12. Erlangga

50.2K 2.7K 46
                                    

Happy reading



Nalika mengalah lagi namun bukan berarti Erlangga memberikan Rean begitu saja. Ayah satu anak itu sangat menyayangi putranya, ia akan melindunginya dari siapapun yang dapat menyakiti Rean termasuk dari ibunya sendiri. Tidak salah, itu hanya naluri seorang ayah. Namun keegoisannya membuat segala hal yang dilakukan pria itu menjadi salah.

Meskipun terjadi perdebatan tadi pagi, laki-laki itu tetap pergi berangkat ke kantor karena banyak hal yang harus diurus.

Tadinya, Erlangga ngotot ingin membawa Rean ke kantor guna menjauhkan Nalika dan Rean sebagai hukuman yang ia berikan pada istri nakalnya itu. Tapi Nalika memohon padanya agar tidak membawa Rean, setelah berpikir keras akhirnya Erlang membiarkan Rean di rumah.

Untungnya Rean tidak bereaksi apa-apa, anak itu hanya mengiyakan permintaan maaf Nalika lalu bermain seperti biasa.

Nalika memandangi Rean yang sedang bermain sendiri, ia melihat sekeliling. Rumah besar ini yang menjadi saksi bagaimana jatuh bangunnya Nalika. Ia menatap kosong, dada nya sesak sekali.

Erlangga memang baik, laki-laki itu tidak pernah pelit soal materi namun memang beberapa kali Erlangga sering bertanya soal pengeluaran, hanya itu saja, tidak menuntut ini itu. Erlangga juga tidak menuntut Nalika untuk hemat, laki-laki itu bebas-bebas saja, asal pengeluaran masih batas wajar saja.

Erlangga juga tidak pernah dekat dengan wanita selama pernikahan mereka, bisa dibilang laki-laki itu hanya tertuju pada keluarganya.

Nalika tersentak saat mendengar suara bel dari pintu luar, ia mengusap air matanya yang tanpa sadar jatuh. Ia menghampiri pintu, membuka nya.

Ah, Bu Runi ternyata, Nalika tersenyum menyapa. "Ada apa Bu?"

Bu Runi memasang wajah cerianya, ia mengulurkan tangannya yang sedang memegang sebuah paperbag. "Mbak Nana ... Kebetulan anak saya yang sulung baru dateng dari Garut, anak saya bawa oleh-oleh cukup banyak. Saya jadi inget mbak Nana, diterima ya mbak."

"Yaampun, Bu, gak usah repot-repot padahal. Saya terima, makasih ya." Ucap Nalika terharu, ia senang sekali dengan kehadiran tetangga barunya ini.

Bu Runi mengangguk seraya tersenyum, ia menelisik mimik wajah Nalika yang tampak sedang kacau.

"Mbak Nana ada masalah?" Tanya Bu Runi tampak khawatir.

Nalika tersenyum tipis. "Biasa Bu, masalah kecil aja. Ibu mau mampir dulu?"

Bu Runi tampak berpikir sebentar, lalu mengangguk. "Boleh deh, siapa tau kamu butuh temen. Tua-tua gini ibu masih bisa gaul sama anak muda loh."

Nalika terkekeh mendengar gurauan Bu Runi, ia mempersilahkan Bu Runi masuk. Bu Runi duduk di sofa sementara Nalika mengambilkan minum dan cemilan.

"Rean, sini dulu sayang. Ada yang mau mama kenalin ke kamu." Panggil Nalika sembari membawa nampan berisi teh dan beberapa biskuit.

Rean yang sedang bermain di ruang televisi pun pergi menghampiri sang ibu, "kenapa ma?"

"Kemarin belum sempat kenalan sama nenek ya?" Bu Runi menyapa Rean terlebih dahulu, ia baru ingat kemarin belum ada percakapan apapun dengan anak dari Nalika itu.

Rean mengangguk kaku. Ia bingung bereaksi dengan orang baru.

"Rean main sendiri aja na?"

Nalika mengangguk mengiyakan. "Anak-anak komplek sini udah pada gede semua Bu, jadi gak ada yang seumuran sama Rean."

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang