9. Gagal

692 47 0
                                    

"Udah dong Ra belajarnya bosen ni gua."  Gio mengeluh melihat pacarnya yang kini hanya fokus pada buku-buku.

"Lo ga usah belajar sekeras ini Ra kita kan ngelakuinnya bareng-bareng nanti. Ada gua yang kapasitas otaknya udah kaya Albert Enstein." Sombong Gio.

Nara menghela nafasnya melihat tingkah pacarnya ini. "Iya iya tau lo pinter kebangetan dari orok. Tapi gua ga bisa cuman ngandelin lo doang ya gua juga harus belajar keras." Ucap Nara.

"Yaudah tapi lu udah belajar dari siang loh Ra. Liat ni sekarang udah jam 3 masa kita mau ngabisin waktu buat belajar doang si." Ucap Gio.

Nara menatap jam tangannya yang memang sudah menunjukkan pukul 3 sore hari.

"Lo mau ngapain emang sekarang? Ayo deh, kayanya belajar gua juga udah cukup hari ini." Nara kemudian mengemaskan buku-bukunya ke dalam tas.

Gio pun tersenyum girang akhirnya dia bisa mengajak Nara ke tempat yang sangat dia ingin kunjungi berdua dengan pacarnya.

"Kita ke puncak sekarang!" Ucap Gio dengan penuh semangat. Nara membulatkan matanya dengan sempurna. Tentu saja dia kaget, tidak ada anging tidak ada hujan tiba-tiba pacarnya mengajaknya ke puncak.

"Gila lo Yo, masa jam segini ngajak kepuncak."

Gio memutar bola matanya malas,"kenapa emangnya? Toh puncak ga terlalu jauh dari sini palingan se jam doang."

"Ga ga ga, besok lusa kita lomba Yo dan gua ga mau ngabisin waktu belajar gua cuman buat pergi ke puncak."

"Ya justru itu Ra, karena bentar lagi kita lomba kita harus mendinginkan kepala kita dulu. Biar otak kita nanti fresh pas lomba."

"Mau ya Ra, hari iniii aja." Ucap Gio. Sambil menempelkan kedua telapak tangannya dan memohon dengan muka yang memelas.

"Sekalian malem mingguan kita Ra."

"Yaudah, hari ini aja abis itu langsung pulang jangan kemaleman."

Gio mengangguk dengan senang lalu langsung menarik tangan Nara untuk segera naik ke motornya.

.
.
.

Kini Nara dan Gio sedang berada di sebuah bukit sambil memperhatikan matahari yang perlahan menghilang.

Nara menyandarkan kepalanya di bahu Gio dengan nyaman. Tangan Gio tidak berhenti mengusap surai hitam panjang milik Nara.

Ternyata ajakan pacarnya ini tidak buruk juga. Pikirannya kini lebih tenang dari sebelumnya.

Mereka menikmati langit yang perlahan gelap hingga beberapa kilauan bintang muncul satu per satu.

"Gimana? Ga nyesel kan kesini?" Tanya Gio.

Nara menggelengkan kepalanya lalu memeluk erat tubuh Gio dan bergumam 'makasih'. Dia merasa senang ada Gio yang selalu disampingnya. Memberikan kenyamanan dan ketenangan tiap disampingnya. Sangat beruntuk baginya memiliki Gio.

2 tahun berpacaran bukanlah waktu yang singkat. Gio mengutarakan perasaannya saat mereka masih menduduki bangku smp atau lebih tepatnya saat mereka kelas 9.

Selain itu mereka juga memang sudah berteman sqqt pertama kali di smp. Mereka sekelas bahkan bangkunya bersebelahan.

Siapa sangka mereka perlahan menanamkan rasa suka satu sama salin. Dan akhirnya pada saat setelah ujian nasional berakhir Gio memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Nara. Nara yang juga menyukai Gio pun menerima perasaannya.

Seperti itu lah kisah singkat cinta mereka.

Dan besok lusa adalah hari dimana mereka akan menghadiri lomba sebagai peserta.

Lomba itu adalah harapan Nara untuk masuk ke salah satu universitas impiannya. Meskipun masih duduk di kelas 11, Nara tidak akan melewatkan kesempatan bagus tersebut.

Gio ikut andil dalam membantu Nara agar pacarnya itu dapat mewujudkan mimpinya. Sampai saat ini mereka berhasil memasuki babak final. Jika mereka memenangkan lombanya maka Nara berhasil mendapatkan beasiswa universitas tersebut.

Dia sudah berusaha sepenuhnya bahkan merelakan waktu luangnya untuk belajar dan Gio selalu menemaninya.

Waktu terus berjalan dan kini mereka memutuskan untuk kembali pulang. Gio membantu Nara untuk bangun.

.
.
.

Keesokan harinya Gio diserang demam. Bagaimana tidak setelah pulang dari puncak dan mengantar Nara kerumahnya bukannya Gio pulang ke rumahnya dia malah memutuskan untuk ke apartemen Jeno.

Semalem Gio pulang terlalu malam dan membuatnya takut untuk pulang ke rumah karena pasti Dafa sama Alya akan khawatir dan memarahinya habis-habisan.

"Tuh kan udah gua duga lo bakal sakit. Gila aja lo jam 2 malem dateng ke apartemen gua."

Jeno terus memarahi Gio namun tangannya tidak berhenti untuk meremas handuk yang digunakan untuk mengompres adiknya itu.

Gio tidak menjawab karena badannya sangat lemas bahkan dadanya sudah terasa sesak dan sakit. Sesekali dia terbatuk, oksigen seperti enggan masuk ke dalam.

"Sa...kitt bang." Lirihnya sambil mengusap dadanya yang terasa tertusuk benda tajam tiap kali dia menarik nafasnya.

Jeno menghela nafasnya kasar lalu beranjak untuk memasangkan selang oksigen pada Gio.

"Ke rumah sakit ya Yo." Ucap Jeno.

Gio menggelengkan lemah kepalanya. Dia tidak mau karena kalau kesana sudah pasti dia akan di rawat sedangkan besok dia harus ikut lomba.

"Ckk, yaudah lo istirahat deh jangan ngapa-ngapain gua beli bubur dulu keluar biar lu bisa minum obat."

Gio memangguk lalu memejamkan matanya. Dan Jeno pun pergi.

Gio merutuki tubuhnya yang begitu lemah, padahal dia yakin kemaren tubuhnya sangat sehat makanya dia berani mengajak Nara ke puncak.

Namun sekarang dia malah terbaring lemah di kasur tanpa bisa melakukan apapun. Dan dia harap sakitnya ini segera hilang karena besok dia masih harus mengikuti lomba babak finalnya.

.
.

Hari ini adalh hari lomba final di laksanakan. Nara bersama dengan Oji, teman satu regunya selain Gio. Mereka sedang menunggu kedatangan Gio.

Nara berjalan mundar-mandir tidak tenang karena perlombaannya sebentar lagi di mulai sedangkan Gio belum menampakkan wajahnya sama sekali.

Meskipun Nara sudah menelfon Gio dan Gio mengatakan sedang dalam perjalanan dirinya masih tidak tenang sebelum Gio datang.

"Yooo kemana si lu, 15 menit lagi lombanya mulai." Gumam Nara sambil menggigit kuku ibu jarinya.

Nara kembali menelfon Gio. Dan Gio mengangkatnya.

"Yo buru, bentar lagi mulai."

Tidak ada jawaban dari Gio, membuat Nara mengerutkan keningnya.

"Lo lagi ngapain si Yo, buruan kesini!" Kini Nara meninggikan nada suaranya.

Terdngar suara batuk Gio dari sebrang telfon namun Nara abaikan. Yang dia inginkan itu Gio segera kesini.

"Maaf," lirih Gio di sebrang panggilan.

"Maaf buat apaan. Gua ga butuh maaf lu gua maunya lu cepetan kesini Yo."

Kini sambungan telfonya terputus.

Nara menggenggam kuat ponselnya dan menggeram kesal karena dengan seenaknya Gio memutuskan panggilannya secara sepihak.

"Anjir lah!" Nara hampir saja melemparkan ponselnya.

"Kenapa Ra? Apa kata Gio?" Tanya Oji yang ada di sampingnya.

Nara mengacak rambutnya frustasi. Entah apa maksud dari permintaan maaf Gio tapi yang dia tau pasti Gio tidak akan datang.

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang