Mate.
Kata itu bukanlah kata yang sederhana seperti saat kita melafalkannya.
Menjadi mate adalah sebuah tanggung jawab yang bisa dikatakan abadi.
Jaehan tentu menyadari. Bisa dibilang ia juga tengah menunggu kedatangannya mate-nya, agar lengkap tujuan hidupnya. Namun, dari semua werewolf yang ada di Antella, mengapa harus Shin Yechan orangnya?
Ia sudah menerima -tak sengaja, sangkalnya. Kini, Sebin berkata bahwa itu tak bisa dibatalkan begitu saja. Tidak, saat ada beberapa resiko yang mungkin terjadi pada mereka.
Lantas, apa ia harus menerima? Begitu saja?
Haruskah ia menyerahkan kepemimpinan pada sosok yang pernah menjadi momok?
Shin Yechan mungkin tak tahu apa-apa, tapi apakah Jaehan bisa begitu saja percaya sementara ia sendiri tahu ada jiwa sang adik dalam diri pemuda yang kini menjadi takdirnya.
Juga, ia pasti akan dijadikan lelucon oleh Enigma yang pernah ia tolak eksistensinya.
Merasakan kemarahan tak wajar muncul dari dalam dirinya, Jaehan menggeram sebelum wujud sempurnanya kini berubah menjadi setengah serigala dengan mata kuning yang sudah menyala.
Melompat dari balkon kamarnya, Jaehan berlari dengan kecepatan tak wajar ke arah hutan. Terlebih saat ia menyadari bahwa ia tengah dikejar.
Tak lain dan tak bukan-
Shin Yechan ...
Yechan berlari menuju hutan. Berbeda dengan hutan lain yang memang mengelilingi markas besar pack Antella, yang ia tuju adalah hutan yang terlarang bagi semua werewolf di dalam kawanannya.Bukan karena hantu, tapi karena perbatasan antara makhluk lain yang ada di sekitar sana saat itu.
Tak peduli, Yechan hanya ingin memancing Jaehan agar menjauh dari kawanan yang mungkin sebentar lagi akan mengejar dan menangkapnya.
"Kim Yechan!"
Yechan mengangkat sudut bibirnya, namun tak ada niat berhenti, meski Jaehan memanggilnya berulang kali.
Sampai mereka tiba di tepian sungai.
Melompati sungai, sama saja mereka mencari mati, karena itu Yechan berhenti. Menunggu saudaranya yang berada tepat di belakangnya.
Begitu Jaehan tiba, Yechan langsung berbalik, dan tanpa mengatakan apa-apa menubruk sang kakak yang langsung tumbang karena tak menduga akan tetap diserang.
Menahan leher Jaehan, Yechan menunduk, membungkuk. Geramannya teredam karena suara arus dari sungai di belakangnya.
Jaehan mencoba melawan, namun kekuatan Yechan seolah baru kali ini Jaehan rasakan .
Membuatnya mulai berpikir bahwa mungkin benar jika dalam pertarungan memperebutkan kepemimpinan, adiknya ini sengaja mengalah padanya.
Lalu, apa?
"Katakan, apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?"
"Bukankah sudah kukatakan, aku hanya ingin hyung menjadi mate-ku."
Masih di bawah intimidasi yang Yechan beri, Jaehan mencoba untuk menjelaskan sekali lagi, bahwa mate bukanlah sesuatu yang bisa mereka pilih sendiri.
Namun, Kim Yechan memang sekeras kepala ini.
"Kalau begitu, haruskah aku membunuh mate-mu dulu agar kau tak lagi memiliki pilihan selain aku?"
*
*
*
Ingatan yang sempat terlupakan itu kembali, menyentak Jaehan hingga membuat werewolf itu berhenti berlari.
Di belakangnya, mungkin karena tak menyangka Jaehan akan berhenti dengan tiba-tiba, Yechan yang memang mengikuti pun akhirnya menubruk hingga keduanya sama-sama tersungkur ke dalam semak belukar. Beruntung, itu tak berduri.
"Akh!" Yechan memekik, namun Jaehan masih terdiam seolah tak merasakan sakit sama sekali.
Yechan melihatnya, tatapan Jaehan yang kosong itu, tak ayal membuat Yechan merasakan kepanikan.
"Kim Jaehan?!" serunya.
Jaehan mengerjap, lalu membalas tatap.
"Kau ... Shin Yechan, 'kan?"
"Uhm. Kau kenapa? Ada yang sakit atau ada sesuatu yang membentur kepalamu? Katakan padaku!"
Yechan berusaha memeriksa, namun Jaehan justru menepis tangannya.
"Ada apa?"
Jaehan tampak takut, juga khawatir. Yechan semakin dibuat berpikir.
"Kim Yechan ... dia pernah berkata akan membunuh mate-ku. Kau ... kau sungguh tidak apa-apa, 'kan? Dia tidak melakukan sesuatu padamu, 'kan?"
Yechan yang mendengar itu pun memiringkan kepala, mencoba berbicara dengan Enigma dalam dirinya, namun hanya satu yang Kim Yechan katakan, "Dasar bodoh ..."
Tentu itu ditujukan untuk Kim Jaehan.
Sepemikiran dengan serigala yang dianggap kejam ini, Shin Yechan pun tertawa. Membuat Jaehan sedikit merasa kesal karenanya.
"Yechan-ah, aku tidak bercanda!"
Kening Jaehan diketuk, "Bodoh. Jika aku mati, kemana jiwanya akan pergi? Tentu dia akan ikut mati."
Jaehan mengerjap, tak peduli dengan kata bodoh yang Yechan lontarkan, ia kembali bertanya, "Benarkah? Jadi, dia tak bisa melukaimu? Tak bisa membunuhmu?"
Yechan mengangguk, "Tentu. Lagi pula, aku tidak selemah itu. Sebenarnya, aku satu-satunya yang bisa mengendalikannya. Jadi, kau bisa tenang, Tuan Muda."
Mendengar itu, Jaehan mendesah lega, dan tak tahu mengapa, ia yang sudah kembali dalam wujud manusia itu langsung menghambur memeluk Yechan yang beruntung masih bisa menahan tubuhnya.
Terjatuh sekali lagi, mereka bisa basah kuyup karena dibalik semak ini mengalir air sungai yang ia perkirakan cukup dalam juga.