu muncul dalam benaknya, hal yang mudah mungkin namun selama beberapa saat otak dan batinnya berperang hebat. Dia tidak ingin seperti ini terus, Agatha bisa gila.
“diammu aku anggap tidak—”
Edgar belum menyelesaikan kalimatnya ketika bibir Agatha mendarat di atas bibirnya.
Satu detik …
Dua detik …
Tiga detik …
“Apa yang kau lakukan?” bisik Edgar di atas bibir Agatha yang hanya diam di atas bibirnya.
Tapi Agatha tidak ingin kehilangan kesempatan, dia mulai melumat bibir Edgar dengan gerakan kaku. Tapi siapa sangka bahwa tindakannya berhasil membuat Edgar meledak?
Pria itu meraih tengkuk Agatha lalu memperdalam ciumannya, kini justru Edgar yang memegang kendali.
Dengan tangan yang lain, ia membuat posisi Agatha kini berada di bawah tubuhnya.
Edgar tidak menghentikan lumatannya yang menyusuri setiap rongga dalam mulut Agatha.
Bagi Edgar tindakan yang di lakukan oleh Agatha sekarang adalah benar tapi juga salah.
Benar karena mungkin Edgar akan berbaik hati membuka borgol tangan Agatha, tapi salah karena sekarang dia terbakar dalam api gairah.
Tangan Edgar turun menyusuri paha dalam Agatha.
Telapak tangannya mendapati bokong wanita itu di balik gaun tidur tipis yang dikenakannya.
Ciuman Edgar turun menyusuri leher jenjang Agatha, membuat wanita itu tanpa sadar memejamkan mata dan tubuhnya melengkung ke atas.
“Aku harap kau tidak menyesal dengan keputusanmu, Agatha.” desis Edgar di sela-sela cumbuannya yang berhasil membuat tubuh Agatha panas-dingin.
Edgar sadar jika Agatha sedikit kesulitan bergerak, namun entah dari mana ide gila yang muncul begitu saja dalam benaknya.
Menghukum wanita itu sedikit sepertinya tidak buruk.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bastard's Secret
Romance21++ ***Cerita ini mengandung unsur dewasa*** Kematian Ludovic cukup mengagetkan orang-orang sekitarnya. Seorang pengusaha kaya yang di kenal tegas dan berwibawa. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri. Pria yang sudah berumur setengah abad itu...