51. Erlangga

47.2K 3.8K 269
                                    

Happy reading



Rean hanya diam seraya menatap ke arah kaca mobil, ia menatap hamparan jalan dengan kosong. Perasaannya hancur. Hari ini, hari yang paling ia takutkan tiba. Mama dan Papa nya resmi bercerai hari ini.

Sesuai dengan kesepakatan orangtuanya, mereka akan pindah ke rumah yang sudah dibelikan Papanya sebagai hadiah terakhir.

Papanya dengan inisiatif menyempatkan diri untuk mengantarkan mereka ke rumah barunya. Berbeda dengan biasanya, jika mereka pergi bersama-sama maka Mamanya akan duduk di depan di samping Papanya, sekarang berbeda. Mama nya sama sekali enggan duduk di depan berdampingan dengan mantan suaminya. Nalika lebih memilih duduk di belakang bersama kedua anak kembarnya, sedangkan Rean di depan.

Suasananya hening, tidak ada canda tawa atau pembicaraan apapun. Tidak ada lagi figur keluarga bahagia yang Rean dapatkan selama ini.

Mobil mereka terparkir di sebuah rumah dua tingkat bercat abu-abu itu. Rumahnya luas dan cenderung tertutup oleh pagar yang menjulang tinggi.

Rean menyeret kopernya memasuki rumah itu.

"Rumahnya ada empat kamar, dua di atas dan dua lagi di bawah, kalian bebas mau pilih kamar yang mana." Ucap Erlangga sang ayah memberitahukan total kamar rumah ini. Ia adalah orang pertama yang berbicara untuk memecah keheningan.

Akibat dari perpisahan orangtuanya yang mendadak, Rean terpaksa harus pindah sekolah. Rean menipiskan bibirnya, sebenarnya ia malas bertanya namun ini perlu. "Sekolah aku ... Gimana?"

Baik Erlangga maupun Nalika keduanya sama-sama menoleh ke arah putra sulungnya. Mereka berdua saling tatap sejenak.

"Kamu udah kelas sembilan, sebenarnya susah kalau mau pindah sekolah. Tapi Papa udah ngurusin semuanya, papa udah nyari sekolah yang cocok untuk kamu, buat si kembar juga." Jelas Erlangga.

Rean mengangguk tanpa bertanya lebih detail, jujur saja ia masih kecewa akan semuanya. Laki-laki itu mengangkat kopernya menaiki tangga. Ia membuka salah satu pintu kamar, melihat sekeliling. Kamarnya cukup luas dan yang Rean suka ada balkon yang di tutupi dengan pintu kaca. Baiklah, ia akan memilih kamar ini.

Yang paling membuat Rean malas pindah sekolah yaitu karena ia harus beradaptasi lagi, mengenal orang-orang baru lagi. Merepotkan.

Saat baru saja hendak membuka pintu kaca transparan balkonnya, pergerakan Rean terhenti kala mendengar suara ribut-ribut dari luar. Ia bergegas keluar dan mendapati kedua adik kembarnya yang sedang bertengkar.

Rean menghembuskan nafas kasar, pusing dengan tingkah kedua adiknya yang kerjanya hanya bertengkar setiap hari.

"Ada apa ribut-ribut?" Tanya Rean menengahi pertengkaran keduanya.

Aisy anak berusia sepuluh tahun itu mengembungkan pipi nya kesal. "Aku mau kamar yang ini, tapi kak Kai juga mau disini."

Astaga, jadi hanya perihal kamar?

"Dek, kamu di bawah aja sama Mama. Biar Kai disini sama abang." Ucap Rean lembut menyuruh adik bungsunya untuk memilih kamar bawah saja bersama sang ibu.

"Nggak mau! Aku mau disini." Ucap Aisy ngotot.

"Yaudah, Kai, kamu ngalah aja ya?" Putus Rean yang sudah malas menengahi pertengkaran adik-adiknya.

"Kenapa aku terus, sih, yang di suruh ngalah bang? Nggak mau!" Ketus Kai yang memang derita seorang kakak yaitu disuruh mengalah untuk adiknya.

"Kamu kakaknya, Kai. Ngalah ya?" Bujuk Rean karena tahu tabiat adik bungsunya, Aisy tidak akan pernah mau mengalah jadi mau tidak mau Kai yang mengalah.

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang