06. Hell in Paradise (2)

479 64 15
                                    

Waktu seakan berhenti untuk dua orang yang saat ini sedang saling menatap.

Daun pintu setengah terbuka, seperti melihat hantu yang tiba-tiba keluar dari kubur, Jaejong menahan napas. Di sisi lain, Moon-Sung yang juga masih tertegun, sedikit demi sedikit mulai tersenyum, kemudian terkekeh, dia bahkan sampai memegangi perutnya katika tawanya menjadi terbahak-bahak.


"Hahahahahahahahahahahaha !!

Ji-Kyu! Yunho!

kalian tidak akan percaya ini!

Hahahahahahaha !"


Mendengar dua nama lainnya disebut, kedua kaki Jaejong terasa lemas, napasnya menjadi berat karena dadanya tiba-tiba sesak. Jaejong terhuyung satu langkah kecil ke belakang, namun kakinya masih sanggup menopang. Jaejong mengepalkan kedua tangan untuk mengumpulkan kekuatan.

"Hei! Kalian berdua, kemarilah! Lihat apa yang kita peroleh malam ini! Benar-benar istimewa! Hahahahaha!"
Moon-Sung memanggil yang lainnya untuk berbagi keterkejutan.

Ji-Kyu segera mendekat dan menyembulkan kepala untuk mengintip dari balik punggung Moon-Sung. Seketika keningnya berkerut.
"Jaejong??"

Mendengar nama Jaejong disebut, Yunho yang awalnya acuh sedikit menoleh dan mengerutkan dahi, tapi tetap diam di tempatnya. Jaejong? Di tempat seperti ini? Yunho menggelengkan kepala lalu meneguk birnya lagi. Tidak mungkin.

"Hahahaha.. Haaah.. ehem. Maaf, aku terlalu gembira sehingga lupa menyapa. Bagaimana kabarmu Jae?"
Moon-Sung yang masih menahan tawa berusaha berbasa-basi.

"....."
Jaejong masih belum tahu harus berbuat apa. Dia terpaku di tempatnya sambil berusaha mengatur napas.



Melihat Jaejong masih berdiam diri, Moon-Sung melanjutkan serangan agresifnya.
"Apa kau tidak akan masuk Jae? Bukankah kau yang akan melayani kami malam ini?"

"Oh ya ampun! Aneh sekali mengucapkan hal itu padanya! Hihihihihi."
Moon-Sung berbisik kepada Ji-Kyu.



"Ehem. Maaf maaf, aku teringat masa lalu, hehe. Jadi.. kau akan masuk atau tidak Jae? Kami sudah membayar mahal untuk menikmati pelayanan dari seorang-- Primadona?"
Kata Moon-Sung sambil membuka lebar pintu untuk memberi jalan kepada Jaejong. Tidak lupa melayangkan sebuah senyuman untuk menekankan perkataannya.

Tangannya semakin mengepal. Tidak bertemu dengan mereka pun sakit di hatinya masih terasa perih. Kenapa sekarang... Jaejong menarik lagi kaki yang sebelumnya menopang mundur ke belakang. Tubuhnya kini kembali tegap. Hatinya berdenyut sakit, tapi dia memperoleh sedikit keberanian yang berasal ntah dari mana. Dia bahkan bisa mengumpat dalam hati. Selama ini dia memang tidak pernah ingin tahu nama orang yang memesannya, karena merasa tidak perlu mengenal mereka, tapi kali ini Jaejong menyesal tidak melihat daftar tamu terlebih dahulu. Nasi sudah menjadi bubur, kaki sudah berkubang dalam lumpur. Jaejong ingin pergi dari situ, tapi egonya menolak untuk menyerah, tidak kali ini. 7 tahun yang lalu dia sudah kalah oleh mereka, dia tidak ingin kalah lagi dengan keluar begitu saja dari arena pertandingan.

Jaejong menarik napas panjang,
kemudian melemparkan senyum tipis.



"Maaf membuat anda menunggu lama, Tuan Jung."
Jaejong menjawab sambil melangkah perlahan memasuki ruangan. Melewati Moon-Sung dan Ji-Kyu tanpa melirik mereka sedikitpun.

Jaejong menghentikan langkah ketika melihat sesosok bayangan orang lain dari sudut matanya. Dia kemudian sedikit menoleh dan bertemu pandang dengan Yunho.

Seketika Yunho kehilangan semua ekspresi di wajahnya. Tangannya tanpa sadar meremat kaleng bir yang tergenggam di jemarinya.

Jaejong kembali memalingkan wajah, mengabaikan pria Jung yang masih duduk terdiam di sofa. Moon-Sung sudah menutup pintu dan kini mendekati Jaejong. Nampaknya dia belum puas menyapa Jaejong setelah sekian tahun tidak berjumpa.

Grief IncisionsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang