| bab 45 |

16 2 0
                                    


Happy reading!!


Berendam di jacuzzi adalah hal yang paling Yuta ingin lakukan ketika sampai rumah setelah menghabiskan waktu tujuh jam di pesawat—dari Qatar. Penerbangan yang dilakoni hanya dua hari setelah membalap memang selalu terasa lebih melelahkan. Balapan yang Yuta lakoni memang tidak menghabiskan waktu sampai berjam-jam, bahkan hanya kurang dari satu jam saja. Tetapi menjalani tiga sampai empat kali latihan bebas, satu sampai dua kali kualifikasi, serta jumpa wartawan dan penggemar, sangat cukup untuk menguras energinya di setiap akhir pekan. Memanjakan diri adalah pilihan terbaik untuk mengisi ulang energi bukan?

Setibanya di rumah, Yuta berniat langsung masuk ke dalam rumah, hanya saja kotak suratnya yang terbuka menarik perhatiannya. Kotak surat yang selama ini hanya menjadi hiasan saja kini berisi surat yang ditujukan untuk dirinya. Surat dengan amplop berwarna putih tulang polos. Tidak ada yang spesial. Hanya saja nama pengirimnya yang adalah Maudy membuat surat itu menjadi spesial, sampai membuat perasaan Yuta membuncah bahagia—mengingat rindu yang begitu besar untuk Maudy—tetapi di saat yang bersamaan rasa takut juga menyelimutinya. Apakah isi dari surat itu? Mengapa Maudy sampai mengiriminya surat? Bukankah Maudy bisa membicarakannya secara langsung saja? Rumah mereka kan bersebrangan?

Yuta melepaskan tas punggungnya dan meletakannya sembarang di pintu masuk. Sofa di dekat pintu masuk menjadi tempat yang Yuta pilih untuk membuka surat dari Maudy itu. Entah mengapa perasaan Yuta mendadak tidak nyaman ketika akan membaca surat itu. Maka dari itu, Yuta menarik napas yang cukup dalam sebelum mulai membaca surat itu.

Hai Yuta.

Sudah lama sekali aku tidak menulis surat. Dulu sekali, ketika kita mulai menjalin hubungan dan kamu pergi ke Spanyol, kita sering menulis surat seperti ini bukan? Tapi aku menulis surat ini bukan untuk bernostalgia. Ada hal penting lain yang harus aku sampaikan.

Pertama-tama, aku meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah aku lakukan kepadamu. Terutama tentang pengkhianatan itu. Aku tidak akan pernah bosan meminta maaf kepadamu, sekalipun mungkin kamu tidak akan memaafkanku dan aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu. Kamu menerima permintaan maafku saja, aku sudah bersyukur. Jika kamu nantinya—enah kapan—bisa memaafkanku, maka aku akan jauh lebih bersyukur.

Selama dua bulan ini, ketika kamu memilih untuk pergi dari hidupku, tidak lagi eksis di hidupku. Aku menyadari banyak hal. Terutama tentang makna kehadiran kamu di hidupku. Betapa hampanya hidupku tanpa kehadiranmu. Tapi aku sadar. Jika ketidak hadiran kamu di hidupku lagi, juga aksi kamu yang mendiamkanku, merupakan konsekuensi yang harus aku terima dari kesalahan yang telah aku perbuat, bukan? Maka dari itu, sekalipun menyakitkan, aku akan tetap menerimanya.

Kamu tahu? Tapi aku rasa kamu mengetahuinya. Setiap pagi, setiap kamu lari pagi, aku selalu duduk di window seat, menunggumu keluar dari rumah dan menunggumu menyelesaikan lari pagimu. Melakukan itu memang sedikit menyakitkan, mengingat biasanya aku ikut berlari pagi juga bersama denganmu. Tetapi aku tetap melakukannya, karena hanya itu yang bisa aku lakukan untuk dapat melihat kamu dengan bebas, untuk menghilangkan sedikit rindu yang aku miliki untukmu. Tidak hanya itu sebetulnya, aku hampir setiap saat duduk di window seat, melihat ke arah rumahmu, sambil berharap kamu muncul atau bahkan melirik sekilas ke arah rumahku. Sesederhana itu, hanya saja itu tidak sesederhana kelihatannya, bukan? Sebab kamu sudah memilih untuk tidak lagi eksis di hidupku, jadi untuk apa kamu melirik ke arah rumahku, bukan?

Oke, lupakan soal pengakuan tidak penting itu. Perasaan rindu dan menyalurkannya hanya dengan melihatmu, itu adalah urusanku dan perasaanku sepenuhnya. Tidak ada hubungannya dengamu.

Logika & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang