39. Mau berapakali kesempatan?

778 71 10
                                    

Suasana ruang rawat Gio sedikit ricuh karena terjadi perdebatan antara Gama dan Gio padahal hanya ada mereka berdua disitu.

Setelah 2 hari kondisi Gio kini berangsur membaik dan gama Gama langsung membujuk Gio untuk tetap tinggal di Jakarta agar lebih mudahkannya dalam berobat.

Akan tetapi Gio yang keras kepala terus menolaknya dengan alasan dirinya masih harus sekolah dan takut nantinya orang tuannya mencarinnya karena tidak pulang-pulang.

"Memangnya orang tua kamu itu peduli?" Ucapan Gama tersebut menembus tepat di hatinya.

Gama menceritakan padanya kalau dia sudah berusaha menghubungi orang tuannya tentang keadannya namun tidak ada satupun balasan dari mereka, mereka terlalu sibuk bekerja.

Mendengar hal itu Gio tidak dapat menyembunyikan kesedihannya dari sang kakek, air matanya mengalir begitu saja. Entah mengapa perasaannya jauh lebih sensitif sekarang.

Apa benar orang tuannya tidak lagi peduli padanya?

Tangan Gama terulur untuk memeluk sang cucuk yang sedang menagis itu lalu mengelus pelan punggung Gio yang bergetar karena menangis.

"Udah kamu ga usah pikirin mereka, kamu masih ada kakek disini yang bakal nemenin kamu sampai kamu benar-benar pulih."

"Tinggal sama kakek ya nak? Atau kalau kamu enggan tinggal sama kakek, kakek bisa beliin kamu apartemen di sekitar sini."

Gio melepas pelukan Gama lalu menggeleng pelan, "ada apartemen bang Jeno disini jdai Gio bakal tinggal disitu buat sementara ini. Kakek bisa kunjungin Gio kapan aja kok." Ucapnya.

"Bagus kalau gitu, nanti kakek bakal sering mampir."

"Oh ya soal Jeno, dia sedang kulah di singapura kan? Gimana kabarnya?" Tanya Gama.

Gio terdiam karena dia sendiri bahkan juga tidak tau bagaimana kabar abangnya itu. Sudah lama sekali mereka tidak saling bertukar kabar, bahkan mereka saling meblokir nomor satu sama lain.

"Kurang tau kek, bang Jeno susah di hubungin akhir-akhir ini." Jawabnya.

"Gimana sih kalian kan saudara masa saling ga tau kabar masing-masing, kalau Alfa gimana? Dia udah sehat kan?"

Kepala Gio mengangguk sebagai jawaban, "sehat ko kek sekarang bahkan Alfa udah sekolah di sekolah umum jadi ga perlu homeschooling lagi. Terus satu sekolah sama Gio."

"Gitu ya, wah kakek jadi mau ketemu sama cucuk bungsu kakek itu."

Meskipun jauh dari anak dan cucuk-cucuknya Gama terkadang masih memantau mereka semua di Jakarta. Sesekali dia menyuruh bawahannya untuk melihat keadaan keluarganya yang di kota Bogor itu termaksud Fajar dan kedua anaknya Vernon juga Amel yang kini tinggal di Singapur.

"Oh ya kek, katanya kak Amel lagi ngandung anaknya yang kedua loh kata om Fajar si udah 4 bulan." Kata Gio dengan antusias memberitahukan kabar baik pada Gama.

Gama yang mendengarnyapun tidak kalah antusiasnya, "yang bener? Cicit kakek mau nambah lagi ni? Wah jadi ga sabar kakek." Ucap Gama lalu senyumnya seketika memudar ketika mengingat dia tidak dapat merayakan dan melihat kelahiran cicitnya lagi.

Gio yang menyadari itu pun kini tersenyum tipis lalu mengatakan, "tenang kek kakek pasti bisa ngerayain kelahirannya bareng-bareng kok."

Sudut bibir gama pun terangkat menampakkan senyum hangatnya sambil menatap cucuknya itu lalu tangannya terulur untuk mengelus surai hitam Gio, "kakek gapapa kok, ini emang hukuman kakek atas semua ke egoisan kakek dulu."

Meskipun tidak sepenuhnya salah namun Gama masih sedikit merasa bersalah.

.
.

Setelah sepanjang hari berbicara dan bercerita dengan Gama dan setelahnya di sore harinya Fito dan Vernon datang untuk menggantikan Gama sebentar, Gio pun kini tertidur lelap di ranjang pesakitannya.

Hingga sore tadi sepertinya dia kelelahan. Sudah 5 jam terhitung lamanya dia tertidur dan kini jam menunjukkan puku 12 malam.

Bukan lagi Gama, Fito ataupun Vernon yang kini menemaninya namun Arta. Setelah jam kerjanya selesai bukannya pulang ke rumahnya namun dia memutuskan untuk menetap di ruang rawat Gio dan menemaninya.

Arta menatap wajah pucat dengan pipi yang menirus dari sebelumnya.

Melihat Gio yang terbaring diatas ranjang pesakitan itu membuatnya sedih lantaran teringat dengan anaknya yang sudah tiada beberapa tahun lalu, Reza.

Reza adalah anak semata wayang dari istri tercintanya yang sudah meninggal saat melahirkan Reza. Arta kehilangan anaknya karena penyakit ganas yang bersarang di tubuhnya, penyakit yang sama dengan penyakit Gio saat ini.

Setiap kali Gio dalam kondisi yang buruk dia merasa aangat sedih karena Gio yang sudah ia anggap seperti anaknya, dia tidak ingin kehilangan keluarganya untuk ke tiga kalinya.

Dirinya selalu berdoa yang terbaik untuk Gio di setiap waktu.

Gio melenguh dalam tidurnya, Arta yang menyadari hal itu langsung saja berdiri dari kursinya dan mendekati Gio. Matanya masih terpejam namun kerutan di dahunya seperti sedang menahan sakit.

"Kenapa Gio? Ada yang sakit? Atau nafasnya sesak?" Tanya Arta beruntun.

Tidak langsung menjawab ia mencoba untuk menghalau rasa sakit di dadanya yang tiba-tiba muncul. Tangannya terangkat untuk meremat dadanya yang terasa sesak.

"Hey, jangan digituin dadanya nanti makin sakit." Arta mencoba menenangkan Gio.

Perlahan mata sayu Gio terbuka dan atensinya langsung tertuju pada Arta yang ada di sampingnya.

Ingin sekali mengatakan kalau dadanya terasa sakit namun untuk bersuarapun dia tidak sanggup. Meskipun masker oksigen terpasang apik di wajahnya hal itu seperti kurang membantunya.

Arta menatap layar monitor di samping ranjang pesakitan Gio dan dilihatnya saturasi oksigen yang menurun.

"Tenang ya Gio, jangan panik dulu ada om disini. Tarik nafas perlahan." Ucap Arta kemudian tangannya terjulur untuk mengatur tekanan oksigen yang keluar dengan memutar manometer ogsigen di atas ranjang.

Tidak lama kemudian rasa sesak di dada Gio pun perlahan menghilang. Tangannya terangkat untuk menghapus air matanya yang keluar kemudian setelahnya ia menutup matanya dengan lengannya.

"Om... Gio takut..." lirihnya.

"Takut di panggil tuhan secepatnya." Lanjutnya dengan suara serak dan berhasil membuat jantung Arta berdetak tidak karuan.

"Ga Gio, jangan mikir kaya gitu." Saut Arta.

"Tapi...."

"Kamu bakal sembuh, pokonya harus sembuh lagi kaya dulu ya? Om yang bakal ngobatin kamu sebaik mungkin." Jelas Arta.

Gio terdiam menatap langit-langit putih ruang rawatnya. Pikirannya bercabang mulai dari memikirkan kemungkinan baik hingga buruk.

"Katanya kesempatan ga datang dua kali, tapi kamu waktu itu berhasil berjuang kan? Sekarang ayo berjuang lagi." Ucap Arta sambil memperhatikan mata Gio yang menatap kosong langit-langit.

"Emangnya tuhan sebaik itu ya bakal ngasih kesempatan lagi?" Lirih Gio.



Hii guysss, aku jarang banget up maaf 😭 minggu2 uas jadi banyak tugas yang harus di kerjain jadi susah buat mikir bikin kata-kata. Maaf banget yaaaa~ dan makasih buat kalian yang udah vote cerita aku 🫶🏻 ga nyangka yang baca udah lebih dari 10k, pokonya makasih banyak dan tetep setia ya sama cerita ini sampai selesai ☺️

Buat typo aku masih sering banyak typonya maaf 😭🙏🏻

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang