| bab 14 |

12 1 0
                                    

I'm glad if you willing to leave a vote or a comment on this chapter :)

Happy reading!!


Begitu tiba di rumahnya, Aksa langsung melampiaskan kekesalannya yang sudah ditahannya sejak di Orchard Road beberapa jam yang lalu. Berteriak dan menendang tas backpack yang dia lemparkan sebelumnya. Tidak peduli jika para tetangganya terganggu oleh teriakannya malam hari ini. Tidak peduli juga jika Pak RT datang menghampiri untuk memprotes. Hal yang dibutuhkan Aksa malam hari ini adalah melampiaskan kekesalannya yang sudah memuncak.

Aksa benar-benar kesal dengan Fathan yang bisa mengatur hidup Maudy sampai sebegitunya. Marah ketika melihat Maudy tengah jalan bersamanya. Seberapa penting dan berpengaruh sih Fathan dalam kehidupan Maudy? Mengapa apa-apa selalu Fathan bagi Maudy?

Aksa meneguk satu kaleng cola hingga tidak bersisa. Meremukan kaleng kosong dan melemparakannya ke tempat sampah tidak juga meredakan kekesalannya. Terlebih tidak ada satu pun pesan yang dikirimkan oleh Maudy. Seakan Maudy menghilang begitu saja. Aksa khawatir dengan Maudy yang tidak memberikan kabar sama sekali. Khawatir jika Fathan memarahi Maudy. Jika itu sampai terjadi, Aksa tidak akan sudi memaafkan Fathan, sebab Fathan tidak berhak untuk memarahi Maudy. Sekalipun Fathan memang memarahi Maudy, bukankah seharusnya Aksa juga ikut dimarahi? Karena yang bermain di belakang Hannah tidak hanya Maudy saja, tetapi juga Aksa.

Aksa berusaha menghubungi Maudy, tetapi ponsel Maudy tidak aktif. Berkali-kali dicoba pun hasilnya tetap sama. "Sialan!"

Aksa membaringkan tubuhnya di sofa, menatap langit-langit ruang keluarganya sembari berusaha mengatur napas agar kekesalannya dapat lebih terkontrol. Perlahan kekesalannya mulai mereda, akan tetapi pikirannya yang masih bergerak liar justru membuat Aksa takut bukan main. Aksa takut jika setelah ini Maudy tidak mau lagi bertemu bahkan berkomunikasi dengannya. Terlebih jika hal itu disebabkan oleh Fathan yang melarang Maudy untuk melakukannya. Aksa takut jika itu terjadi, sebab baru saja Aksa hendak menyampaikan maksudnya kepada Maudy dan baru saja hendak mengakhiri hubungannya dengan Hannah. Jika sampai hal itu terjadi, Maudy pergi dari hidup nya, Aksa akan marah kepada Fathan dan lebih dari itu Aksa tidak tahu harus bersikap bagaimana. Rasanya Aksa akan kehilangan arah dan semangat untuk hidup. Bertemu, mengenal, dan dekat dengan Maudy adalah sesuatu hal yang sangat berharga dan membahagiakan dalam hidup Aksa, hingga membuat Aksa tidak ingin kehilangan Maudy di hidupnya. Aksa sudah jatuh cinta kepada Maudy dengan sejatuh-jatuhnya.

*****

Udara pagi di Kota Bandung tidak lagi sedingin dan sesejuk dulu sebetulnya, hanya saat-saat tertentu saja—terutama bagi warga asli kota kembang itu. Pagi hari ini libur nasional, jadi Hannah tidak berangkat kerja. Menyenangkan sekali rasanya mendapat hari libur nasional di pertengahan minggu, lumayan untuk mengisi ulang energi agar lebih semangat bekerja sampai penghujung minggu. Rencananya hari ini Hannah akan membantu Anggita membuat kue seroja. Camilan di rumah sudah hampir habis, saatnya membuat camilan baru untuk stok.

Hannah berniat menghubungi Aksa dan menanyakan apakah Aksa mau dikirimkan kue seroja atau tidak, sebab kue seroja adalah salah satu camilan kesukaan Aksa. Membuat panggilan di pagi hari ketika libur kepada Aksa, rasanya hal yang wajar sebab Aksa adalah morning person, mungkin pukul delapan pagi ini Aksa sudah selesai berolahraga.

Nada panggilan terdengar sebanyak tiga kali sebelum akhrinya suara Aksa terdengar. Suara dari seseorang yang Hannah rindukan setiap harinya. "Halo, assalamu'alaikum Mas."

"Wa'alaikumsalam. Ada apa Nah?"

Ini hanya perasaan Hannah yang berlebihan saja atau memang Aksa tidak suka mendapat panggilan dari Hannah sepagi ini. Suara Aksa begitu dingin dan tidak bersahabat, seperti sedang tidak ingin diganggu. "Aku ganggu?"

"Ada apa?"

Bahkan Aksa tanpa perlu repot-repot menjawab pertanyaan Hannah apakah dia menganggu waktu Aksa atau tidak. Sepertinya Hannah benar-benar sudah menganggu Aksa, jadi langsung kepada intinya adalah jalan terbaik. Padahal sebelumnya Hannah ingin bertukar sapa dan bercerita terlebih dahulu, sudah hampir satu minggu Hannah tidak melakukan panggilan dengan Aksa, sebab Aksa selalu beralasan sedang sibuk. "Mama mau bikin kue seroja, Mas Aksa mau dikirimin?"

"Terserah."

"Oke aku kirimin ya Mas."

Belum selesai Hannah terkejut dengan respon singkat dari Aksa, Hannah kembali dikejutkan lagi dengan panggilan yang tiba-tiba diputuskan secara sepihak oleh Aksa. Tanpa pemberitahuan sama sekali. "Mas Aksa kenapa ya?" gumaman itu terdengar oleh Anggita yang baru saja bergabung bersama Hannah untuk sarapan di meja makan.

"Ada apa Teh?"

Hannah mengerjap mendapati pertanyaan dari Anita. "Enggak ada apa-apa Mah."

"Yakin? Kok kaya kaget sekaligus enggak nyaman gitu habis teleponan. Itu Mas Aksa?"

Hannah terpaksa mengangguk. Hannah memang bukan tipe orang yang pandai menyembunyikan ekpresinya, terlebih dihadapan Anggita. Berceirta mungkin lebih baik dan membuat perasaannya lebih lega. "Iya, itu Mas Aksa. Tadi aku telepon, apa Mas Aksa mau dikirimin kue seroja atau enggak. Tapi nada bicara Mas Aksa dipanggilan itu kaya keganggu sama telepon aku Mah. Responnya pun jutek dan cuek. Aku bingung, tumben Mas Aksa bersikap kaya gitu."

Anggita mengusap punggung Hannah pelan, memberikan ketenangan kepada puteri satu-satunya yang ekspresi kecemasan kentara sekali terlihat di wajahnya. "Kamu sendiri bukan yang bilang kalau satu bulan terakhir ini Aksa lagi banyak kerjaan, sampai enggak sempat datang ke Bandung. Mungkin mood nya pagi ini juga lagi jelek karena pekerjaannya atau mungkin Aksa baru tidur terus kebangun sama telepon dari kamu."

"Aku juga berpikir ke arah sana sih Mah. Tapi selama ini, sesibuk dan sebanyak apapun kerjaan Mas Aksa, enggak pernah dia setidak ramah itu pas aku telepon. Apa aku ngelakuin kesalahan yang enggak aku sadari ya dan buat Mas Aksa marah?"

"Jangan berpikiran jelek deh. Kebiasaan kamu. Masa iya tiba-tiba Aksa marah sama kamu padahal udah sebulan enggak ketemu. Seharusnya kamu yang lebih cocok kalau mau marah, karena Aksa enggak berniat sedikit pun meluangkan waktunya untuk ketemu sama kamu."

"Tapi..."

"Jangan terlalu dipikirin, nanti capek sendiri. Berpikiran positif aja. Aksa lagi sibuk dan capek sama kerjaannya, mungkin baru bisa tidur juga. Jadi pas kamu telepon enggak ramah. Oke? Jangan mikir aneh-aneh."

Hannah mengangguk pasrah. Hal yang dikatakan Anggita memang besar kemungkinan sedang dialami oleh Aksa. Semakin tinggi jabatan seseorang dalam karir, tentu semakin banyak juga tuga dan tanggung jawab yang harus dituntaskan bukan? Berdasarkan informasi dan cerita yang Hannah peroleh dari Aksa, jika satu bulan terakhir ini pekerjaan Aksa sedang banyak-banyaknya, bahkan tidak jarang juga Aksa baru bisa tertidur menjelang subuh, di akhir pekan pun demikian, hingga hal itu berimbas kepada pertemuannya dengan Hannah. Memberi pengertian lebih dan memakluminya mungkin saat ini memang jalan terbaik. Hannah hanya berharap Aksa dapat menjaga kesehatannya dengan baik, pekerjaannya segera selesai, dan bisa kembali menemui Hannah lagi di Bandung atau Aksa yang kembali mengizinkan Hannah untuk menemuinya di Jakarta.



Thank you for reading!

How about this chapter? 

Logika & RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang