16. Erlangga

50.1K 2.9K 66
                                    

Happy reading




Nalika membuka matanya saat cahaya matahari menerpa wajahnya, ini sudah cukup siang, biasanya ia bangun subuh namun kali ini ia kesiangan.

Kepalanya pusing sekali, badannya terasa pegal-pegal dan panas. Ini sudah jam tujuh pagi, Nalika melirik suaminya yang masih tertidur juga.

Dengan terpaksa Nalika membangunkan Suaminya, ia menggoyangkan punggung suaminya pelan. "Bangun, mas. Udah siang, kamu mau kerja kan?"

Erlangga malah bergumam tidak jelas dalam tidurnya, laki-laki itu masih belum mau bangun.

Kesal karena suaminya tidak kunjung bangun, Nalika memilih bangun duluan dan segera pergi ke kamar mandi. Di kamar mandi ia menatap pantulan tubuhnya lewat kaca, ia menatap tubuhnya dengan sendu.

Di beberapa bagian tertentu terdapat bercak-bercak merah, hal itu sudah biasa terjadi namun kali ini bukan karena keinginannya, hanya suaminya yang menikmatinya, sedangkan ia hanya pasrah. Melawan pun tak bisa.

Entah sudah ke berapa kalinya hal ini terjadi, biasanya Nalika sudah terbiasa, tapi kenapa sekarang sakit sekali? Bukan hanya fisik tapi batinnya juga.

Nalika menangis sendirian di kamar mandi, ia sengaja menyalakan keran agar suara Isak tangis nya tidak terdengar. Untungnya ia adalah tipe orang yang kalau menangis matanya tidak bengkak, jadi tidak terlalu kelihatan sehabis menangis.

Puas menangis cukup lama, Nalika menggosok-gosok tanda merah itu dengan kuat, tidak bisa hilang. Banyak sekali, lebih dari satu, percuma meksipun ia menggosoknya sampai luka pun tidak akan hilang. Nalika memutuskan mandi saja.

Setelah mandi ia memakai handuk kimono dan keluar dengan rambut yang masih basah.

Melihat suaminya yang masih tidur, Nalika kembali membangunkan suaminya itu. "Mas bangun, kamu udah telat."

Erlangga mengangguk kali ini, ia bangun dengan mata yang masih terkantuk-kantuk. "Jam berapa na?"

"Jam 8."

"Kok kamu baru bangunin saya jam segini sih na?" Protesnya.

Nalika memutar bola mata sebal, "aku udah bangunin daritadi. Kamu aja yang susah."

Decakan keluar dari mulut Erlangga, ia bangkit lalu mendekati istrinya yang sedang duduk di meja rias.

Tiba-tiba Nalika merasakan pinggangnya serasa diangkat seseorang, Erlangga memaksanya berdiri. Laki-laki itu melingkarkan tangannya ke perut Nalika.

Nalika menggeliat tidak nyaman, ia berusaha melepaskan diri. "Minggir mas, aku mau siapin baju buat kamu."

"Na, kamu wangi banget." Erlangga menghirup aroma khas istrinya itu dengan khidmat.

"Iyalah, kamu yang bau." Ketus Nalika kesal, ia masih kesal pada pria itu ya.

"Na—"

Nalika menggeplak tangan laki-laki itu yang sudah mengelus-elus perutnya. "Apaan ih mas, mandi gih."

Biasanya laki-laki itu tidak seperti ini, biasanya Erlangga baik hanya ada maunya saja, atau jangan-jangan memang ada maunya?

"Na, kamu candu banget akhir-akhir ini." Bisik Erlangga membuat Nalika merinding.

Nalika menghela nafas "Kamu harusnya minta maaf, bukan malah seolah gak pernah terjadi apa-apa." Gumam Nalika pelan sekali.

Memangnya apa yang Nalika harapkan? Permintaan maaf? Memangnya pria itu benar-benar tidak akan mengulanginya lagi? Meskipun minta maaf, semuanya akan tetap sama.

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang