Happy reading
•
•
•
•
•sepuluh tahun kemudian
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, semuanya masih sama. Nalika masih mempertahankan keluarganya, persetan dengan perasaannya sendiri. Tidak masalah, yang penting anak-anak hidup dalam figur keluarga bahagia.
Mungkin, jika berada di posisi Nalika. Hal yang menjadi prioritas bukan lagi diri sendiri, melainkan anak. Sebagai seorang ibu, tentu anak lebih penting dari diri sendiri. Bahkan soal makan saja, pasti seorang ibu akan lebih mengutamakan anaknya dibanding dirinya sendiri. Begitupun Nalika, itulah yang menjadi alasan mengapa ia bertahan sampai detik ini. Ia tahu, betapa bodohnya diri nya, namun Nalika rela menjadi bodoh untuk anak-anaknya.
Lagipula Nalika sadar, Erlangga tidak sejahat itu. Ia sudah tidak se-otoriter dulu, meskipun segala sifat patriarki nya tetap ada.
Orang-orang bilang kalau hidup Nalika hanya stuck di situ-situ saja. Tidak ada pergerakan yang membuat Nalika menemukan solusi dalam masalah hidupnya. Bukan karena nalika tidak tahu solusinya, tetapi karena Nalika memilih menerima alih-alih memikirkan solusi. Nalika menerima segalanya meskipun pahit lebih mendominasi hidupnya. Tidak apa, Nalika rela.
Rean sudah menginjak usia lima belas tahun, ia baru naik ke bangku kelas sembilan sekolah menengah pertama. Sedangkan si kembar sudah masuk kelas lima sekolah dasar.
Selama itu, Nalika menikmati perannya sebagai seorang ibu. Tidak mudah memang, namun dengan tekad prioritas nya saat ini Nalika yakin bahwa ia bisa menjadi ibu yang baik, tidak seperti yang Erlangga katakan waktu itu.
Sekitar pukul setengah empat sore Erlangga datang ke rumah bersama dengan Rean yang tampak menunduk takut melihat wajah ayahnya.
Melihat raut tidak enak suaminya, Nalika bertanya. "Rean kenapa, Mas?"
Erlangga berdecak kesal, rahangnya mengeras. Ia baru saja menerima telpon dari sekolah kalau Rean ketahuan merokok di lingkungan sekolah.
Erlangga pergi menuju kamarnya tanpa menjawab pertanyaan Nalika terlebih dahulu, ia mengambil beberapa bungkus rokok di kamarnya yang memang ia simpan untuk dirinya sendiri. Erlangga bukan perokok aktif, namun ia sesekali merokok, tidak sering.
Laki-laki berusia hampir kepala empat itu melemparkan cukup banyak barang rokok ke wajah putra pertamanya.
Melihat itu Nalika menjerit kaget. "Mas! Kamu ngapain sih?!"
Erlangga berdecih, ia kesal sekali pada putra pertamanya itu. "Kamu mau ngerokok kan? Mau jadi jagoan? Tuh, sini nyebat bareng Papa. Masih bocah sok-sokan mau ngerokok."
"Apa? Ngerokok?" Tanya Nalika bingung, namun seketika ia mengerti apa yang terjadi.
"Kamu ngerokok Re?!" Tanya Nalika menaikan intonasinya.
Sedangkan Rean masih setia menunduk takut, ia tidak berniat benar-benar merokok. Awalnya hanya coba-coba saja saat sedang berkumpul dengan teman-temannya, namun setelah sekali dua kali mencoba ternyata ia malah ketagihan.
"REAN! JAWAB!" Rean masih tetap diam membisu, ini pertama kalinya melihat Mama nya begitu marah padanya. Biasanya mama nya selalu membelanya.
Erlangga menghembuskan nafas frustasi. Ia tidak pernah malarang Rean untuk merokok, terserah, itu pilihan hidupnya. Namun jika mau merokok tidak sekarang, Rean bahkan masih dibawah umur. Dan Erlangga baru akan memperbolehkan Rean merokok jika anak itu sudah bisa mencari uang sendiri.
Erlangga mengambil satu batang rokok, ia menyalakan rokok tersebut dengan korek apinya. "Sini, saya mau tahu seberapa kuat kamu ngerokok. Gaya banget umur segitu udah berani konsumsi nikotin." Remeh pria itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
empty
Chick-LitNalika sampai sekarang saat ini tidak tahu apa tujuan Erlangga menikahinya. Jelas-jelas bukan karena cinta, laki-laki itu tiba-tiba datang ke rumah menemui orangtuanya dan langsung meminta Nalika menjadi istrinya. Semuanya berjalan begitu saja hingg...