21. Dunia Yang Sempit

515 39 0
                                    

Setelah pertemuan Nara dan Gendis di kantin kini Nara sedang dalam perjalanan menuju taman dekat perpustakaan. Dilangkahkan kakinya menelusuri koridor gedung yang lumayan panjang.

Tidak lupa dengan tangannya yang mengenggam 2 sandwich yang baru saja dia beli. Nara mengenggam erat kedua sandwichnya takut-takut makanannya jatuh kembali.

Langkahnya semakin dekat dengan tujuannya senyumnya merekah ketika melihat Olin sedang duduk dengan seseorang yang dia duga adalah Ino. Namun senyumnya luntur seketika ketika tau siapa yang sedang duduk dengan Olin.

Nara menghentikan langkahnya dan ingin memastikan apakah Ino yang Olin maksud ternyata adalah Gio?

Kini Gio sedang duduk bersama dengan Olin. Mereka sama-sama sedang menyantap bekal mereka masing-masing sambil berbincang.

"Tadi Olin udah bilang ke kak Fanny katanya dia pasti dateng kak. Kak Fanny pengen banget ketemu sama kakak soalnya."

"Tapi kak Fannynya ga dateng-dateng nih, takutnya keburu bel masuk." Ucap Olin.

Gio tersenyum kepada Olin, melihat tingkah anak di depannya itu tidak berubah sama sekali sejak terakhir ketemu.

Olin selalu saja banyak bercerita, bahkan saat makan Olin lebih mementingkan ceritanya dibanding dengan makanan di hadapannya dan membuat durasi makannya menjadi lebih lama.

Pada awalnya Gio sedikit heran dengan Olin, di usianya yang masih 13 tahun tetapi sudah duduk di bangku sma. Bahkan usia Olin 2 tahun lebih muda dari Alfa. Saat tau ternyata Olin anak akselerasi membuat pertanyaannya terjawab.

Nara menarik langkahnya menjauh dari mereka. Sulit di percaya ternyata orang yang dia tunggu-tunggu ternyata adalah Gio.

Dia tidak kembali ke kelas melainkan ke perpustakaan. Nara ingin menjernihkan pikirannya sejenak dan mencerna apa yang selama ini terjadi. Ingatan mengenai cerita-cerita Olin terbayang di kepalanya.

Sepertinya kini dia tau alasan mengapa Gio saat itu tidak datang untuk mengikuti lomba. Di hari yang sama Olin bercerita kalau Ino a.k.a Gio masuk rumah sakit.

.
.
.

Nara pulang ke rumahnya dengan langkah gontai sambil terisak menahan tangisnya selama perjalanan. Dia gagal untuk mengikuti lomba yang di mana menjadi jalur beasiswanya di universitas impiannya.

Sudah berulang kali dia mengatakan kepada bundanya kalau dia pasti akan memenangkan lomba tersebut namun ternyata tidak. Nara membayangkan raut wajah kecewa bundanya itu, dirinya benar-benar takut.

Bundanya sudah menaruh harapan besar padanya namun dia gagal memenuhi harapan bundanya itu.

Setelah sampai di rumah Nara langsung saja pergi ke kamarnya. Tidak peduli dengan neneknya yang menyambutnya di ruang tv.

Tanpa menggati seragamnya terlebih dahulu Nara langsung membenamkan wajahnya di balik bantal dan melepaskan tangainya yang dia tahan. Rasa sedih, kecewa, benci berkecamuk di hatinya.

Nara bersumpah tidak akan memaafkan Gio yang sudah menghancurkan mimpinya.

Tangannya kini menatap ponselnya memandangi nama bundanya di telpon. Haruskah dia mengabari bundanya sekarang? Mau tidak mau bundanya perlu mengetahui hal ini.

Nara pun menekan tombol untuk menghubungi panggilan. Tak lama setelah berdering panggilannya pun terjawab.

Bukan bundanya yang mengangkat melainkan Olin. Terdengar isakan tangis Olin dari sebrang telpon membuat Nara khawatir.

"Ada apa dek? Kamu nangis?" Tanya Nara.

Olin tidak langsung menjawab pertanyaan Nara dan membuat Nara semakin khawatir takut hal buruk terjadi di sana. Baru saja Nara ingin membuka mulutnya Olin sudah menjawab pertanyaannya.

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang