| Bab 35 |

15 1 0
                                    

Happy reading!!!


Maudy beserta keluarga besarnya sudah kembali ke Tokyo sore hari tadi. Mereka memutuskan untuk langsung bertolak ke hotel untuk istirahat, setelah hampir seharian berkeliling Kyoto, menyimpan energi untuk besok dan lusa berkeliling Tokyo. Seharusnya Maudy dan Wendy pun begitu, namun tawaran dari Tante Hilda—Mama nya Fathan—yang mengajak mereka untuk menikmati semangkuk biji salak di cuaca dingin seperti ini tentu tidak bisa mereka tolak.

"Te, it's oke buat bikinin kita biji salak? Enggak capek apa?"

"It's oke Mod. Bikinnya enggak lama kok. Sebentar aja. Mumpung kamu, Fathan, sama Wendy lagi disini. Di Singapura kan susah dapet biji salak, apalagi di Spanyol kan Mod?"

Maudy mengangguk sembari tertawa. Memang benar adanya, selama delapan tahun tinggal di Singapura hanya satu kali Maudy pernah memakan biji salak, itu pun ketika buka puasa bersama perkumpulan pelajar Indonesia di Singapura beberapa tahun lalu.

"Kalian tunggu aja di ruang tengah atau di teras depan atau biasa juga nongkrongnya di kamar Fathan, jadi tunggu disana aja. Di dapur juga kalian enggak akan bantu kan? Nanti dapurnya jadi hancur berantakan." Sindir Hilda yang tidak terasa seperti sebuah sindiran, sebab Hilda mengucapkannya dengan nada bercana. Lagipula, Maudy cukup tahu diri untuk tidak berinisiatif membantu Hilda untuk membuat biji salak, bukan tidak mungkin nanti dapur yang begitu rapi dan tertata ini akan menjadi kapal pecah.

"Beneran enggak apa-apa Tan?" Wendy jelas merasa tidak enak. Dirinya mampu dan bersedia untuk membantu Hilda, tetapi perintah untuk tidak membantu ini jelas membuat dirinya tidak nyaman.

Hilda mengangguk. "Enggak apa-apa Wen. Udah kalian naik aja ke atas."

Seizin dari Hilda, ketiganya naik ke lantai atas, tempat di mana kamar Fathan berada. Kamar Fathan memang selalu menjadi basecamp jika berkunjung ke rumahnya, seperti lantai dua rumah Maudy atau ruang keluarga rumah Maudy yang selalu menjadi tempat untuk mereka nongkrong.

"Mod, ada satu hal yang bikin aku penasaran. Boleh tanya enggak?"

Maudy mengernyit mendengar pernyataan sekaligus permintaan izin dari Fathan itu. Pertanyaan seperti apa yang akan ditanyakannya sampai-sampai meminta izin terlebih dahulu. "Mau tanya apa? Feel free kok."

Fathan menegakan punggungnya yang semula menyandar kepada kepala ranjangnya, menatap serius ke arah Maudy yang tengah duduk bersila di tepi ranjang. Tatapan serius yang dilemparkan Fathan itu jelas mengundang atensi Wendy yang duduk di meja kerja Fathan, tepat di sebelah tempat tidurnya.

"Bukannya aku sok agamis apalagi sok alim ya. Kemarin waktu Yuta bilang kalau alasan dia jadi mualaf dan alasan kenapa dia akhirnya mau nikah sama kamu itu karena katanya, dia enggak mau bikin kamu berdosa lebih jauh, di samping dia mau hidup dan menua sama kamu ya, dan di samping dia yang katanya udah jatuh cinta sama agama islam. Tapi kenapa kalau dia udah memiliki pemikiran tentang kalau pacaran itu dosa and I'm pretty sure dia juga tahu kalau pegangan tangan atau berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah dosa juga. So, why he still doing something like he always did? Ajak kamu liburan bareng. Give you a hug and a kiss. And as long as I remembered, in this past two years both of you still going holiday together, Dubai as an annual, Ibiza, US, and many places you have been there together. I just think that what he said is different from what his did aja."

Maudy tidak menyangka Fathan akan bertanya hal seperti itu. Pertanyaan yang sebenarnya timbul juga dalam benak Maudy ketika mendengar perkataan Yuta di yuino kemarin. Tanpa perlu membiarkan rasa penasaran terus menghantuinya jelas saja Maudy langsung bertanya kepada Yuta ketika acara sudah selesai. "Aku udah tanya tentang hal itu ke Yuta kemarin malam."

Logika & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang