Di Situ Lembang.
Hari sudah mulai senja, Shila, Fadly dan Rafa sangat khawatir pada Dion dan Tara, mereka kebingungan untuk menghubungi mereka, semua nomor yang mereka coba tidak aktif, mereka yakin Tara dan Dion akan datang tetapi entah apa alasan mereka tak kunjung datang.
"Udah jam segini mereka masih belum dateng? Gue khawatir, apalagi cuaca hujan sama dingin banget," tanya Shila pada Fadly dan Rafa.
"Jalan-jalan dulu mungkin Shil, udah lo ga usah khawatir, ga mungkin juga Tara di culik sama Dion kan? Palingan lagi asik tuh mereka berdua!" canda Rafa dengan santai.
"Gue lagi ga bercanda Raf!" jawab Shila kesal dengan candaan Rafa yang tidak pada tempatnya.
"Sudah tidak perlu bertengkar lagi, mungkin mereka terjebak hujan atau memang jalanan macet lagipula tidak ada yang bisa kita lakukan selain menuggu dan mendoakan mereka agar selamat, mereka pasti datang" jawab Fadly bijak mendinginkan suasana.
"Iya sory, abisnya lo bercanda di keadaaan yang ga tepat bikin gue naik darah! Ya udah sekarang kalian bantuin gue buat bagiin makanan ya, anak-anak juga kayanya dah mulai laper," pinta Shila mencoba menghilangkan amarahnya pada Rafa.
Mereka bertigapun membagikan makanan dan memutuskan untuk menunggu tanpa ada hal lain yang bisa mereka lakukan meskipun hati mereka sangat tidak tenang dengan pikiran yang bercabang.
Keadaan Tara dan Dion.
Jalan tanah yang licin dan becek karena terguyur hujan menghambat perjalanan mereka, tak jarang mereka jatuh bangun karena tergelincir dan terkena patahan ranting yang tajam, keadaan itu hampir terus mereka temui selama perjalanan, setelah 30 menit perjalanan mereka lalui, Dion yang berada didepan memegang kertas dan memberi ciri tali rapia merah pada setiap jalan yang sudah mereka lalui meskipun dari penuturan Pak Sujiwo penjaga warung jika berjalan kaki memutar paling lama akan menempuh perjalanan selama 60 menit membelah hutan dan jalannya tidak banyak belokan, tetapi Dion berjaga-jaga memberi tanda jika terjadi hal yang tidak diinginkan.
Mereka terus berjalan menembus hutan, udara yang dingin membuat Tara bersin-bersin, beberapa kali mereka harus melompat melewati pohon tumbang yang disebabkan angin kencang.
Sesampai disebuah pertigaan langkah Tara terhenti karena ragu untuk melangkah dan memilih untuk menunggu Dion yang sedang mengamati gambar.
"Dari sini kita belok kanan apa kiri?" tanya Tara tidak ingin banyak berdiam diri.
"Kita masih ambil jalan kiri kalau menurut gambar yang Pak Mamat buat, nanti didepan kita bakal nemuin makam penduduk desa yang ketutupan sama pohon bambu jadi lo jangan ngomong apa-apa atau sompral," ujar Dion mengingatkan Tara.
"Maksud lo kuburan gitu? Yakin lo ga ada jalan lain? Gue ga apa-apa kalau harus jalan muter asal please jangan lewat kuburan," Tara memelas berharap Dion mencari jalan keluar.
"Ga ada jalan lain! Lo ga mau kan kita nyasar di tengah hutan belantara? Di kertas ini cuman ada gambar satu jalan, lo jangan bikin gue tambah pusing, lo sekarang jalan dibelakang gue, ga usah diliat cukup tutup mata, ga bakal nyampe setengah jam ngelewatin jalan itu, lo harus bisa ngelawan rasa takut, jangan manja!" jawab Dion tegas tak bisa berkompromi.
Tara cemberut medengar jawaban Dion yang ketus sepertinya Tara memang tidak bisa melakukan apa-apa, Tara memang harus melawan rasa takutnya dan menyetujui saran Dion.
Jalan setapak mulai berganti bebatuan, disebelah kiri terdapat lahan khusus, batu nisan dengan gundukan tanah merah tanpa nama mulai terlihat, beberapa kuburan berjejer hanya batu yang menjadi tanda bahwa gundukan tersebut adalah kuburan, ditambah dengan suara pohon bambu yang bergesekan disapa angin berisik membuat suasana semakin mencekam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembur Kuntilanak
HororRasa penasaran kadang menjerumuskan kita pada suatu hal yang tidak terduga, begitu juga dengan apa yang dialami oleh Ashila, Dion, Fadly, Rafa dan juga Tara, mereka tidak sengaja masuk ke dalam sebuah desa yang sudah lama ditinggal oleh penghuninya...