46. Nalika

50.6K 3.9K 161
                                    

Happy reading




Hari-hari Nalika berjalan lebih merepotkan dari biasanya. Ia harus mengurus dua orang dan dua bayi sekaligus, meskipun ia sudah di bantu art untuk masak dan pekerjaan rumah namun tetap saja segala hal tentang suami dan anak-anaknya tetap menjadi urusannya.

Nalika merasa sedih, lelah, penat namun disaat yang bersamaan ia juga merasa tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Nalika seperti kembali pada saat awal-awal kehamilan, dimana saat itu ia hanya diam tidak banyak berbicara.

Yang lebih parahnya lagi, Nalika sering mengalami Insomnia akhir-akhir ini hingga membuat ia pada pagi harinya tidak fokus seperti biasanya.

Nalika baru bisa tidur jika sudah mendengar azan subuh berkumandang.

Malam ini tepatnya pukul dua dini hari Nalika masih terjaga, ia hanya berpura-pura tidur memunggungi suaminya agar tidak ketahuan. Sedangkan suaminya memeluknya dari belakang.

Nalika merasakan gerakan dari suaminya, Erlangga dengan hati-hati melepaskan pelukannya mungkin agar ia tetap tidur lelap, padahal kan ia tidak tidur sama sekali. Pria itu bangun dan pergi ke dapur. Melihat suaminya yang pergi, Nalika mengikuti langkah pria itu karena penasaran.

Disana Erlangga sedang berkutat di dapur, seketika suasana yang tadinya hening malah ramai oleh suara dentingan perabotan. Nalika yang melihat itu hanya menghela nafas, ia dapat melihat bahwa suaminya itu sama sekali tidak tahu menahu mengenai masak-memasak. Akhirnya Nalika memutuskan untuk menghampiri suaminya.

"Kamu ngapain?" Tanya Nalika.

"Kok bangun juga Na?" Bukannya menjawab, Erlangga malah bertanya balik.

"Nggak bisa tidur. Bikin apa?" Tanya Nalika sekali lagi.

"Ehm, saya mau angetin makanan yang tadi, laper." Erlangga menggaruk tengkuknya tidak gatal.

"Minggir biar aku aja, yang ada dapurku malah jadi kapal pecah." Ketus Nalika mengambil alih posisi Erlangga, ia mendorong pria itu rada menjauh.

"Gak usah, biar saya aja, Na. Kamu pasti capek, mending istirahat." Mengingat istrinya yang sangat kelelahan mengurus dua bayi mereka, Erlangga tentu tidak mau merepotkan Nalika lebih dari ini.

"Aku nggak bisa tidur," jawab Nalika jujur.

"Lagipula, emang kamu bisa sendiri?" Tanya Nalika mengingat Erlangga itu tumbuh sebagai raja, sejak ia kecil pun pria itu sudah diistimewakan. Benar-benar penganut patriarki yang kuat, apalagi Erlangga cucu pertama dan anak laki-laki pertama, sejak kecil ia tidak pernah ke dapur untuk membuat makanan sendiri. Bahkan jika ingin membuat kopi atau mie instan saja pasti mbaknya akan langsung membuatkannya untuknya.

"B-bisa," jawab Erlangga ragu sebenarnya.

Nalika tidak menjawab, ia melanjutkan menghangatkan makanan sisa tadi malam. Sedangkan Erlangga duduk di meja makan yang tidak jauh dari sana, pria itu memperlihatkan istrinya dalam diam.

Suasana mulai hening selain suara dentingan alat masak.

"Nalika," panggil Erlangga.

Nalika berdehem menjawab panggilan pria itu.

"Saya udah pernah bilang kalau saya cinta sama kamu belum?"

Kegiatan Nalika terhenti sejenak, ia menggeleng. Jika diingat-ingat memang tidak pernah sama sekali, hanya ungkapan sayang saja. Bagi Nalika, diumur yang dewasa ini bukan lagi membahas perihal cinta, melainkan bagaimana caranya agar tetap bisa melanjutkan hidup.

"Kalau saya bilang sekarang, telat engga na?"

Nalika melirik sekilas, "telat."

Erlangga tersenyum sendu, ia bergumam lirih. "telat ya?"

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang