23. Nalika

52.5K 3.4K 133
                                    

Happy reading




Nalika bangun dengan wajah yang sembab, ia menangis lirih semalaman penuh. Ia melirik ke bawah ranjang, disana berserakan obat kontrasepsi yang telah ia beli, obat itu dilempar suaminya semalam.

"Gak usah nangis, kaya yang saya kasarin aja." Sindir Erlangga saat baru bangun ia melihat istrinya sedang menangis keras.

Lagipula untuk apa Nalika nangis? Bukankah ia tidak berbuat kasar ataupun memukulnya kan? Erlangga masih waras untuk tidak menyakiti istrinya secara fisik.

Nalika tidak menjawab, ia lebih memilih bangkit dan pergi ke kamar mandi.

Nalika enggan sama sekali untuk berbicara dengan suaminya itu, tenaga dan kesabarannya sudah habis.

Selesai menangis cukup lama di kamar mandi, akhirnya Nalika keluar kamar mandi dengan pakaian sederhananya. Disana, Nalika dapat melihat Erlangga yang sedang sibuk dengan handphone padahal pria itu belum mandi.

Nalika enggan bertanya apakah pria itu akan bekerja atau tidak, ia tidak peduli.

Setelah mengurusi Rean, membuat sarapan, Nalika kembali ke kamar ia melirik suaminya yang sepertinya baru habis mandi itu.

Satu keputusan yang Nalika ambil hari ini, ia memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya.

Nalika memasukkan beberapa bajunya ke dalam tas, semua hal itu Nalika lakukan tak luput dari pandangan Erlangga. Melihat istrinya, Erlangga hanya bereaksi tenang, ia bersidekap dada menatap dingin istrinya.

"Mau kemana?" Tanya Erlangga seraya menatap istrinya datar.

Nalika tidak menjawab, ia sibuk memasuk-masukan bajunya ke dalam tas.

Melihat istrinya yang tidak merespon sama sekali, Erlangga jadi kesal sendiri. Ia memegang tangan Nalika dengan kuat yang dibalas tak kalah berontak oleh Nalika.

"Jawab saya Nalika!" Tekan Erlangga saat berhasil menghentikan pergerakan istrinya.

"Aku mau pulang ke rumah ibu, puas?!"

"Emangnya saya ngebolehin? Jangan ngaco kamu, kalau saya libur nanti kita ke rumah ibu kamu."

Dada Nalika naik turun karena emosinya yang sudah menggebu-gebu, ia menatap suaminya dengan tatapan kebencian yang mendalam.

"Aku mau pulang, aku muak sama kamu mas, aku benci segalanya tentang kamu!" Ucap Nalika dengan penekanan dalam setiap kalimatnya, ia menatap Erlangga dengan pandangan berkaca-kaca.

Semua hal menyakitkan yang pernah ia lalui karena suaminya seakan terlintas begitu saja dalam ingatannya. Nalika sudah tidak tahan dengan beribu-ribu kesakitan yang telah ia terima, ia hanya ingin pergi namun kenapa seolah ada yang menahannya?

"Jangan kekanak-kanakan Nalika, kamu sudah dewasa—"

"BERHENTI BILANG AKU KEKANAK-KANAKAN!!" Teriak Nalika yang membuat Erlangga tersentak seketika.

"Oke saya salah, tapi jangan kaya gini, kita bisa bicarain baik-baik kaya biasanya Nalika." Ucap Erlangga masih mencoba bersabar, ia mengerti kalau ia salah karena telah memaksa hal yang tidak diinginkan oleh istrinya itu. Tapi bukankah berlebihan jika mereka harus berdebat karena hal itu?

Nalika menarik nafasnya yang terasa sangat sesak, ia benar-benar merasa separuh jiwanya hanya diliputi rasa sakit tak berujung.

"A-aku gak tahu lagi harus apa... Aku ngerasa gak dihargai sama sekali sama kamu mas, kamu— kamu gak pernah mau dengerin pendapat aku, kamu gak mau dengerin keluhan aku..." Nalika tidak dapat melanjutkan ucapannya, tangisnya pecah saat itu juga.

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang