Tiga satu

572 48 2
                                    

Kedua kakinya berjalan gontai menyusuri setiap divisi untuk mengambil laporan. Dengan kedua tangan yang memegang berkas, dirinya berjalan pelan memasuki ruangan ayahnya. Tanpa mengetuk dirinya membuka pintu menaruh berkas-berkas tersebut ke atas meja hingga kedua matanya tak sengaja melihat sebuah kalung batu dengan ukiran bulat.

"Kalung?."Tanyanya mengerutkan kening mengambil kalung itu.
Setelahnya dirinya di kejutkan dengan Erikson yang menarik paksa kalung itu, dirinya menatap ayahnya yang juga tengah menatapnya dengan amarah.

"Ayah?,"

Hening, terkejut?, sudah pasti Adalena terkejut dengan apa yang baru saja di lakukan ayahnya. Ayahnya baru saja menampar nya dengan kuat bahkan beberapa rambutnya juga sedikit keluar dari tataan yang sudah ia rapihkan. Tangan kanannya dengan bergetar memegang pipinya, kedua matanya berkaca-kaca sudah siap menumpahkan buliran air mata. Matanya seakan menyiratkan tanda tanya meminta penjelasan.

Erikson yang semula menatap tajam dengan raut wajah marah kini tengah menatapnya dengan terkejut. Ia berdehem dan berlalu dari sana yang pastinya dirinya menaruh kalung itu di saku celananya.

Irana tersenyum tipis setelah sedikit bercengkrama dengan para masyarakat, ia bersyukur jika keadaan di desa Amapa membaik. Dengan menyandarkan tubuhnya, ia menutup kedua matanya merasakan kelelahan. Kedua bibirnya menghembuskan nafas lelah dan setelahnya ia merasakan ada sesuatu yang mendekat. Kedua matanya membuka menatap Ima yang tengah tertidur berbaring di kursi kereta. Ia sedikit membuka kain penutup mencoba melihat ke arah luar, dadanya terasa sesak dengan mata yang mulai berair.

"Berhenti!."Titahnya dengan teriakan cukup kencang sampai Ima terbangun dari tidurnya.

"Ada apa Irana?. Kau kenapa?."Tanya Ima dengan mata yang sedikit terbuka karena mengantuk yang begitu melanda.

"Tidak apa, aku hanya ingin buang air saja,"

"Ada apa Ducches?."Tanya salah satu pengawal membuka kain penutup.

"Kalian tetaplah disini dan jagalah Ima, aku akan pergi buang air besar,"ucapnya.

"Saya dan beberapa pengawal akan menemani,"tawarnya masih mencoba agar Irana di temani.

"Tak masalah aku akan bersama dengan Robert,"tuturnya pelan dengan senyuman manisnya.

"Robert."panggilnya yang berhasil memunculkan Robert di samping pengawal itu.

"Ikutilah aku sebentar."Katanya turun dari kereta berjalan menuju arah timur yang begitu banyak sekali pohon-pohon.

Irana sedikit berlari begitu juga dengan Robert yang setia berada di belakangnya bahkan ia membuat perlindungan dari sihir jika saja ada yang menyerang dari tempat yang tak terduga. Sesampainya dimana Irana terhenti dengan membuka semak-semak menampilkan seorang wanita yang juga tengah menatapnya. Robert langsung saja mengerti,jika di depannya bukanlah manusia.

Irana berjongkok di depannya dengan pandangan khawatir, tangan kanannya mencoba memegang tangan kirinya tapi di tepis dengan kuat.

"Jangan melawan jika tak ingin terluka lebih parah."Hardik Robert.

Wanita itu menatap ke arah Robert yang pakaian begitu tertutup bahkan ia tak bisa melihat wajahnya.
"Apa yang kalian inginkan?,"tanyanya dengan kewaspadaan.

"Robert berbalik lah,"katanya.

"Ijinkan aku melihatnya."Tuturnya dengan lembut dengan menatap kedua manik mata ungu di depannya.

Seakan terhipnotis, wanita itu hanya bisa mengangguk dan membiarkan Irana membuka roknya memperlihatkan paha putihnya. Ia meringis saat Irana menyentuh luka bakarnya bahkan ia sampai menitikkan air matanya.

FANTASIA( Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang