Happy reading!!!
Satu minggu berlalu setelah Maudy mendengar percakapan diam-diam antara Yuta dengan kedua orang tuanya. Selama satu minggu itu, Maudy hanya berdiam di rumah—di kamar tidurnya atau di ruang keluarga, tanpa melakukan aktivitas apapun selain aktivitas wajibnya—membersihkan diri, makan, dan tidur. Rasanya melamun dan merenung menjadi aktivitas yang paling sering Maudy lakukan selama satu minggu terakhir ini.
Maudy tidak habis pikir, mengapa Yuta masih amat peduli dengan dirinya? Mengapa Yuta masih bersikap baik kepada dirinya? Bukankah Maudy sudah menyakiti Yuta? Bukankah lebih baik jika Yuta membencinya saja daripada masih tetap peduli? Itu jauh lebih menyakitkan bagi Maudy. Membuat perasaan bersalah Maudy semakin besar saja. Lebih besar daripada saat Yuta tetap mengantar Maudy ke California akhir Januari kemarin—karena bagaimanapun juga Maudy dan Yuta tengah bersama-sama saat itu—sementara saat ini, Maudy tidak sedang bersama-sama dengan Yuta, lantas mengapa Yuta masih bersedia untuk mengantarkan Maudy pulang andaikata Yuta mengetahui rencana ke pulangannya itu?
Sikap Yuta yang tetap baik seperti ini—layaknya tidak terjadi masalah yang besar—membuat perasaan bersalah Maudy semakin besar saja, membuat Maudy semakin menyadari jika dirinya tidak pantas untuk Yuta yang teramat begitu baik, jika dirinya tidak pantas untuk mendapatkan lagi kebaikan dari Yuta. Tidak hanya itu, sikap Yuta yang tetap baik itu, membuat Maudy semakin menyadari, jika disamping besarnya perasaan bersalah yang selama ini dimilikinya, nyatanya perasaan sesal yang dimiliki Maudy pun tidak kalah besarnya.
Setelah menyadari perasaan sesal itu, Maudy tidak henti-hentinya menyalahkan tentang kebodohannya. Mengapa Maudy tidak merasa cukup dan bersyukur telah mendapatkan pasangan seperti Yuta? Mengapa Maudy masih saja ingin yang lebih sempurna dari seorang Yuta Takahashi? Rasanya Maudy ingin sekali mentertawakan nasibnya atas pilihan yang dibuatnya sendiri. Bodoh sekali.
Maudy merasakan tepukan di pundaknya ketika tengah menatap halaman depan rumahnya dari jendela di ruang keluarga. Senyum hangat Ginardi didapatkan Maudy ketika menoleh untuk melihat siapa yang sudah menepuk pundaknya. "Papi kok udah pulang?"
Jelas Maudy heran. Waktu baru menunjukkan pukul dua belas siang dan sangat tidak wajar bagi Ginardi untuk berada di rumah ketika masih siang. Sekalipun tidak ada jadwal operasi, tetap saja Ginardi akan pulang ke rumah larut malam.
"Hari ini Papi izin untuk enggak praktik. Mau ajak princess nya Papi jalan-jalan." Ginardi memang memiliki jadwal praktik di siang hari—pukul dua—sebab pagi hari adalah jadwal Ginardi mengajar di Universitas.
"Kasihan pasien Papi loh. Mereka udah nunggu waktu buat ketemu sama Papi, masa iya Papi nya enggak datang. Ajak aku jalan-jalan kan bisa nanti malam, misalnya." Perkataan Maudy itu hanyalah sebuah alasan saja. Maudy memang sedang tidak ingin melakukan aktivitas apapun, apalagi sampai yang mengharuskan Maudy pergi keluar rumah. Semangat dan energi Maudy untuk beraktivitas semakin hari semakin menguap bersamaan dengan perasaan bersalahnya untuk Yuta yang semakin besar.
"Kamu enggak kangen sama jajanan waktu kamu sekolah dulu?"
Dan disinilah Maudy dan Ginardi sekarang berada. Di sebuah kedai yang menjual onigiri di dekat sekolah Maudy dulu. Kedai ini spesial bagi Maudy. Dulu setiap pulang sekolah Maudy selalu mendatangi kedai ini untuk mengisi perut dengan onigiri kesukaannya—salmon dan mentaiko—sebelum belajar di akademi. Onigiri yang terkadang akan Maudy bawa ke akademi untuk dimakan disana atau terkadang akan langsung Maudy makan di tempat, sembari menunggu Fathan selesai bermain bola. Iya, kedai ini menjadi tempat terbaik bagi Maudy untuk menunggu Fathan selesai bermain bola—karena menunggu di lapagan sekolah tidak selalu menjadi pilihan Maudy. Selain karena dapat menunggu di ruangan tertutup dengan pendingin ruangan, Maudy juga dapat dengan bebas dan sepuasnya—tanpa takut tertangkap basah—ketika sedang memperhatikan Yuta. Mengingat letak kedai onigiri ini yang menghadap persis ke lapangan sepak bola sekolah Maudy, hanya terpisah oleh pagar pembatas dan jalanan kecil saja. Jadi, ketika Maudy duduk di kursi bar yang menghadap ke jendela luar kedai—seperti saat ini—maka pemandangan yang Maudy lihat adalah lapangan sekolah yang masih kosong dikarenakan jam pulang sekolah belum tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Logika & Rasa
ChickLitIni cerita tentang Maudy yang bertemu dengan seorang laki-laki di waktu yang tidak tepat. Laki-laki yang memiliki kehidupan berbeda dengan dirinya, tetapi mampu memberikan apa yang selama ini Maudy inginkan. Laki-laki yang membuat Maudy merasakan ke...