9. Nalika

53.4K 2.8K 31
                                    

Happy reading




Malam hari hampir tengah malam Erlangga masih duduk di luar balkon kamarnya dengan laptop di pangkuannya. Laki-laki itu sedang sibuk dengan pekerjaannya, ada beberapa materi yang harus di cek katanya.

Sesuai dengan permintaan Mas Erlang, Nalika membuatkan teh untuk laki-laki itu. Jika Erlangga belum tidur, maka Nalika pun begitu. Nalika tidak bisa tidur duluan, yang ada nanti ia kena marah lagi.

Erlangga menghela nafas kasar, ia menutup laptopnya. Menatap sang istri yang sedang menaruh teh di meja, "na... Coba duduk di samping saya."

Tadinya Nalika mau bersantai saja di ranjang, tapi jika suaminya berkata demikian baiklah. Nalika duduk di samping laki-laki itu, ia menatap suaminya dengan tatapan tanya.

Tanpa diduga Erlangga merengkuh tubuh kecil istrinya agar bersandar di dadanya. Nalika terdiam, merasakan detak jantung pria itu.

Terasa elusan lembut di kepala wanita itu, Erlangga sedang mengelus puncak kepalanya lembut.

"Na..." panggil Erlangga serak.

"Kenapa mas? Tumben."

"Saya gak suka Rean liat kamu nangis." Erlangga bohong. Padahal dirinya yang tidak suka, gengsi terlalu mendominasi dirinya hingga ia hanya berkata demikian.

Nalika salah paham tentu, mana mungkin Erlangga peduli pada tangisnya. Yang pria itu pedulikan hanya Rean, Nalika cukup sadar diri.

"Iya mas, aku nangisnya sendiri aja."

Laki-laki itu menggeleng, mengeratkan dekapannya. "Nangisnya sama saya aja."

"Padahal kamu yang bikin aku nangis."

Erlangga menelan ludahnya kasar. "Na.. jangan gitu. Saya kan udah bilang mau berubah."

"Berubahnya pas aku udah capek mas, telat." Nalika mengalihkan pandanganya, menahan cairan bening yang siap tumpah.

"Na..." Panggil laki-laki itu lagi.

"Saya cuma mau kamu, saya bener-bener minta maaf." Bisiknya purau.

Nalika hanya mengangguk, tak sanggup berbicara. Terlalu banyak rasa sakit hingga ia tak mampu berkata banyak.

"Kamu nikahin aku karena apa sih mas? Aku gak terlalu cantik, aku gak sepinter itu dan yang pasti... Aku bukan kriteria keluarga kamu. H-harusnya.."

Nalika merasa tenggorokannya tercekat.

"Harusnya kamu dapet yang lebih dari aku."

Erlangga tidak tahu harus menjawab apa.

"Saya gak mau dapet yang lebih, saya mau kamu na."

Nalika mencoba melepaskan diri dari dekapan pria itu, ia menatap Erlangga dengan tatapan yang menyakitkan. "Harusnya kalau mas cuma mau aku, gak gini cara nya. Mas menikahi aku seolah-olah hanya untuk mas sakiti."

"A-aku ngerasa kalau aku cuma jadi pembantu mas." Nalika menangis.

Bertahun-tahun ia hanya diam, menurut, mengoreksi kesalahan yang ada pada dirinya. Nalika lelah kalau harus seumur hidup bersama Erlangga. Ia merasa tidak pantas.

emptyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang