26. Sendirian

696 49 0
                                    

Baru saja Gio menginjakkan kakinya di rumah setelah bermalam di rumah Fito kini bi Ratih menghampirinya dengan tergesa-gesa.

Tentu saja hal itu memunculkan tanya di benaknya apalagi sepertinya bi Ratih habis menangis terlihat dari wajah dan matanya yang memerah. "Ada apa bi?" Tanya Gio.

"Gusti den Gio, alhamdulillah udah pulang." Bi ratih menghampiri Gio kemudian menggenggam lengan Gio dambil mengelus-ngelua punggungnya.

Gio menatap bingung ke arah bi Ratih.

"Gini den, dari tadi bibi hubungin nyonya sama tuan ga di jawab-jawab, den Alfa juga belum pulang dari semalem. Akhirnya aden pulang."

"Bibi mau izin pulang kampung lagi den, bingung mau pamit ke siapa soalnya ga ada orang di rumah dari kemaren. Anak bibi tadi subuh meninggal soalnya den." Ucap bi Ratih sambil mengusap air mata yang mulai nampak di sudut matanya.

"Inanillahi bi, saya turut berduka cita ya." Gio menampakkan raut wajah sedihnya. Ternyata itu alasan bi Ratih terlihat kacau hari ini.

"Kalau gitu bibi mau pulang langsung? Naik apa bi, apa perlu saya anter?" Tanya Gio.

Bi Ratih menggelengkan kepalanya, "ga perlu den, bentar lagi adek bibi dari kampung dateng ko jemput bibi." Ucap bi Ratih.

Gio pun menagngguk sebagai jawaban, "yaudah kalu gitu hati-hati ya bi. Nanti saya sampaikan ke mamah atau papah. Saya balik ke kamar dulu." Ucap Gio lalu pergi meninggalkan bi Ratih.

Sebelum ke kamarnya Gio ke dapur terlebih dahulu mengambil air minum untuk dibawa ke kamarnya.

Sembari berjalan menuju dapur Gio memperhatikan sekeliling rumahnya yang begitu sepi. Sepertinya hari ini dia akan sendirian di rumah besar ini. Gio penasaran kemara Alfa pergi. Tangannya meronggoh saku celananya untuk mengambil ponselnya untuk menghubungi sang adik. Bukannya ponsel yang dia dapatkan melainkan bukusan rokok yang kemarin dia rebut dari Alfa.

Gio menghela nafasnya kasar, sepertinya  ponselnya tertinggal di kamar Fito.

Sudahlah itu ga penting sekarang, dia malas untuk balik ke rumah Fito yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya hanya untuk mengambil ponsel. Gio meletakkan bukusan rokok itu sembarangan di atas countertop di dekat sink lalu beranjak ke kamarnya dengan sebotol air mineral yang sudah diambilnya.

Kini Gio meluruhkan tubuhnya di atas kasur, sejak tadi pagi tubuhnya terasa lemas. Awalnya Fito dan Vernon tadi menngajaknya untuk ikut malam mingguan ke puncak bersamanya, entah mau ngapain. Namun Gio menolaknya karena tubuhnya yang lemas dan ingin segera pulang ke rumahnya dan beristirahat.

.
.
Sepertinya kini sakitnya memburuk bahkan Gio terbangun dari tidurnya ketika merasa sesak di dadanya karena batuknya kian memburuk dari pada pagi tadi.

Padahal tadi dia berniat tidur siang untuk memulihkan tubuhnya agar saat bangun tidur nanti tubuhnya kembali segar, namun nyatanya tidak.

Tidak tahan dengan rasa sakit tersebut Gio pun merintih kesakitan sambil terisak.

Bodohnya dia tidak menebus obat yang sudah di resepkan oleh om Arta sebelumnya setelah pemeriksaan terakhir. Saat itu dia memang masih shock dengan keadaannya dan tidak kepikiran untuk hal lainnya hanya ingin segera pulang dan menenangkan diri, padahal dia tau kalau obat itu sangat penting untuknya.

Dan saat sekarang ini dia sedang merutuki kebodohannya itu, tidak disangka kalau sakitnya ini sanagt menyiksanya.

Gio bergerak mendekati meja belajarnya untuk membuka laptop yang terletak diatas meja, langkahnya teratih karena tubuhnya yang lunglai dengan tangannya yang sambil mengelus pelan dadanya yang terasa sesak itu.

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang