Matahari sudah bersinar, cicit burung terdengar di kejauhan. Jaejong merapikan kemeja putihnya di depan cermin sambil menikmati hembusan angin pagi yang masuk lewat jendela kamarnya. Tidak lupa dia memasang kancing manset di pergelangan tangan, untuk memastikan bekas-bekas luka di lengannya tertutupi. Yah, meskipun pada akhirnya nanti akan terlihat juga, tapi paling tidak sepanjang perjalanan dia tidak akan menjadi bahan tontonan orang-orang.
Setelah memastikan riasannya sempurna, Jaejong berangkat menuju tempat kerjanya. Dia tidak punya kendaraan, ah...lebih tepatnya tidak ingin punya kendaraan. Jaejong lebih suka naik kendaraan umum ke mana-mana. Munurutnya memiliki mobil atau kendaraan pribadi lainnya hanya buang-buang uang. Bahan bakar, biaya perawatan, biaya parkir, pajak, lebih baik dia menyimpan semua uang itu untuk keperluan lain. Siapa yang tahu kondisi seperti apa yang akan menimpanya di masa depan, Jaejong hanya ingin memiliki banyak simpanan untuk menjamin kebutuhannya. Pengalaman membuatnya belajar banyak tentang uang.
Jaejong turun dari bus, kemudian berjalan santai. Tujuannya tidak terlalu jauh dari halte, hanya beberapa ratus meter ke arah perkampungan. Tempat Jaejong bekerja ada di dalam perkampungan itu. Perkampungan yang padat penduduk namun tidak terlihat kumuh. Banyak warga membuka bisnis pribadi mereka di sana, membangun rumah mereka menjadi lahan bisnis kecil hingga menengah, tetapi tidak sedikit pula yang tetap menjaga keasrian rumah mereka yang masih bergaya lama dengan halaman luas di depannya.
Jaejong menikmati perjalanan, hari masih pagi, jalanan belum terlalu ramai, lagipula warga setempat lebih senang berjalan kaki atau bersepeda, jadi kalaupun ramai itu hanya kendaraan kecil yang lalu lalang. Jika terlihat mobil melintas maka hampir dapat dipastikan itu adalah pengunjung, karena warga setempat biasanya hanya akan mengeluarkan kendaraan pribadi mereka di akhir pekan atau untuk keperluan mendesak.
Jaejong melihat ke atas, ke arah jalan yang menanjak, sebuah rumah nampak menjulang di ujung jalan, mm...bukan, lebih tepatnya rumah yang sangat besar, wastu, kastil, atau apapun itu sebutannya, di sanalah Jaejong bekerja. Terlepas dari apa yang dia kerjakan di situ, Jaejong merasa beruntung bekerja di lingkungan seperti ini. Tempat yang tenang, damai, dan yang terpenting--- jauh dari kenangan masa lalunya. Jaejong tersenyum tipis, lalu melanjutkan perjalanan dengan santai sambil menyapa beberapa orang yang dijumpainya.
Tak berselang lama, dia sampai, senyumnya semakin lebar, rumah besar bergaya klasik itu seperti rumah kedua baginya. Jaejong memasuki halaman yang dihiasi semak berbunga dan pohon besar, sangat rindang. Embun pagi masih membasahi rerumputan di jalan setapak yang dipijaknya, menyebarkan aroma khas tanah basah yang sangat menyegarkan. Sambil berjalan, Jaejong menghirup napas dalam-dalam, memanjakan otaknya dengan oksigen yang berlimpah, membuat hati dan pikirannya semakin tenang.
"Selamat pagi Pak Baek."
Jaejong menyapa seorang kakek tua yang bekerja merawat kebun di wastu itu. Wajahnya penuh keriput, punggungnya pun sudah agak bungkuk, tapi fisiknya masih kuat, dia tidak pernah nampak sakit."Mn."
Lelaki tua itu membalas singkat sapaan Jaejong sambil terus menyapu dedaunan kering yang berguguran."Aku membawa bungeoppang kacang merah kesukaanmu, akan kuletakkan di meja seperti biasa."
Kata Jaejong sambil sedikit mengangkat kantong kertas di tangannya. Jaejong sering mampir ke kios makanan di sepanjang jalan sebelum sampai ke wastu untuk sarapan atau sekedar membeli camilan.SREK. SREK----
Mendengar kata Bungeoppang, gerakan sapu Pak Baek langsung terhenti untuk sesaat.
"Mn."
SREK. SREK. SREK. SREK. SREK.
Jaejong melanjutkan langkahnya sambil tertawa geli dalam hati mendengar kecepatan sapu Pak Baek yang meningkat pesat demi segera menikmati sepiring bungeoppang. Hah... Pak Baek memang seperti itu sejak dulu, terlihat galak di luar tapi lembut di dalam. Dia tidak pernah tertawa, dan tidak pernah berbicara lebih dari 1 kata. Penduduk setempat bahkan percaya jika mendapati Pak Baek mengucapkan satu kalimat panjang merupakan sebuah keberuntungan bagi orang yang mendengarnya. Pak Baek hidup sebatang kara, bekerja di wastu sejak dia masih remaja, mengikuti pemilik wastu dari generasi ke generasi hingga saat ini. Pak Baek bahkan sudah menyiapkan lahan di belakang wastu untuk tempat menguburkan abunya kelak jika dia mati. Tidak ada yang tahu berapa usia Pak Baek sebenarnya, tidak ada yang pernah mendapat jawaban ketika bertanya, yang pasti dia sudah sangat amat amat amat amat lama tinggal di wastu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grief Incisions
FanfictionJika duka adalah penyakit, maka tetesan darah adalah obat baginya. ================================= BL MPREG YUNJAE Lover ================================= Halo, sudah lama sejak release cerita terakhir???? Cerita kali ini belum lepas dari Yunjae...