18. Erlangga

48.8K 2.6K 111
                                    

Happy reading




"Kalo aku minta cerai gimana mas?" Tanya Nalika setelah berperang dengan pikiran dan egonya.

Deg, Erlangga yang awalnya sedang makan dengan tenang tiba-tiba terhenti saat Nalika berkata demikian. Ia mendongak, menatap tajam istrinya.

"Saya gak suka kalo kamu bawa-bawa kata sialan itu." Ucap Erlangga dengan nada penuh dengan penekanan.

"Emangnya kenapa, mas?" Tanya Nalika, merasa kalau ia tidak bersalah.

Apa tadi katanya? Bercerai? Kata itu sama sekali tidak pernah terlintas dalam hidup Erlangga. Baginya, menikah itu hal yang sangat sulit dan jika ia sudah menikah maka ia akan mempertahankan apapun alasan berpisah mereka. Erlangga tidak peduli, yang pasti ia tidak mau anak-anaknya nanti harus hidup bersama orang asing hanya karena alesan perceraian.

"Karena kita gak akan pernah cerai, jadi stop ngucapin kata itu." Tekan Erlangga.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku," Tuntut Nalika.

"Kamu serius tanya soal tadi?" Tanya Erlangga ulang, ia benar-benar tidak berekspetasi kalau Nalika akan mengatakan hal itu.

"Aku cuma tanya aja." Jawab Nalika, sejujurnya ia masih ragu. Banyak pertimbangan yang harus dilakukan jika akan mengambil langkah se-beresiko itu.

"Saya gak akan pernah lepasin kamu, cerai itu cuma ada di mimpi kamu. Oh, bahkan saya ngelarang kamu mimpiin hal itu."

Nalika menunduk, mengepalkan tangannya kuat. "Tapi kamu gak bisa terus-terusan kaya gini, aku terus yang capek jadinya."

"Kaya gini gimana Nalika? Kurang apa saya buat kamu? Saya gak ngelakuin hal-hal yang buat kamu tersinggung, saya gak suka main-main sama perempuan, kamu tau itu." Balas Erlangga yang jelas-jelas tidak terima disalahkan.

"Setia aja gak cukup mas, yang aku butuhin perubahan sikap kamu, kalau gini terus aku bisa minta cerai beneran." Nalika mengatakan hal tersebut dengan nada rendah, menahan tangis nya.

Erlangga berdecak kesal seraya menggeleng-gelengkan kepalanya, ia bingung pada istrinya ini, perubahan apa lagi yang istrinya mau? Bukankah ia sudah menjadi lebih baik? Lalu apa lagi?

"Memang pada dasarnya kamu yang kurang bersyukur. Lihat, wanita-wanita diluar sana yang gak seberuntung kamu. Kamu beruntung bisa hidup dengan saya yang terima kamu apa adanya, harusnya kamu bersyukur karena saya bertanggung jawab."

"Saya bisa punya wanita lain diluar sana kalau saya mau, tapi nyatanya saya enggak kan? Saya lebih milih keluarga saya dan fokus jadi ayah yang baik buat anak saya." Lanjutnya setelah jeda sejenak.

"Itu aja gak cukup mas, kamu memang ayah yang baik tapi kamu lupa kalau kamu masih terlalu egois sama istri kamu."

"Bagi saya, egois sedikit wajar karena kedudukan saya disini jelas berada diatas kamu. Kamu tinggal jalanin aja, ngurusin anak, ngurusin saya, beres na. Gak usah berlebihan sampai harus cerai, saya gak suka." Ucap Erlangga dengan menekan kalimat terakhir nya.

"Lain kali bersyukur dulu sebelum ngucapin hal-hal yang gak wajar." Lanjut Erlangga lalu pergi begitu saja, sama sekali tidak berminat menghabiskan mie nya dan meninggalkan Nalika yang sedang terduduk sembari terus menunduk takut.

****

Seharian ini Nalika di diamkan habis-habisan oleh Erlangga, laki-laki itu tidak mau menjawab sepatah kata pun jika di tanya oleh Nalika.

Nalika jadi heran sendiri, kenapa malah laki-laki itu yang marah? Harusnya ia bukan?

Hari Sabtu pagi ketika Nalika kembali ke kamarnya setelah pergi ke dapur sebentar Nalika melihat sebuah gaun dress berwarna peach tergeletak diatas kasurnya. Nalika mengambil dress itu, menelisiknya sesaat.

Dress itu tampak sangat mewah namun elegan, sepanjang lutut dengan lingkar dada yang tidak terlalu terbuka, dress itu terbilang tertutup namun tidak menutupi kesan elegan disana. Sangat cantik, Nalika suka.

Setelah beberapa saat memperhatikan dress itu, Nalika dapat melihat secarik kertas yang berada di atas kasur. Ia mengambil kertas tersebut.

Pakai buat acara reuni nanti malam.

Hanya itu saja tulisan dari kertas itu. Ah, Nalika baru ingat kalau ada acara reuni SMA suaminya nanti malam. Mengingat hubungan bersama suaminya, Nalika tidak yakin apakah acara itu akan berjalan lancar atau tidak.

Setelah kejadian semalam dimana ia mengucapkan kata cerai, Nalika kembali seperti biasa. Namun Erlangga tidak, laki-laki itu marah padanya.

Nalika termenung sejenak, memikirkan banyak hal yang memenuhi kepalanya.

****

Malam ini atau lebih tepatnya pukul tujuh Nalika sudah bersiap-siap dengan dress yang suaminya berikan, ia juga memilihkan baju yang cocok untuk Rean ikut.

Nalika telah tampil sempurna dengan rambut yang ia biarkan tergerai tetapi setengah rambutnya dijepit, Nalika melihat dirinya di pantulan cermin. Lumayan, tidak buruk-buruk amat.

Meskipun sudah pukul tujuh malam suaminya belum pulang, biasanya suaminya itu pulang sore atau habis magrib. Tapi sampai sekarang belum pulang sama sekali, chat dari Nalika pun tidak dibalasnya.

"Mama cantik banget!" Puji Rean saat Nalika membantunya memakaikan sepatu.

"Makasih, sayang." Nalika tersenyum tipis.

Nalika melirik ponselnya yang berbunyi, ia membaca pesan karena itu dari suaminya. Jika tidak penting-penting amat, Nalika tidak berminat membacanya, berhubung itu dari suaminya maka Nalika membaca pesan tersebut.

Rupanya pria itu sedang dalam perjalanan kemari, laki-laki itu juga bilang kalau ia akan langsung menjemput Nalika dan Rean ke reuni, tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Nalika hanya mengiyakan laki-laki itu, sembari menunggu Erlangga datang di ruang tamu.

Tak lama kemudian terdengar suara klakson mobil, Nalika bergegas menggenggam tangan Rean keluar rumah, tidak lupa mengunci pintu terlebih dahulu.

Mereka masuk ke mobil, Nalika duduk di depan dan tentunya Rean di belakang. Nalika mengulurkan tangannya berniat bersalaman pada Erlangga, dengan ogah-ogahan laki-laki itu mengulurkan tangannya membiarkan istrinya mencium tangannya.

"Mas, udah makan?" Tanya Nalika, karena biasanya jika pulang kerja suaminya pasti akan lapar.

"Saya makan diluar tadi." Akhirnya Erlangga mau menjawab pertanyaan Nalika setelah dari semalam pria itu mendiami nya.

Nalika mengerutkan keningnya, tumben? Biasanya pria itu enggan sekali makan diluar.

"Tumben mas? Biasanya kamu gak mau makan diluar."

"Saya males sama kamu." Singkat Erlangga namun terasa jelas bagi Nalika.

Nalika tersenyum masam, bukankah harusnya ia yang malas pada pria itu?

"Harusnya aku yang males sama kamu, mas." Balas Nalika.

"Kamu yang gak jelas loh, saya gak salah apa-apa tiba-tiba minta yang aneh-aneh."

Nalika memilih diam, tidak mau membahas percakapan itu lagi.

"Kamu terlalu kekanak-kanakan belakang ini, Nalika." Ucap Erlangga menatap lurus ke depan.

Dalam bayangannya, hanya ia yang memegang kendali penuh atas rumah tangga ini.

TBC

Kok pada mau Erlangga sama Nalika cerai sih, aku malah pengennya mereka hidup harmonis 🥰

*Selesai di revisi

See uuu guys

Sorry for typo ya



emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang