38. Hubungan yang renggang

761 64 7
                                    

Beberapa hari terakhir ini Gio tidur di rumah omnya karena dirinya masih belum siap pulang ke rumah.

Namun kali ini Gio tidak datang ke rumah Verrnon melainkan Fito karena tiap waktu Vernon selalu menceramahinya. Karena jengah Gio pun memutuskan ikut ke rumah Fito.

Berbeda dari di rumah Vernon, yang biasanya Gio hanya tidur-tiduran di kamar sambil meng —scroll fyp nya, di rumah Fito banyak kegiatan lain yang di lakukan oleh Gio seperti membantu Hera memasak, bermain game dan aktivitas lainnya.

Sekarang saja Gio sedang sibuk dengan Hera untuk memilih perintilan interior yang akan di beli oleh wanita yang usianya hampir menyentuh kepala 4.

"Kalau kata aku si bagus pake chandelier tan kalo buat tema classic mah, biar keliatan elegantnya."

"Oh gitu ya? Nanti tante coba konsultasiin ke desainter interiornya deh."

Hera memang berencana mengubah tampilan rumahnya lagi dan kali ini rencananya bertemakan klasik.

Fito hanya memperhatikan mereka berdua yang asik berbincang dan melupakan keberadaannya. Dia tidak ikut bergabung dengan obrolan itu karena tidak tertarik dan juga dia ga begitu mengerti mengnai hal tersebut.

Setelah begitu lama Gio dan Hera berbincang di ruang keluarga Hera pun izin pergi karena harus kunjungan ke salah satu restorannya dan akhirnya Gio dan Fito pun memutuskan naik ke atas.

Gio langsung saja meluruhkan tubuhnya di kasur milik Fito begitu pun dengan Fito.

"Akhirnya bisa rebahan." Desis Gio.

Sedari pulang sekolah tadi hingga waktu makan malam Gio belum juga berbaring di kasur dia terus melakukan hal ini dan itu dengan Hera.

"Kan udah gua bilang gausah ladenin kemauan bunda gua, cape kan lu."

"Gapapa lagian seru kok," jawab Gio, sebenarnya dia juga ingin melakukan hal tersebut sama mamanya tetapi Alya orang yang selalu sibuk jadi tidak ada waktu untuknya.

Tidak mau larut dalam pikirannya sendiri Gio pun menghidupkan ponselnya membuka aplikasi chat berwarna hijau.

Beberapa menit Gio memperhatikan isi chatnya kepada Jeno yang belum ada balasan, lama-lama dia kesal sendiri dan mem blokir nomor kakaknya itu.

"Vernon bilang lu belum nentuin mau kemo kapan, kenapa emangnya?" Tanya Fito.

Gio terdiam sejenak, karena ini lah Gio malas bersama Vernon. Sepupunya itu selalu saja memaksanya melakukan kemoterapi untuk pengobatan.

Bukanya tidak mau sembuh, Gio hanya takut saat melakukan kemo dia tidak dapat melakukan banyak hal lagi karena efek sampingnya. Jujur saja kemoterapi sangat menyiksanya karena dulu dia pun pernah melakukan hal itu.

"Gua belom siap." Jawab Gio sekenanya.

"Gua ga tau apa yang bikin lu ga siap tapi gua harap lu bisa cepet dapet pengobatan." Ucap Fito.

Ada sedikit keraguan di hatinya, apa mungkin dia bisa sembuh? Mengingat perkataan om Artha di hasil pemeriksaan terakhirnya kalau kankernya sudah menyebar di organ tubuh lainnya bahkan kemotetapi mungkin tidak begitu berefek nantinya.

Dia tidak ingin terbaring lemah karena obat kemoterapi di waktu-waktu terakhirnya. Meskipun sekarang pun sakitnya juga menyiksa.

"Yaudah lu istirahat gih muka lu udah pucet gitu kaya mayat idup."

Fito memang kelewat pekanya, sedari tadi dia terus memperhatikan sahabatnya. Mulai dari pulang sekolah tadi sebenarnya dia sudah menyadari dari nafas berat sahabatnya itu, bahkan dia sudah melarang Gio untuk mengikuti aktivitas yang Hera lakukan tadi namun anak itu tidak nurut.

Setelah menelan beberapa pil pahit yang dia dapatkan dari rumah sakit kemarin Gio pun mulai tertidur, perlahan mimpinya menjemput.

.
.
.

Lagi-lagi Gio berakhir di rumah sakit. Tempat itu sudah seperti rumah keduanya karena akhir-akhir ini dia bahkan lebih sering ke rumah sakit daripada rumahnya.

Semalam Fito dibuat kalang kabut karena Gio yang terbatuk tanpa henti bahkan hingga mengeluarkan bercak darah. Dengan segera Fito menghubungi Vernon dan membawa Gio ke rumah sakit terdekat karena tidak mungkin jika dibawa ke Jakarta sedangkan kondisi Gio saat itu sangat memprihatinkan.

Setidaknya Gio mendapatkan penanganan sementara di rumah sakit tersebut. Barulah sorenya disaat kondisi Gio sudah sedikit membaik dia di rujuk ke rumah sakit di Jakarta, tepatnya rumah sakit Gama.

Gama duduk di kursi tepat di samping ranjang pesakitan Gio. Ia menatap wajah tenang cucuknya dengan mengenakan masker oksigen. Matanya masih terpejam sejak tadi. Melihat Gio yang terbaring lemah gini rasanya sangat menyedihkan.

Sudah hampir tiga jam Gama di dalam ruangan Gio seakan-akan dia tidak mempunyai pekerjaan, dia mengabaikan semua kesibukannya untuk menemani cucuknya yang dirawat.

Herannya tidak ada satupun dari kedua orang tuanya yang datang sekedar merawatnya, Gama sudah berusaha menghubungi Dafa dan Alya namun tidak ada satupun balasan dari merekaz

Bahkan Gama sudah meminta bawahannya untuk menghampiri mereka kerumahnya namun tidak ada siapa-siapa disana.

Untuk kedua kalinya Gama kecewa dengan Dafa. Dulu hingga kini sikap buruk anaknya itu tidak juga berubah. Selalu hilang dan pergi entah kemana seakan melupakan hal yang jauh lebih penting yang menjadi tanggung jawabnya.

(Bapak sama anak sama aja, buah ga jatuh jauh dari pohonnya 👍)

Saat itu Gama menjodohkan Dafa dengan seorang wantita pilihannya. Seorang anak profesor sepertinya, tentu saja mereka dijodohkan dengan latar belakang keluarga yang sama.

Anak seorang profesor pemilik rumah sakit besar, keluarga berada, dan sama-sama dari jurusan universitas kedokteran terbaik di dunia.

Dafa saat itu hanya pasrah tidak dapat menolak permintaan ayahnya.

Di saat acara resepsi pernikahan sudah disiapkan bukannya menjadi acara yang megah dan bahagia malah kacau berantakan.

Mempelai pria yang seharusya melakukan akad tersebut malah memperkenalkan wanita lain di acara tersebut dan sudah mengaku memiliki anak, padahal tidak itu hanya alibinya saja agar acara tersebut digagalkan.

hal itu tentu saja membuat Gama murka pada Dafa karena sudah mempermalukannya di depan banyak orang dan mau tidak mau resepsi pernikahan tersebut dibubarkan.

Dengan amarahnya yang membabi buta Gama siap membalaskan dendamnya pada wanita yang di bawa Dafa saat itu yang tidak lain adalah Alya.

Gama membalasnya dengan menjatuhan martabat keluarga Alya hingga mereka semua terpuruk dan ayah dan ibunya Alya memutuskan bunuh diri. Tentu saja Dafa marah pada ayahnya karena sudah keterlaluan pada Alya, karena sebenarnya Alya juga tidak tau rencana Dafa saat itu dan hanya mengikuti saja.

Bahkan Dafa sampai berlutut pada Alya dan memohon atas permintaan maafnya hingga akhirnya Alya memaafkan kekasihnya itu.

Karena hal itu lah hubungan ayah dan anak ini merenggang.

Paper CutsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang