"Udah dong jangan ngambek terus, kaya cewe aja lu. Lagian kan lu masih bisa chat gua kalo pengen ngobrol." Bujuk Jeno kepada Gio yang kini sedang merajuk.
"Lagian lu udah janji ya sama gua tahun ini bakal muncak tapi lunya malah pergi."
Tahun lalu Jeno sudah berjanji pada Gio akan mengajaknya pergi ke Puncak asalkan setelah 2 kali pemeriksaan dokter dengan hasil yang memuaskan.
"Pas itu gua ajak lu muncak ga boleh alesannya gua lagi sakit. Sekarang gua udah sehat lu nya malah pergi. Gimana ga kesel coba gua."
Kini Gio meluruhkan badannya di kasur. Setelah makan malam bersama dan Jeno berbicara mengenai pekerjaannya yang dipindahkan ke Singapur pada Alya dan Dafa mereka langsung naik ke kamar Gio.
"Ya kan sekarang aja baru bulan Febuari Yo, masih lama waktu tuh masi bisa kapan-kapan."
Kini Gio tidak pagi menjawab Jeno. Gio sudah malas dengan janji-janji yang Jeno ucapkan yang pastinya belum tentu ditepati.
"Yaudah lah terserah lu tapi yang pasti kalau sempet gua bakal ajak lu ke puncak deh." Ucap Jeno lalu beranjak keluar kamar Gio namun tangan Gio pebih dulu menahannya.
"Kalo lo pergi ga ada yang di pihak gua lagi bang." Lirihnya sangat kecil bahkan sepertinya Jeno tidak mendengarnya. Gio menatap sendu kakaknya itu, dia benar-benar tidak ingin jauh dari Jeno.
Jeno berbalik kembali menghadap Gio lalu mengangkat satu alisnya seperti bertanya 'kenapa'.
"Lo harus janji sering-sering pulang. Jangan kebetaham di sana pokonya." Ucap Gio dengan wajah serius sambil nautkan alisnya.
"Iya lo tenang aja. Dan tidur gua mau ke papah dulu." Jeno melepaskan tangan Gio dari tangannya lalu mengusap pelan surai hitam Gio.
.
."Pokonya selama Jeno ga ada di sini papah harus bersikap baik sama Gio pah. Seengganya jangan ngabain Gio gitu." Ucap Jeno.
Kini dia sedang berada di ruang kerja Dafa.
Bukanya menjawab Jeno, Dafa malah terus terfokus dengan berkas-berkas di depannya.
"Papah dengerin aku ga si?" Jeno kini naik pitam dengan tingkah ayahnya. Setiap kali membahas ini Dafa selalu saja menghindar dan tidak peduli.
Namun sekarang dia tidak akan diam karena kini tidak akan ada dirinya lagi di sisi Gio untuk membelanya dari kemaraan Dafa dan tidak ada dirinya lagi saat Gio di abaikan oleh keluarganya.
Jeno hanya takut kini Gio benar-benar sendiri dan menjadi terpuruk karena hal itu.
"Pah Jeno tau Gio salah, dia malah ga ada saat Alfa operasi tapi Jeno yakin Gio punya alasannya sendiri. Papah udah dewasa, jangan perang dingin sama anak sendiri cuman karena hal itu."
Kesekian kalinya Dafa tidak merespon ucapan Dafa. Kini Jeno bergerak untuk merebut berkas yang sedang dibaca Dafa agar Dafa hanya fokus pada dirinya.
Dafa berdecak kesal, "kamu apaan si bang. Papah lagi kerja loh ga usah ganggu." Ucap Dafa berusaha merebut kembali lembaran kertas yang ada di tangan Jeno namun gagal.
Jeno menjauhkan kertas itu dari Dafa dengan menyembunyikannya dibelakang tubuhnya.
"Maafin Gio pah." Lirihnya.
Dafa terdiam sambil menatap tangan Jeno yang di kebelakangkan kemudian menghela nafasnya berat.
"Oke papah bisa paham dan maafin Gio pas dia ga ada disaat iperasi Alfa, tapi..." Dafa menjeda ucapannya. Ketika mengingat hal itu Dafa selalu saja dilanda emosi.
"Tapi apa pah?"
"Tapi papah ga bisa maafin Gio karena sudah bertemu dengan kakeknya, kamu tau kan kakek kalian itu seperti apa."
Jeno terdiam dan sedikit terkejut. Dia tau dan sangat tau seperti apa kakeknya itu. Orang yang udah ngancuri keluarga ibunya. "Maksud papah apa?" Tanya Jeno.
"Beberapa hari sebelum operasi besar Alfa, kakek kamu datang ke rumah sakit. Dan kamu tau apa yang kakek kamu katakan?"
Jeno menggelengkan kepalanya.
"Dimana anak kamu Gio? Setelah meminjam duit dengan jumlah banyak bukanya membayar malah hilang entah kemana padahal sudah berjanji akan membayarnya." Dafa mengulang perkataan ayahnya saat itu.
Sungguh Jeno terkejut nafasnya terhenti sejenak setelah mendengat kalimat yang di ucapkan ayahnya.
"Papah bohong kan? Mana mungkin Gio..."
"Itu kenyataannya. Entah untuk apa uang itu tapi tidak seharusnya dia menjatuhkan harga dirinya dan papah di depan orang yang paling papah benci."
Jeno menggeleng tidak percaya. Kemudian dia menyimpan berkas ayahnya kembali ke meja lalu beranjak dari ruang kerja Dafa.
Jeno melangkah cepat untuk kembali ke kamar Gio dan meminta penjelasan langsung dari adiknya.
Saat masuk kamar Jeno melihat Gio yang sudah tertidur diatas ranjangnya. Tanpa peduli dengan tidurnya Gio, Jeno menarik tangan Gio agar bangun dari tidurnya.
"Bangun lo!" Titahnya.
Gio terkejut ketika tubuhnya dipaksa bangun tiba-tiba apalagi ditarik dan langsung duduk seperti ini. Gio memegangi kepalanya yang sedikit pusing.
"Apaan si bang! Gua baru aja tidur udah lo ganggu aja." Kesal Gio.
"Jelasin semuanya ke gua sekarang."
Gio mengucak matanya sambil mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Jeno tiba-tiba saja masuk ke kamarnya sambil marah dan membangunkannya.
"Jelasin apa?" Tanya Gio.
"Jelasin semuanya tentang pertemuan lo sama kakek dan alasan lo dengan ga tau malunya ngutang sama dia." Ucap Jeno.
Gio sangat terkejut, bagaimana kakaknya ini tau hal itu? Bahkan setaunya hanya dia dan kakeknya yang mengetahui hal itu oh ya, dia melupakan Dafa, pasti Jeno tau dari Dafa. Gio terdiam, dia tidak bisa menjelaskannya pada Jeno.
"Kenapa lo diem aja?" Ketus Jeno.
"Maaf...."
Hanya itu yang dapat Gio katakan dan itu membuat geram Jeno.
"Maaf kata lo? Jelasin! Gua bukan minta perkataan maaf lo."
Kini Jeno benar-benar marah pada Gio dan Gio paham akan hal itu.
"Lo tau kan kita semua benci kakek? Dan udah putus hubungan sejak 30 tahun yang lalu dan lo udah denger sendiri alasannya dari papah. Lo tau gimana kekejaman dia sama keluarga mamah. Tapi sekarang apa?!"
"Dengan ga tau malunya lo minjem duit 300 juta ke dia! Dipake buat apaan tu duit? Biaya berobat lo? Engga! Bahkan biaya berobat lo sepenuhnya gua yang nanggung, jadi bisa lo jelasin buat apa uang sebanyak itu?"
Gio menundukkan dan menggelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak berani menatap wajah Jeno yang sedang marah. Kini air matanya menggelinang di kelopak.
Jika Gio mengatakannya maka sesuatu yang dulu dia pertahankan akan hancur, jadi Gio memilih untuk bungkam.
"Ga abis pikir gua sama lo." Jeno menghela nafasnya kasar ketika melihat adiknya yang memilih bungkam. Kemudian dia beranjak keluar kamar Gio dan menutup pintu kamar adiknya dengan sedikit kasar karena dipenuhi amarah.
Bahkan dia tidak sadar kalau dia baru saja melewati Alfa yang kini berada di depan pintu kamar Gio.
Perlahan tubuh Jeno menghilang dibalik pintu kamarnya. Pandangan Alfa kemudia beralih ke pintu kamar Gio.
Dapat dia dengar isakan tangis kakaknya dari balik pintu dan membuat hatinya sedikit sakit karena pertama kalinya dia mendengar kakaknya menangis. Ingin rasanya dia masuk dan menenangkan Gio namun gengsinya begitu besar.
Pada akhirnya Alfa memutuskan untuk abai lalu pergi kembali ke kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paper Cuts
Teen FictionBagaimana bisa dalam beberapa waktu dia mendapatkan tatapan kebencian dari semua orang? Dari kedua orang tuanya, adiknya, kekasihnya bahkan temannya "Dari mana aja kamu? Baru sekarang muncul? Kamu ga mikirin kondisi adek kamu hah? Dia lagi berjuang...