42. Nalika

48.9K 3.6K 86
                                    

Happy reading





Erlangga hanya bisa terduduk lemas melihat istrinya terbaring di rumah sakit. Ia buru-buru pulang ke rumah saat Bi Ning mengabari bahwa istrinya ditemukan dengan keadaan sedang terduduk di lantai dan kaca yang berserakan dimana-mana. Tanpa pikir panjang Erlangga segera pulang ke rumah dan membawa Nalika ke rumah sakit, tidak ada luka serius namun dokter hanya memperingatinya untuk lebih ekstra lagi menjaga kondisi kesehatan kehamilan Nalika.

Yang membuat Erlangga terpukul bukan karena kondisi kesehatan Nalika, melainkan kondisi kesehatan mental wanita itu.

Ia sempat berkonsultasi dengan mbak Ana mengenai kesehatan mental istrinya. Erlangga dan Mbak Ana sepakat untuk terus berkonsultasi demi kesehatan mental Nalika.

Mbak Ana mengatakan pada Erlangga. "Saya mohon maaf sebelumnya, tetapi sepertinya Nalika harus dipisahkan dengan anda untuk sementara waktu. Kemungkinan besar pemicu utama emosi nya yang tidak stabil adalah anda sendiri, terlebih sebelumnya anda sempat bertengkar dengan istri anda."

Bagaimana bisa Erlangga dipisahkan dengan Nalika? Apa ia harus membiarkan Nalika tinggal sendiri sementara ia tinggal bersama Maminya? Itu tidak menjamin karena Erlangga tidak bisa memantau Nalika secara langsung, Bi Ning pun pasti kerepotan dan ditambah ada Rean.

Erlangga menatap Nalika yang mulai terusik, sepertinya wanita itu terbangun.

Baru saja membuka matanya, Nalika sudah merasakan elusan lembut di tangannya. "Sayang, apa yang di rasa? Pusing?" Tanya laki-laki itu khawatir.

Nalika menggeleng lemah.

"Kenapa bisa sampai pecah gitu, hm?"

Nalika terdiam cukup lama hingga akhirnya ia berbicara dengan suara lirih.

"Aku benci, aku jelek banget lagi hamil gini." Jawab Nalika lirih, ia mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Astaga, alasan yang tidak pernah Erlangga prediksi sama sekali. "Masih cantik kok, jangan kaya gitu lagi ya? Kamu lagi hamil, nanti kenapa-napa."

Nalika tertawa dalam hati, hanya bayinya yang dikhawatirkan, bukan dirinya. Padahal Erlangga mengkhawatirkan Nalika dan bayinya, itu hanya pikiran buruk Nalika.

"Dulu waktu hamil Rean gak gini-gini banget, sekarang tubuh aku berubah drastis banget. Gemuk, makin jelek sampai aku aja muak liat diri aku sendiri."

Coba aja kalau aku gak hamil...

Erlangga merengkuh tubuh Nalika dengan penuh kasih sayang, ia menepuk-nepuk bahu Nalika menenangkan. "Tetep cantik, kamu kaya gini karena hamil anak saya, saya harusnya berterimakasih sama kamu. Jangan sedih terus, kamu cantik meskipun enggak kaya dulu lagi."

"Makasih sudah mau terima saya, saya benar-benar beruntung mendapatkan sosok istri seperti kamu."

Aku Nerima kamu, tapi itu dulu...

Erlangga melepaskan dekapannya, ia menatap Nalika dengan teduh.

"Biar enggak sedih lagi, gimana kalau kita ke rumah orangtua kamu? Kebetulan saya ada dinas di luar kota, saya gak mau ninggalin kamu tanpa pengawasan saya langsung." Bohong Erlangga yang sebenarnya ia sengaja mendekatkan Nalika dengan keluarganya dan memberi wanita itu waktu bersama keluarganya tanpa kehadirannya, sesuai saran Mbak Ana.

Kening Nalika berkerut aneh. "Kan ada Mami? Kenapa aku gak nginep di rumah mami aja? Lagipula sekarang ada Bi Ning."

"Mami sibuk katanya, kamu di rumah orangtua kamu aja. Saya antar besok."

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang