48

10.3K 869 16
                                        


Seperti biasa jika habis menangis maka akan mengantuk, ya itu juga terjadi pada Cela, setelah puas menangis ia tertidur di pelukan Aiden tentu saja.

Mata, pipi dan hidung cela memerah membuat Aiden peka jika cela langsung demam sehabis menangis tadi.

Aiden langsung menggendong cela dan membawanya ke uks karena belum waktunya untuk pulang.

.

.

.

Chris duduk dengan tatapan kosong.

"Maaf ci, kayanya Abang lebih suka sama Vanny, kepribadian kalian beda, dan Abang lebih nyaman sama Vanny daripada sama Michi" gumamnya.

"Dan Anie ternyata selama ini sifat asli Lo beda jauh ya, sama yang kita liat"

"Bro"

"Udah ketemu?" Tanya Ziar.

Ya biar ia yang menemukan cela saat ia hendak berkunjung ke rumah neneknya kemarin, ia malah tidak sengaja melihat cela dan aiden di depan unit neneknya.

Begitu tau ia langsung memberitahukan kepada Chris yang memang sedang mencari cela, namun sebenarnya bukan Chris sungguhan melainkan orang lain yang sedang menempati tubuh Chris.

Chris mengangguk.

"Syukur deh, kalo gitu"

"Jangan kasih tau dua orang tolol itu kalo Cici ada disini"

"Siapa yang Lo maksud tolol?" Elio menatap datar Chris.

Terlambat saat Ziar hendak menemui Chris ia bertemu dengan Jordan dan Elio, jadilah mereka bersamaan menuju tempat ini.

Yap mereka semua membolos.

"Kalian lah siapa lagi?" Chris berbicara dengan wajah culas.

"Dimana Cici bangsat" Jordan sedikit emosi.

"Santai dulu gak sih? Cici lagi sekolah, gak usah di ganggu gak usah buat kericuhan, kalo nggak nanti Cici pergi lagi susah lagi buat kalian cari" ucap Chris dengan meminum minuman yang Cici beli.

Baik Elio dan Jordan mereka sama sama diam, mereka setuju dengan ucapan Chris.

....

Hingga 2 jam mereka menunggu dan duduk di tempat itu.

"STOP CE, JANGAN LAKUIN HAL YANG SIA-SIA" bentak Arthur.

Dari kejauhan Chris, Elio dan Jordan melihat itu, dengan spontan mereka hendak menghampiri cela, namun di tahan oleh ziar.

"Ya emang kenapa, apa hubungannya sama Lo, kan gua udah bilang dari awal kalo urusan gua yaudah Lo gak usah ikut campur"

"Salah ce, Lo salah kalo berpikir gitu" lirih arthur.

"Salah? Gua tau emang kenapa?"

"Lo bisa di anggap gila ce, GILA LO NGERTI GAK SIH"

Aiden datang dan menarik cela ke belakang punggungnya.

"Jangan bentak Cici, sebelumnya gak ada yang pernah bentak dia loh, Lo bukan siapa siapa kok berani?"

"Lagian kenapa sih, Lo segitu berusaha buat jauhin gua sama Aiden?" Cela bertanya dengan lirih, bukan karena ia takut namun ia sedang dilanda sakit kepala saat ini.

Ingatkah kalian jika cela sedang demam?

"Gua cuma mau yang terbaik buat Lo ce" lirihnya.

"Terus kalo Aiden udah cukup buat jadi yang terbaik, bagi gua kenapa Lo larang, kenapa Lo tentang?"

Diam.

Arthur terdiam, ia tidak bisa membalas ucapan cela.

"Kayanya gua suka sama Lo ce, gak tau dari kapan" gumamnya yang masih dapat di dengar oleh Aiden dan cela.

Aiden tersenyum remeh.

"Lo cuma terobsesi, bukan mencintai"

"Aiden" panggil cela saat dirasa ada cairan hangat yang melintas di atas bibirnya.

"Cici, Ella" panik mereka bersamaan.

Mereka berempat langsung menghampiri cela dengan berlarian.

"Astaga, mimisan?" Panik Aiden yang langsung mengeluarkan tissue dari saku bajunya.

Arthur membantu dengan menahan kepala Cela agar tetap menunduk.

Aiden terus membantu cela untuk mengatasi darah yang terus-menerus keluar.

"Tumben banget darahnya banyak" gumam Aiden.

"Tumben?" Jordan menatap heran.

Aiden tidak menjawab ia hanya mengangguk.

"Maksud Lo?" Tanya Elio.

Cela hampir terjatuh karena ia sudah pingsan, namun lagi lagi Aiden langsung menahannya dan menggendongnya.

"Bukannya setiap kecapean cici emang suka gini ya? Ini bukan kali pertama juga" jawab Aiden dengan santai.

Aiden membawa cela menuju unit mereka, sementara yang lainnya mengikuti dari bekalang.

.

.

.

"Maafin ibu ya" lirihnya dengan kedua mata kembali berkaca kaca.

"Iya" Dikta tersenyum manis sementara Dirga hanya menatap kesal.

"Terimakasih Dikta, makasih, kamu emang anak yang baik, kita sama sama lagi ya" pintanya.

"Pfttt" Dirga menahan tawanya.

"Emangnya ibu sanggup bayar papi?"

Ucapan Dikta membuat Joana menatapnya tak mengerti.

"Bukannya kita di jual ya ke papi? Untung aja papi baik, dan urus kita sama kaya dia urus cela"

Dirga mengangguk setuju.

"Tapi jujur aja ya, gua gak mau sih tinggal sama Lo lagi, meskipun suatu saat papi usir kita, gua tetep gak bakal mau tinggal sama Lo lagi"

Joana menatap tak percaya.

"Ututu sok merasa tersakiti, gimana uangnya udah aman? Sana gih foya foya sama anak kesayangan" sindir Dirga.

Setelah mengatakan itu Dirga pergi begitu saja.

"Maafin Dirga ya, nanti Dikta kasih tau dia, tapi bener kata Dikta, kita gak bakal tinggal lagi dengan anda"

Dikta langsung mengejar Dirga, lagi lagi ia harus menyaksikan adik kembar ya menangis, tak apa jika kalian menganggap Dirga terlalu kekanak kanakkan bahkan cengeng dan lebay, namun memang itu kenyataannya.

Namun selama ini Dikta tidak menangis meraung raung, tidak ia hanya menangis dalam diam, bahkan Dikta saja sering mendapati Dirga yang sedang meneteskan air matanya, padahal tatapan matanya kosong.











Hay Hay Hay...

No Way Home  (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang