Lima puluh dua

557 28 0
                                    

Kehamilan Irana sudah membesar dan tinggal hitungan hari dirinya akan melahirkan buah hati keduanya. Sebuah kabar yang bahagia dan sedih bagi keluarganya, satu sisi mereka akan melihat buah hati Irana dan xagara tapi di satu sisi mereka akan menyaksikan kehancuran Irana bahkan Xagara pula.

Kedua matanya menatap Irana yang tengah duduk bersama dengan Ima dan Wilianna, terlihat juga mereka sedang berbincang sebentar sebelum Kerald datang dan mengajak Ima pergi, setelahnya datanglah Vano yang mengajak Wilianna pergi dan kini tinggalah Irana sendiri. Perlahan jari jemari nya mengelus perut besarnya, ia tersenyum tipis meski begitu ada raut  sedih karena akan berpisah dengan Xagara selama-lamanya.

Xagara yang melihatnya berjalan mendekat dan duduk di samping Irana, tak mengeluarkan satu katapun. Dirinya menyandarkan kepalanya di bahu Irana dengan tangan kanannya yang mengelus perut Irana dan tangan kiri yang merangkul pinggang Irana. Keduanya sama-sama diam menikmati kebersamaan mereka yang mungkin tak akan lama lagi, bukan mungkin tapi ya, akan terjadi beberapa hari lagi.

"Jika aku yang pergi lebih dulu, tolong jaga anak kita, sayangi dan berikan dirinya cinta, didiklah dia dengan baik,"ucap Irana.

Yang di ajak bicara hanya diam tapi Irana merasakan tangannya basah, ia menghembuskan nafas pelan, pasti Xagara menangis lagi. Pria itu hanya kuat di depan banyak orang tapi begitu lemah di depannya.

Ima, kerald, Vano dan Wilianna tak benar-benar pergi, mereka mengintip dari balik bangunan kecil tempat menaruh makanan para kuda. Mereka menatap keduanya sedih, tak mungkin jika mereka tak tau apa yang telah terjadi, apalagi Wilianna dan Ima yang sudah sangat dekat dengan Irana.

"Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka?."Tanya Vano yang masih melihat keduanya.

Ketiga orang itu kini menoleh menatap Vano membuat Vano juga harus menatap mereka.

"Kenapa?"tanyanya bingung.

"Sangat sulit bahkan penyihir agung pun akan sulit untuk menghilangkan kutukan itu dan sihir murni keturunan Bytra,"ucap Ima.

"Ya, penyihir ilmu hitam itu juga sudah meninggal dengan meninggalkan kutukan itu. Sangat sulit."Timbal Kerald yang di angguki Ima dan Wilianna.

"Huh, apa yang boleh di buat,kita hanya bisa berdoa agar Ducches maupun Duke mendapatkan kebahagiaan dan bisa bebas dari kutukan itu."tutur Wilianna.

Vano mengangguk dan mengengam tangan Wilianna tampah memperdulikan Kerald dan Ima yang masih berada di sana, dirinya dengan tak peduli mengengam tangan Wilianna dan berlalu pergi.

"Dasar pasangan baru, huh,"ejek Ima.

"Bukankah kita juga pasangan baru?."Tanya Kerald menaiki sebelah alisnya dan ikut mengengam tangan Ima seperti yang Vano lakukan pada pasangan nya tadi.

Ima berdecih dengan memalingkan wajahnya, dirinya adalah tipe wanita yang gampang luluh saat di berikan kata gombalan atau semacamnya. Kerald berkekeh dengan mengikuti Vano yang sudah lebih dulu pergi.

Hari dimana yang di tunggu-tunggu telah tiba tapi menjadi hari yang tak ingin di lewati pula. Xagara terus mengengam tangan kanan Irana dengan Irana yang tengah berjuang antara hidup dan matinya, air matanya sedari tadi tak berhenti menetes, Xagara terus saja menangis dan memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya?, apa dirinya akan sanggup menerima semua kenyataan ini?. Apa dirinya juga akan ikut pergi?, apa dirinya bisa bertahan tapi tanpa Irana di sisinya?. Semuanya berkecamuk hingga suara tangisan bayi pun terdengar. Semuanya terdiam, para pengawal yang menjaga di depan pintu, di tampah keempat ksatria, Vano, Wilianna, Kerald dan Ima. Di dalam ruangan juga selain seorang wanita yang membantu bersalin bersama salah satu rekannya, ada juga kedua orang tua Xagara dan ayah Irana, yang pastinya ada Irana dan Xagara di dalamnya. Irana mengatur nafasnya, keringat membasahi wajahnya bahkan sekujur tubuhnya, dirinya bernafas lega dengan senyuman manisnya. Menitikan air mata terharu, Irana menatap anaknya yang di tengah di gendong oleh ibu itu. Xagara juga sama, dirinya menatap anaknya penuh haru. Semuanya di sana merasakan kebahagiaan tapi mereka juga mulai tak tenang dengan Irana.

"Terima kasih sayang telah bertahan"ucap Traska mendekat mengelus lembut surai hitam sang anak.

Irana hanya bisa mengangguk begitu juga dengan kedua orang tua Xagara yang mendekat dan mengucapkan selamat. Tak lama terlihat ibu itu datang mengendong buah hati Irana dan meletakan di sebelah Irana.

"Ducches telah melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan"ucapnya tersenyum.

"Terima kasih,"tutur Raja Liokara.

"Sama-sama Raja, sangat senang bisa membantu. Cucu Raja di lahirnya dengan sehat dan selamat,"katanya dengan senyuman tipisnya.

Setelah melakukan beberapa hal, keduanya pun pamit pulang yang di antar oleh kerald dan Ima.

Sekarang di kamar hanya tersisa Irana dan Xagara,Jari jemari Irana perlahan mengelus lembut kening sang anak. Xagara juga mencium pelan tangan sang anak, jujur dirinya sedikit takut dengan anak yang baru lahir, takut jika ia salah memegang dan berakhir fatal. Irana yang menyadari Xagara yang entah ingin tak ingin memegang tangan anaknya pun tertawa pelan.

"Jangan takut, kau hanya perlu pelan-pelan saja,"ucap Irana pelan.

"Aku takut jika aku akan menghancurkan jika memegangnya."

Lagi lagi Irana tertawa, dirinya jadi sedikit terhibur meski debaran jantungnya terus berdetak dengan cepat, ada rasa takut yang melandah.

"Istirahat lah."ucap Xagara lembut dan mengecup kening sang istri dan berlalu pergi dari kamar mereka.

Di sinilah Xagara berada, dirinya sedang berada di ruang kerja sambil memikirkan bagaimana caranya agar kutukan itu bisa hilang?.

"Aku tak ingin kau pergi meninggalkan ku, rasanya tak sanggup jika hidup tanpa dirimu. Aku akan kehilangan hidupku jika kau pergi Irana, aku harus apa agar kau tetap di sini?."ucapnya penuh frustasi.

Suasana malam yang sunyi dengan bulan yang menyinari bumi, Ciya mendongak sebentar lalu kembali berjalan di jalanan yang sepi. Saat tangannya ingin membuka pintu pagar dengan cepat tangannya di genggam dan membuat Ciya terkejut. Dirinya bernafas lega saat yang di lihatnya adalah Evan.

"Kamu buat aku takut."

"Kita harus kembali, yang ku ketik dan sudah tertempel di novel itu telah hilang dan tersisa kertas kosong."Kata Evan.

Ciya menatap Evan dalam, keduanya saling diam, apakah kembali ke dunia itu adalah jalan yang benar?.

FANTASIA( Belum Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang