Rencana, ya?
Salah satu alasan ia berada di tempat ini, di titik ini adalah Kim Yechan. Akan tetapi, sudah beberapa waktu Yechan tak melihat lagi enigma itu.
Hawa keberadaannya masih terasa, itu artinya Kim Yechan masih ada di dalam dirinya. Di suatu tempat yang mungkin terlalu gelap untuk sisi manusianya.
Jika ditanya rencana, Yechan tentu tak bisa sembarangan bicara.
Orang lain mungkin tak bisa mendiktenya, tapi Kim Yechan berbeda.
Mereka pada dasarnya adalah satu. Itulah mengapa banyak yang berkata di belakang mereka bahwa kini pemimpin Antella adalah dua.
Seorang Alpha muda entah dari tanah mana, dan sang Enigma yang pernah dihukum karena mengacaukan tanah kelahirannya.
Berharap saja ini tak menjadi era terburuk Antella.
"Jika ada pack yang mencoba menyerang ..." Yechan menunduk, menatap pemandangan jalan yang masih bisa tertangkap dari jendela kamarnya. "-musnahkan saja semuanya."
Entah siapa yang bicara. Apa itu mate dari kakaknya, atau sudah diambil alih sepenuhnya oleh adiknya.
Sebin mengangguk, "Yechan-ah ... kau tahu, apapun yang kau ucapkan sekarang, kini sudah sah menjadi perintah."
Akan tetapi, berharap sang pemimpin untuk berhati-hati, rasanya hanya akan menjadi mimpi.
"Lain kali, pikirkan dulu sebelum mengatakan sesuatu."
**
Perjalanan pulang tak memakan waktu lama seperti saat berangkat. Jaehan dan Hyuk tak banyak bicara, keduanya sama-sama memikirkan apa yang akan mereka katakan saat tiba.
Obat sudah di tangan, entah berguna atau tidak mengingat Yechan sudah siuman.
Pemulihan mereka tentu akan cepat saat kesadaran sudah kembali sepenuhnya.
Namun, itu tak penting lagi.
Kebenaran tentang kelahiran, juga identitas sebenarnya dari Shin Yechan, apakah itu akan mereka bagikan, atau tetap mereka jaga sebagai rahasia.
Selain itu, penobatan harus segera dilakukan, karena masa kekosongan adalah yang paling menentukan.
Pemberontakan, penyerangan karena ketidak-puasan, ditambah ada berapa banyak pack yang ingin menggulingkan Antella. Semoga saja apapun yang Jaehan pikirkan dan alami dulu, kini tak terulang lagi.
Jujur saja, itu sangat melelahkan bahkan bagi dirinya yang dulu masih menjadi alpha.
Saat tengah tenggelam dalam pikiran, mobil yang mereka naiki tiba-tiba berhenti.
"Ada apa?" tanya Jaehan pada supir yang kini diam menatap ke arah depan.
"Ada yang menghadang di depan sana." Hyuk meraih kenop pintu, "Biar aku yang keluar, kau di sini saja."
"Kenapa?"
Hyuk menoleh, "Serius kau masih tanya kenapa? Sadarlah, kau sekarang bukan lagi seorang alpha."
Karena Hyuk bisa merasakan bahwa yang ada di depan bukanlah hal yang bisa diajak bicara tanpa harus melakukan pertarungan.
Jika terjadi sesuatu pada Jaehan, Hyuk mungkin yang akan disalahkan oleh Yechan.
Jawaban Hyuk cukup kejam, namun mau tersinggung pun Jaehan juga tahu itu kebenaran.
Jika memang itu adalah bahaya, Jaehan mungkin masih bisa bertarung, namun tak mungkin sekuat dulu. Pada akhirnya, Jaehan harus sadar jika ia hanya akan menjadi beban.
Terlebih Enigma, mereka tak bisa bekerja sama, mereka lebih senang bekerja sendirian saja.
"Hati-hati ..."
Hyuk tak menjawab dan hanya pergi.
Dari matanya yang memang bekerja lebih baik saat malam hari, Jaehan bisa melihat beberapa werewolf yang berada dalam wujud asli mereka.
Hyuk yang sebesar itu pun tampak kecil karena masih dalam bentuk manusianya. Mereka tampak berbincang, tak cukup tegang, namun Jaehan bisa merasakan Hyuk tak dalam suasana hati yang baik saat itu.
Jaehan mengerjap, merasa aneh karena tiba-tiba ia bisa merasakan suasana hati adik iparnya.
Bahkan saat ia mencoba melihat ke arah supirnya, Jaehan juga bisa merasakan sedikit ketakutan meski masih berbalut ketenangan.
"Kau takut?"
Supir itu jauh lebih muda dari dirinya. Sengaja dipekerjakan karena orang tuanya yang sudah bekerja di kediaman Kim sejak lama.
"Eh, uhm ... ti-tidak, Tuan Muda ..."
Jaehan tersenyum, lalu menepuk bahu pemuda itu. "Tenang saja, pria besar itu akan membereskannya jika mereka memang memiliki niat buruk pada kita. Kau tahu Hyuk bagaimana, 'kan?"
Benar saja, belum juga pemuda yang memegang kemudi itu mengangguk, terdengar suara bruk yang cukup keras menghantam mobil bagian depan.
Jaehan terbelalak. Ia pun membuka jendela mobil untuk mengumpati adik iparnya. "Sialan, Yang Hyuk! Jangan mobilnya!"
Namun, tindakan impulsif Jaehan yang hendak keluar dari mobil, untung saja berhasil dicegah oleh pemuda yang sebenarnya sudah gemetaran di bangkunya.
Jaehan mendesah, cukup keras karena kesal.
"Serius, aku tak pernah hanya duduk diam saat ada pertarungan. Kau tahu itu dan sekarang kau mengurungku?"
"Ma-maafkan aku, Tuan Muda."
Bagaimana pun, dihajar Hyuk tampaknya jauh lebih menyakitkan daripada diomeli oleh Jaehan.