Chapter 56.4

2 0 0
                                    

Akhirnya, Cleon menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya, Kerajaan Austria. Suasananya masih sama, seperti di neraka. Tatapan sinis orang-orang saat melihatnya dan segala umpatan mereka.

Namun, Cleon tidak memedulikan itu. Hatinya tercabik-cabik saat disuguhkan pemandangan mengerikan. Ribuan orang tergeletak lemah di segala penjuru. Lorong, jalan, depan ruko dan rumah, bahkan sampai di bak sampah.

Mereka meraung kesakitan karena sebagian tubuhnya telah membusuk dan dihinggapi belatung dan lalat. Darah yang sudah menghitam menggenangi tanah itu, membuat aroma amis dan bangkai menguap dan mengganggu penciuman.

Namun, itu tidak mengusik Cleon. Ekspresinya tetap dingin.

"H-hei, bukankah kau anggota bangsawan Seraphine?"

Cleon menoleh pada seorang pria tua mengenakan pakaian lusuh berlumuran darah. Dia duduk bersandar lemas di dinding dengan napas tersengal-sengal.

"K-kenapa kau kembali, Pengkhianat? Seharusnya kau mati dan membusuk sepertiku." Mata sayu pria itu menatap Cleon sinis. Dia terbatuk-batuk darah di tengah napasnya yang makin berat. "Semua kekacauan ini gara-gara kau."

Cleon berusaha tenang, lalu pergi menuju rumahnya.

"Akhirnya, kau sudah kembali." Wanita tua tersenyum manis pada Cleon.

"Di mana Angeline?" Suara Cleon terdengar dingin sambil melepas sepatu. "Apakah dia baik-baik saja? Ibu tidak melupakan memberikan obat buatanku, kan?" Pemuda itu mengabaikan basa-basi tersebut.

Ibu menunduk. Ekspresinya berubah sendu.

Cleon melirik sang ibu yang membisu. Ibu tampak tertekan dan tertekun. "Kau tidak perlu menjawab. Aku sudah tahu jawabannya." Dia tidak membutuhkan jawaban lagi. Semuanya terjawab dari wajah wanita yang telah melahirkannya itu.

Cleon masuk ke rumah sederhananya, yang jauh dari perkotaan dan tersembunyi di sebuah desa. Dia sengaja memilih rumah itu untuk menghindari amukan rakyat dan kekejaman kerajaan, yang mengeluarkan perintah untuk membakar kota atau desa yang terkontaminasi dampak Black Death.

Cleon mematung di depan pintu kamar adiknya, Angeline. Dia menarik napas dalam dan mengembuskannya, berusaha menyiapkan mental untuk menatap wajah adiknya.

Dengan tangan gemetar, Cleon menggenggam gagang pintu, lalu  mendorongnya lembut agar tidak menimbulkan bunyi derit yang tak berarti.

"Ka-kakak? Apakah itu kau?"

Langkah Cleon seketika terhenti di ambang pintu. Hatinya bagai tertusuk ribuan belati saat mendengar suara yang makin lemah itu. 

Apalagi saat Angeline mengetahuinya tanpa melihatnya. Bagaimana bisa sang adik mengetahui kehadirannya saat dia belum menyapa? Apakah dia begitu merindukan dirinya?

"Kenapa kamarmu begitu gelap, Angel?" Cleon menahan hati, dan melepaskan jubah hitamnya dan menggantungnya di dinding, lalu mengambil api untuk menghidupkan suluh.

"Ja-jangan nyalakan apinya, Kak," cegat Angelina terbata-bata. "Aku mohon ...."

"Kenapa?" Cleon tidak bisa melihat apa pun, bahkan tangannya. Padahal dia ingin melihat wajah cantik sang adik setelah sekian lama tidak bertemu.

"A-aku ... tidak mau Kakak melihat diriku seperti ini."

Cleon tertegun. Dadanya sesak.

"Aku sudah bosan mendengar suara tangisan, Kak." Angeline terkekeh lirih. Kamarnya dekat dengan jendela, sehingga memungkinkan dia selalu mendengar ratap tangis rakyat yang berada di balik tembok.

Cleon menguatkan hatinya saat kedua matanya mulai berkabut. Dia harus tegar di depan Angeline.

Dia duduk di samping Angelina terbaring. Bau busuk yang menyengat tidak membuat Cleon risi atau muntah.

The Blood Judgement I : ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang