Chapter 57.7

1 0 0
                                    

Zou terbangun dalam kegelapan yang pekat. Satu-satunya yang bisa ia lihat hanya kegelapan. Dia memandang sekitar dengan panik saat tidak ada secercah cahaya yang menyinari.

“Di mana aku?” gumam Zou gemetar. Dia mencoba berteriak, tetapi suaranya teredam oleh kehampaan yang mengelilinginya.

Tidak ada jawaban maupun pantulan suara, hanya kesunyian yang menakutkan.

Dia meraba-raba sekitar, tetapi tidak menemukan apa pun yang dapat disentuh.

“Apa yang terjadi?” Napas Zou memburu.  Kegelapan adalah ketakutan terbesar Zou. Kegelapan bisa membuatnya tidak mampu bergerak atau bertindak.

Dia meraba-raba di sekitarnya, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya keluar. Namun, dia hanya menemukan kegelapan yang mengepungnya.

Tidak ada pintu, jendela, bahkan dinding. Setiap sudutnya terasa sama, membuatnya bingung dan putus asa.

Setelah berkeliling berjam-jam, dia berhasil menemukan sebuah titik cahaya yang sangat jauh. Dia bergegas mendekati cahaya misterius tersebut dan menemukan sebuah layar transparan yang menampilkan tubuh fananya sedang meluluhlantakkan Dinasti Yuan.

“Apa ini?” Dia menyentuh benda aneh tersebut, tetapi tangannya menembusnya.

Zou mengernyit heran. “Siapa yang mengendalikan tubuhku? Apakah makhluk tak kasat mata yang berbicara sebelum aku mati itu?” Dia mengeram murka. “Beraninya dia mengambil alih tubuhku! Aku harus kembali dan menghancurkannya!”

Dia kesal karena merasa tertipu dan dimanfaatkan oleh entitas yang tidak ia kenal tersebut.

“Tetapi bagaimana cara aku keluar dari tempat ini?” Dia mengamati sekitar, berharap ada pintu. Tempat itu seperti ruang tak berdinding.

Zou menepuk-nepuk pipinya, mencubit tubuhnya, berharap bisa terbangun. Namun, sia-sia saja.
Dia tetap terjebak di ruang mengerikan itu.

“Selamat datang di kerajaanku.”

Sebuah sinar emas muncul dari belakang Zou.

Zou menegang. Bulu kuduknya merinding saat suara asing menggema di telinganya. Dia benci mengakuinya, tetapi tubuhnya otomatis gemetar hebat karena aura intimidasi yang kuat melingkupi segala sudut ruangan tersebut.

Suara itu terdengar amat dingin, tetapi penuh wibawa dan otoritas. Zou belum pernah mendengar suara mengerikan seperti itu di antara manusia.

Dengan takut-takut, Zou memberanikan diri berpaling ke belakang karena penasaran.

Dari kegelapan yang pekat, perlahan muncul cahaya redup. Cahaya emas itu semakin terang saat menghampirinya, tetapi tidak memberikan rasa nyaman dan aman. Auranya dingin dan tidak bersahabat.

Ketika makin mendekat, Zou syok melihat sebuah gumpalan raksasa dengan ribuan mata raksasa melayang-layang. Sangat besar hingga tampak seperti monster.

Mata itu berkedip-kedip mirip mata manusia dan pupilnya seperti ular. Mata itu bergerak-gerak ke segala arah, seolah mengawasi sesuatu.

Hal itu memberikan tekanan besar bagi Zou. Dia merasa sedang diawasi dari setiap sudut pandang.

“S-siapa kau?” Zou berusaha berbicara, tetapi suaranya hanya keluar sebagai bisikan putus asa

Dia tidak bisa bergerak, seakan tubuhnya terpaku oleh pandangan mata-mata itu. Dia ingin lari, tetapi kakinya terasa seperti dipancang ke tanah.

“Akulah sang pencipta.”

Zou ambruk akibat tungkainya mendadak lemah. Mata melotot ketakutan. Dia merasa seluruh staminanya lenyap secara misterius.

“Sang Pencipta? Tuhan”

Jantung Zou berdegup kencang hingga dia bisa mendengar detaknya di ruang sunyi tersebut. Dia tidak memercayai apa yang baru saja dia dengar?

“Akulah yang melihat segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, dan yang memutuskan nasibmu.”

Aneh. Padahal Zou bisa tetap tenang saat ribuan musuh mengepungnya dari segala sisi, tetapi berbeda dengan makhluk itu. Dia merasa seperti tidak berdaya di hadapannya.

“Ke-kenapa aku bisa berada di sini?” tanya Zou gemetar. Dia mencoba mengumpulkan keberanian, tetapi suaranya tetap terdengar takut.

“Karena aku mengundangmu,” jawab sang pencipta datar.

“Ma-maksudmu ... aku sudah mati?”

“Ya.”

“Tidak mungkin.” Zou menggeleng kuat-kuat. “Aku tidak mungkin mati!”

Wajah pria gagah itu memucat dan sinar matanya redup akibat ketakutan.

Dia merasa depresi saat mengingat masa hidupnya yang kejam. Dia telah membunuh banyak manusia. Apakah tuhan datang untuk melemparkannya ke neraka?

Zou langsung lari terbirit-birit meninggalkan gumpalan mata itu. Namun, tiba-tiba gumpalan mata itu sudah berpindah ke belakang dan menghadangnya.

Dia terbelalak. Bagaimana bisa bola mata itu berpindah dari belakang ke depannya dalam sekejap mata?

Tak berputus asa, Zou berputar arah kembali kabur demi menyelamatkan diri, tetapi gumpalan mata itu sudah berada di depannya lagi.

“Sia-sia saja. Apa pun yang kaulakukan, kau tidak akan pernah bisa kabur dariku.”

“Menyingkir dari depanku, sialan!” teriak Zou kesal sekaligus putus asa.

Dia belum siap mati.

“Seharusnya kau bersyukur karena kau satu-satunya manusia, yang dirasuki Malaikatku, aku undang menemuiku.”

“Aku tidak peduli!” Zou berlari, tetapi gumpalan itu terus-menerus mengekorinya. Ke mana pun dia pergi, monster itu selalu menghadangnya.

Zou jatuh tersungkur dengan napas terengah-engah. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. Dia lelah dan takut, tetapi tidak ada jalan keluar.

Dia menatap sekelilingnya putus asa. Tidak ada pintu sama sekali selain dinding kegelapan yang tak berujung.

Dia butuh penolong, tetapi tidak ada seorang pun bersamanya.

Zou meraung dalam kepedihan. Dia tidak mau mati. Dia sangat kesepian dan ketakutan. Apalagi tuhan berniat membunuhnya.

Dia belum siap menemui ajalnya.

“Berhentilah berjuang. Itu akan membuatmu makin melemah.”

Gumpalan itu kembali muncul di depan Zou.

Zou mengepal tangannya kuat-kuat. Tekadnya makin menggebu-gebu.

Dia kembali bangkit dan berlari, meskipun dia tahu semuanya akan sia-sia. Entah sudah berapa lama dia berputar-putar seperti orang gila. Namun, setidaknya dia sudah berhasil memperlambat kematiannya.

Apa pun yang terjadi, Zou bersumpah akan pulang dan membunuh makhluk membuatnya terjebak ke tempat sialan ini.

Dia akan mempertahankan hidupnya sampai garis akhirnya, meskipun harus menentang  dewa.

“Kau sangat bodoh. Aku mempunyai kekuasaan untuk melakukan apa pun sesuai kehendakku. Termasuk energi Shiang Pian itu. Akulah yang mengetahuinya,” terang Sang pencipta.

“Apakah kau mengira kau bisa menghindar dariku terus-menerus?” lanjut Dewa.

Zou tidak menggubris omong kosong itu dan tetap berlari tanpa arah.

“Argh!” Pria itu terjungkal akibat kakinya mendadak kaku. Dia buru-buru berdiri saat Dewa bergerak mendekat, tetapi kakinya sulit digerakkan.

“Sudah kukatakan. Kau tidak bisa lari dari kemahakuasaanku.”

Zou enggan bicara, karena takut makhluk itu mengira dirinya mengakui ia sebagai dewa. Jika Zou pura-pura tidak tahu, maka gumpalan mata itu akan bosan dan pergi meninggalkannya.

“Pikiranmu sangat naif. Meskipun kau tidak mengakuiku sebagai dewamu, aku tetap berkuasa atasmu.”

Zou melirik Dewa sinis. Bagaimana bisa dia membaca pikirannya?

‘Kau salah mengundangku. Aku sudah mengalami pahit dan manis kehidupan. Lagi pula, aku seorang jenderal yang sudah membunuh banyak orang. Jika kau ingin aku putus asa, sampai mati pun, kau tidak akan pernah berhasil,’ gumam Zou dalam hati. Dia tidak ingin musuhnya tahu bahwa dia ketakutan.

Zou menolak menyerah. Dia  mengesot untuk bergegas pergi dari hadapan Dewa. Namun, Dewa tertawa melihat ciptaannya menganggapnya setara manusia.

“Kau masih belum mengerti maksud perkataanku.”

“Argh!” Tubuh Zou ambruk saat tangannya mendadak tidak bisa digerakkan.

“Bagaimana? Apa kau sekarang mengakuiku?” ejek Dewa.

Zou mengabaikan ucapan Dewa. Dia berusaha menggerakkan tubuhnya seperti cacing. Dia tidak akan menyerah sampai dia berhasil pulang ke bumi.

Dewa hanya diam menyaksikan Zou, mengetes kemampuannya bertahan menghadapi kekuatannya. Manusia itu tidak akan bisa pergi jauh sesudah dia melumpuhkan kaki dan tangannya.

‘Sial! Sial!’ Zou mulai putus asa saat menyadari dia tidak bisa bergerak bebas tanpa kedua anggota tubuhnya tersebut.

Dia berhenti kabur dan memilih meratapi nasib.

Namun, tiba-tiba kegelapan itu lenyap, digantikan oleh kobaran api yang mengepungnya.

‘Di mana aku?’ Zou tertegun sembari melihat ke sekeliling.

Tiba-tiba muncul banyak makhluk aneh yang memegang cambuk api. Mereka menyeringai bengis padanya.

Zou mempertajam penglihatan dan mengamati sekitarnya waswas, mengantisipasi serangan mendadak.

Ketika salah satu menyerangnya, Zou berusaha menunduk, tetapi tubuhnya menolak menurutinya sehingga dia terkena sambetan cambuk itu.

“ARGH!”

Tubuhnya tidak terluka, tetapi rasa sakitnya sangat luar biasa.

‘Apa yang terjadi—‘

Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, musuh kembali mencambukinya.

Mereka tertawa melihat penderitaan Zou, sedangkan dia mengerang kesakitan.

‘Kenapa aku tidak bisa menggerakkan tubuhku?!’ umpat Zou. Dia tersungkur karena tak kuat menahan rasa sakit yang meremukkan tulang-tulangnya.

Perlahan kesadarannya memudar. Matanya terpejam rapat.

Namun, ketika dia kembali membuka mata, dia melihat gumpalan dari ribuan mata itu melayang-layang di depannya.

“Kau ...?” Zou kebingungan dengan peristiwa yang baru saja menimpanya. Sedetik lalu, dia seperti berada di neraka.

Bagaimana dia bisa kembali ke tempat ini?

“Kau tidak perlu bingung. Kau sedang berhalusinasi karena rasa takut yang menguasaimu. Itu disebabkan oleh kemahakuasaanku.”

Zou jengkel saat kembali bertemu makhluk memuakkan tersebut.

Ketika dia menyadari kaki dan tangannya kembali  normal, Zou buru-baru bangun dan berlari, tetapi dia terjatuh ke lubang yang sangat dalam lalu tubuhnya menghantam tanah begitu keras.

“Argh!” Suara dentuman dan gemeretak tulang patah menggema di lubang itu.

Zou merasa seluruh tulangnya remuk.

Dengan susah payah, dia bangkit dan melihat ke atas. Dia menyeringai. Setidaknya dia di sini aman tanpa gangguan makhluk itu.

Sesaat kemudian, Zou merasakan kakinya basah. Dia menunduk, lalu meraba-raba tanah, ternyata ada genangan air.

‘Dari mana asal air ini?’

Bau amis menyeruak di hidung Zou. ‘Darah?!” Dia terbelalak.

Tak butuh waktu lama, air itu makin meninggi hingga selututnya.

“Sial!” Dia berupaya memanjat, tetapi tidak biasa karena tidak ada pijakan kaki. “Tolong! Tolong aku!”

Tiba-tiba banyak orang mengenakan baju perang muncul mengepung Zou. Mereka memegang tombak, anak panah, pedang dan senjata perang lainnya.

“Si-siapa kalian?” ketus Zou terbata-bata.

“Kenapa kau bunuh kami, Jenderal?”

“Kenapa kau tega mengkhianati kami?”

Zou menatap mereka ketakutan. Dia mengenali pakaian yang mereka kenakan.

“Jawab! Siapa kalian?!” bentak Zou murka, berusaha terlihat berani.

“Kami adalah korban-korbanmu,” sahut mereka kompak. “Kau harus mati bersama kami untuk menembus dosa.”

Prajurit Dinasti - dinasti lain dan Etnis Hui itu menyerbu Zou.

“Ti-tidak! Aku tidak mau! Pergi kalian! Jangan mendekatiku!” Zou terdorong mundur saat pasukan prajurit itu bergerak maju untuk menyerbunya.

“Tolong aku! Siapa pun tolong aku!” Zou berusaha memanjat tembok dengan mencakar-cakarnya, tetapi dia tetap gagal.

BLESH!

“Argh!” Zou muntah darah saat salah satu tombak menikam punggung hingga menembus ke dadanya.

Seketika dia tersungkur akibat sekujur tubuhnya gemetar karena rasa sakit yang tak tertahankan.

Dia meraung-raung kesakitan sembari menggelepar seperti ikan kehabisan oksigen. Sialnya, dia tidak bisa mati sehingga rasa sakit itu terus-menerus menjalar di sekujur tubuhku.

BRUK!

Zou terempas saat seseorang menendang badannya kuat-kuat hingga menabrak tembok.

“Bagaimana, Jenderal?” ejek salah satu prajurit. “Bagaimana perasaanmu saat kau menjerit kesakitan tetapi tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu?!”

“Itulah yang kami alami saat kau membunuh kami! Kami tidak berkuasa menyelamatkan diri dari kekuatanmu!” timpal rekannya.

“Ma-maafkan aku. Aku hanya—”

“ARGH!” Mata Zou memelotot kesakitan saat salah satu dari mereka menginjak-injak tepat di lubang lukanya.

“Sakit! Me-menyingkirlah!”

Melihat itu, teman-temannya langsung mengikuti rekan mereka untuk menginjak-injak tubuh Zou.

“ARGH!” Teriakan Zou teredam oleh kegelapan.

Dia putus asa saat menyadari tidak ada seseorang yang akan datang untuk menyelamatkannya.

Pria itu menyesali segala perbuatannya. Disiksa tanpa bisa mati merupakan hal menyakitkan. Kesadarannya tidak lenyap meskipun jantungnya ditikam.

Dia seperti dipaksa hidup hanya untuk merasakan kesakitan.

Mereka mengeroyoki Zou, menganggapnya seperti mainan. Ada yang menendang, meninju dan menikamnya sehingga tubuhnya tercabik-cabik.

Namun, tiba-tiba mereka menghilang dalam sekejap mata. Zou sedikit lega saat mereka lenyap dari dekatnya.

Ketika dia berusaha berdiri, dia mengerang kesakitan akibat luka-lukanya saling bergesekan.

Zou kembali terkapar dalam genangan darahnya. Air matanya meluruh membasahi pipinya.

Dia menatap ke atas dengan putus asa. Berapa lama lagi penyiksaan ini akan berakhir? Apakah masih ada penyiksaan lainnya yang sedang menantinya?

Dia frustrasi dan lelah, tidak menyangka hidupnya akan berakhir di neraka.

Lamunannya buyar saat menyadari ada genangan air yang membasahi dirinya. Kali ini,  air itu bukan darah karena tidak tercium bau amis yang menyengat.

Dalam hitungan detik, genangan  itu terus meninggi dan mulai melahapnya.

Erangan Zou kembali menggema saat luka-lukanya terendam air. Rasa pedih dan nyeri menjalar di seluruh tubuhnya.

Sialnya, dia tidak bisa bergerak sama sekali akibat luka parah yang ia derita.

“To-tolong!” Suara Zou terdengar lirih. Perlahan namun pasti, air itu berhasil menenggelamkannya.

Dia hanyut ke dasar air sambil merintih kesakitan.

Sayangnya, Zou tidak berjuang untuk meloloskan diri. Dia hanya bisa pasrah menerima nasib buruknya.

Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Dia merasa dirinya seperti seorang pecundang lemah yang membutuhkan penolong. Padahal dia selalu dipuja keperkasaan dan kemahirannya di arena peperangan.

Semua orang takut padanya. Dia satu-satunya kunci kemenangan Dinasti Yuan mengalahkan Etnis Hui.

Namun, sekarang dia mirip seorang bayi yang tidak bisa melakukan apa pun.

Tawanya makin lepas saat mengingat betapa lemah dirinya sekarang.

Ketika dia berkedip, dia mendapati dirinya sedang menelungkup di depan gumpalan raksasa itu. Posisi yang sama saat Dewa melumpuhkan kaki dan tangannya.

Namun, Zou tidak berhenti tertawa atau berusaha untuk kabur.

Tidak ada lagi kata-kata makian atau teriak minta tolong.

Dia terus tertawa seperti orang gila, tetapi di dalam batinnya, dia menangis pedih.

Kegelapan kembali menguasai ruangan, hanya menyisakan cahaya emas yang samar. Dia merasa tubuhnya tidak lagi memiliki kekuatan untuk bergerak. Air matanya mulai mengalir, menandakan keputusasaan yang mendalam.

“Aku tidak bisa… aku tidak bisa,” isaknya dengan suara yang pecah. “Tolong… aku mohon.”

.....BERSAMBUNG.....

The Blood Judgement I : ZeroTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang