Mulai Sadar

503 15 1
                                    

⚠️ Cerita ini sedang di revisi ulang. Terimakasih untuk yang sudah bacaa, jangan lupa vote dan komen yaa terimakasih 🙏🥰
____________________________________

Yesya terkejut mendengar suara bentakan Yusuf yang ternyata sudah pulang dan melihatnya yang tengah memegang cincin milik Adiba. Yusuf merebut cincin beserta kotaknya itu dari tangan Yesya.

"Siapa yang nyuruh kamu lancang begini?" Terlihat muka Yusuf mulai memerah karena emosi.

"M-aaf Gus, t-tadi Sya cuma membersihkan meja i-itu dan tidak sengaja menemukan nya." Wajah Yesya tertunduk takut.

"BANYAK ALASAN KAN. DASAR PEMBOHONG. BILANG SAJA KAMU INGIN MENYINGKIRKAN CINCIN ITU. IYA KAN?" Yesya sudah tidak bisa menahan sakit hatinya.

"Astaghfirullah Gus. Jangan berprasangka buruk seperti itu. Sya hanya membersihkan meja ini. Ingat Gus, sekarang sya juga sudah menjadi istri Gus. Istri mana yang tidak mau mendapatkan kasih sayang dari suaminya."

"KURANG AJAR. Heh ingat ya, saya tidak pernah menganggap kamu sebagai istri saya. Kita menikah hanya Karena perjodohan yang bodoh itu." Yusuf membentak Yesya dengan keras.

Emosi Yusuf sudah benar-benar di luar batas. Nafas nya mulai tersengal-sengal dan tidak teratur. Tubuhnya melemas dan cincin yang di genggamnya terjatuh ke lantai. Yesya yang panik langsung mencarikan inhaler milik Yusuf dan memberikan nya kepada Yusuf.

Yusuf menerima inhaler itu. Yesya dengan sekuat tenaga memapah Yusuf untuk menuju ke kasur. Namun nafasnya belum juga stabil dan masih terasa sesak.

Yesya berusaha tenang untuk mencari solusi. Yesya pun mencari alat nebulizer. Karena benda itu lumayan berefek besar dari pada inhaler.

Yesya mulai memasukkan obat Yusuf ke dalam alat tersebut dan setelah semua siap, Yesya membantu Yusuf untuk duduk dan memakai kan alat medis tersebut pada suaminya itu.

Mata Yusuf sudah terlihat sayu karena lemas menahan rasa sesak di dadanya. Terlihat laki-laki itu sedang tersandar lemah diatas kasur.

Yesya mencoba melonggarkan pakaian Yusuf dan membuka jam tangan serta ikat pinggang suaminya itu. Air mata sudah tidak bisa di tahan lagi dengan melihat keadaan Yusuf yang belum juga membaik.

Yusuf menyadari bahwa Yesya sedang menangis. Kemudian laki-laki itu berfikir. "Setulus ini kah dia?" Gumam Yusuf.

Rasa bersalah kembali dirasakan Yusuf, lagi-lagi perkataan Valdy saat di kantor tadi kembali memutar di kepalanya.
Sudah sekitar lima belas menit Yusuf di uap dengan alat tersebut. Namun dia masih merasakan sesak di dadanya. Yesya mencoba untuk kembali bertanya kepada Yusuf.

"Masih sesak Gus?" Yusuf mengangguk lemah.

Akhirnya sekitar tiga puluh menit rasa sesak yang dialami Yusuf mulai mereda. Yusuf melepaskan alat pernafasan nya itu.

"Sudah enakan Gus?" Yusuf pun mengangguk. Yesya mendengar suara perut Yusuf yang sedang keroncongan. Karena sedari pagi dia hanya makan sedikit.

"Gus mau makan?" Yusuf malu karena ternyata Yesya mendengar suara perutnya yang sedang keroncongan.

"I-ya"

"Sya pesanin makanan online dulu ya." Yesya masih ingat kalau tadi pagi Yusuf mengatakan bahwa makanan nya tidak enak.

"N-nggak usah. Masakan ka-kamu tadi saja."

"Gus mau?" Yusuf hanya mengangguk lemah.

Yesya turun ke lantai bawah ndalem dan langsung bergegas menuju ke dapur dan mengambilkan makanan beserta minuman untuk Yusuf.

Perempuan itu benar-benar mempunyai kesabaran yang sangat luas. Bahkan sekarang saja dia dengan tulus merawat Yusuf. Setelah mengambil makanan dia kembali ke kamar.

"Kenapa dia bisa setulus ini?" Gumam Yusuf yang sedang menunggu Yesya kembali ke kamar.

Setelah beberapa saat Yusuf melihat Yesya yang sedang membawa baki berisi makanan dan minuman. Yesya duduk di samping Yusuf.

"Sya, suapin ya?"

"Boleh?" Yusuf malah kembali bertanya.

"Iya boleh dong." Ujar Yesya sambil tersenyum manis meskipun matanya masih terlihat sembab.

Yesya mulai menyuapi Yusuf dengan makanan yang dimasak sendiri olehnya. Tidak ada amarah yang terlukis di mata Yesya, hanya sebuah ketulusan yang terukir di sana.

Rasa bersalah dan juga penyesalan terasa di hati Yusuf. Dia juga tersadar bahwa perlakuannya terhadap Yesya sudah sangat di luar batas. Tidak terasa air mata Yusuf menetes begitu saja.

"Gus kenapa?" Tanya Yesya khawatir dengan keadaan Yusuf.

"Saya boleh peluk?" Lirih Yusuf. Yesya merasa heran dengan permintaan Yusuf. Dia juga bingung harus menjawab apa.

"B-boleh." Yusuf langsung memeluk tubuh kecil Yesya. Laki-laki itu menangis di pelukan istrinya.

Darah Yesya berdesir ketika Yusuf memeluk tubuh nya. Sedangkan Yusuf bisa merasakan kenyamanan di pelukan Yesya.

"Gus kenapa nangis, ada yang sakit?" Yesya semakin khawatir melihat tingkah Yusuf yang tidak biasa ini.

"M-aaf" lirih Yusuf.

Yesya pun memberanikan diri untuk membalas pelukan Yusuf. Di usap nya punggung Yusuf dengan lembut.

"Nggak apa-apa Gus. Sya ngerti, tapi Gus jangan mengulangi perbuatan yang bisa menyakiti tubuh Gus sendiri lagi ya."

"Maaf saya khilaf. Kamu boleh membalas saya dengan apapun. Tapi saya mohon maafkan lah perbuatan saya. Saya menyesal." Yesya menangkup wajah Yusuf lalu menghapus air matanya.

"Sya udah maafin Gus kok" perempuan itu kembali tersenyum kearah Yusuf. Yesya memberikan Yusuf minum. Setelah makanannya habis Yesya turun ke bawah untuk mengantarkan alat makan yang kotor.

Setelah itu dia kembali ke kamar Yusuf. "Gus, istirahat dulu ya" Pinta Yesya kepada Yusuf.

Yusuf menuruti perkataan Yesya. Yesya mulai menyelimuti tubuh Yusuf dengan selimut untuk menghangatkan tubuh nya.

"Kamu mau kemana? Disini saja ya?" Yusuf meraih tangan kecil Yesya. Meski terasa canggung Yesya mencoba untuk menurunkan kemampuan Yusuf untuk tidur di atas satu kasur yang sama.

Setelah beberapa saat mereka berdua pun tertidur. Tepat pada pukul setengah dua pagi Yusuf mengalami batuk hebat. Nafasnya berbunyi dan tersengal.

"Astaghfirullahaladzim Gus"

Ya Hayatirruh (Wahai Belahan Jiwaku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang