35

16.6K 1.3K 134
                                    


"Jadi? Kenapa Aiden bisa mirip sama manusia?" Tanya Arthur.

Cela Yang tadinya sedang berfikir seketika langsung menatap arthur.

"Aiden ya, karena gua tambahin komponen yang sebenernya gak boleh"

"Apa?" Tanya ayah arthur.

Karena ia tau sedikit saja kesalahan makan bisa membuat kehancuran.

"Awalnya Aiden itu di tulis pake AIDHEN atau Artificial intellgence dengan hati empati buatan, makanya dia mirip sama manusia"

"Hati?"

Cela mengangguk.

Ia membuka baju yang Aiden kenakan dan menekan bagian dadanya.

"Ini" tunjuknya.

"Nak itu berbahaya"

Cela menatap bingung.

"Terbuat dari apa? Kok mengkilat" Tanya arthur.

"Paladium"

"Paladium? Kamu buat itu dari Paladium? Sungguh Kamu membuang buang uang hanya untuk mainan"

Ayah Arthur menggeleng tak percaya.

"Bahan bakar utama kan, Paladium dengan nomor atom 64, dalam tabel periodik, termasuk ke logam langka warna putih, dengan titik lebur 1.555°c"

"Kalo gak pake itu pake apa lagi, Paladium kan lebih kuat dari perak kalo di dunia perlogaman, emang ada emas tapi emas kan mudah terbakar, mungkin"

"Selain itu luarnya di lapisi nikel"

"Sungguh om gak bisa berkata apa apa lagi"

"Ini udah mau malem, besok atau kapan kamu balik lagi kesini aja, nanti om kasih tau cara om waktu itu sampe om bisa balik lagi"

Cela mengangguk, sebenernya ia juga sudah sedikit lelah ingin tidur.

.

.

.

"Apa?"

"Ibu serius?" Audrey menatap tak percaya.

Ia akan kembali ke kehidupan lamanya.

"Udah cepetan beresin baju baju kamu, kalian juga" perintah ibu.

Karena malam ini juga ia memutuskan untuk meninggalkan kediaman, Van leeuweh.

"Baru aja hidup mewah" kesal Audrey memasuki kamarnya.

Tidak membutuhkan waktu lama, Joana dan keluarganya kini sedang duduk di ruang tamu menunggu taxi online yang mereka pesan.

Joana sama sekali tidak menyesal, bahakan ia sudah membeli rumah dengan uang yang ia minta tadi, pikirnya masih ada banyak untuk kehidupannya beberapa tahun kedepan.

"Kata siapa kembar akan ikut dengan mu?" Papi berbicara dengan santai sambil menuruni tangga.

Kembar melirik ke arah ibu dengan pandangan yang bingung dan penuh tanda tanya.

"Kau sudah menandatangani perjanjian, saya sudah memberikan apa yang kau mau dengan bayaran Dirga dan Dikta, dan kau sudah setuju itu, jadi Dirga dan Dikta tetap tinggal"

Oh tentu saja papi berbohong, papi menjebak joana, dengan Joana menerima uangnya maka kembar akan menjadi miliknya hahah.

Ya itu alasan utama papi menikahi Joana, papi membutuhkan anak laki laki sebagai penerus bukan? Mana mungkin ia membiarkan putri semata wayangnya, princess nya bekerja, tidak mungkin.

"Oh silahkan ambil saja" jawab Joana enteng.

Si kembar menatap tak percaya kepada ibu.

"Ibu serius?" Tanya dirga.

"Serius, kalo ada kalian justru beban ibu bertambah"

Dirga mundur perlahan, kemudian pergi menuju kamarnya.

"Lo bukan manusia, dan Lo gak pantes di panggil ibu" kesal dikta.

"Lo bahkan jual anak Lo sendiri, demi hidup enak, gak sadar apa kalo Lo susah juga, gua yang nyari duit buat Lo semua makan"

Lupakan tentang sopan santun, kesabaran Dikta sudah habis.

Dikta menyusul kembarannya.

"Terimakasih, silahkan pergi, dan jangan kembali, oh tenang saja Audrey sekolah mu masih berlanjut, karena Klandestin selalu meminta bayaran full hingga lulus, jadi kau masih akan sekolah disana hingga lulus nanti" usir papi.

Joana pergi berlalu tanpa berpamit atau sekedar basa-basi.

Di dalam kamar ada Dirga yang menatap kosong kearah bulan.

Bohong jika dirinya tidak sakit hati, bohong jika dirinya bisa memaafkan ibu, dan bohong jika dirinya tidak membenci Angga.

Dirga itu selalu iri dengan Angga, karena Angga selalu mendapat perhatian lebih, kasih sayang berlimpah, juga apapun yang Angga mau pasti Angga dapatkan.

Meski selama ini ia berusaha untuk bersikap baik dan menyayangi Angga, itu semua bohong, tidak mungkin ia menyayangi Angga dengan tulus karena rasa irinya, Dirga melakukan itu semua agar mendapat pujian dari ibunya tentu saja.

Tok.. tok.. tok..

"Aga?" Panggil Dikta dengan menggunakan nama kecil Dirga.

Dirga tidak membukanya.

"Abang masuk ya?" Izinnya.

Baru saja hendak membuka pintu, ternyata Dirga menguncinya dari dalam.

Dikta duduk di balik pintu, ia juga sama sedihnya namun ia tidak bisa mengungkapkan nya apalagi di depan adiknya.

"Abang? Lagi apa hey?" Tanya papi.

"Dirga, kayanya nangis" gumamnya.

"Udah jangan di ganggu dulu, kalian jangan pikirin apa yang baru terjadi, lupain, emang susah, susah banget malah, tapi coba, jangan mengharapkan apa yang gak mungkin terjadi"

"Dari dulu Dirga selalu pengen dapet perhatian ibu, sampe sekarang nggak pernah dia dapetin lagi"

Papi mengusap rambut Dikta.

"Gak apa apa ada papi, jangan di pikirin,kalian punya papi, kalian manfaatin itu, kalo ada apa apa lari ke papi"

Dikta mengangguk.

.....

Pagi ini ada yang berbeda dari cela bagi Anggie dan Yura, cela terlihat lebih ceria dari lada seminggu terakhir, entah karena apa namun tetap saja membuat mereka senang.

"Cici masih belum memaafkan saya?"

"Udah, Cici juga minta maaf ya, seminggu kemarin udah ketus sama Aiden" Aiden mengangguk, akhirnya ia merasa lega.

"Mau peluk" pintanya yang tentu saja Aiden turuti.

"Ciee udah baikan"

"Cie cie, udahan kan marahnya, gak seru soalnya kalo kalian saling diem" seru yura.

"Kita gak marahan, cuma ada salah paham aja" jelas Cela.

"CELA" panggil Arthur.

Cela menoleh.

Deg..

Siapapun tolong bawa cela pergi..


















Hay Hay Hay.....

No Way Home  (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang