TIGA PULUH ENAM

21 2 5
                                    

Sejak sampai di asrama, Taehun tidak sempat melakukan apa-apa. Setelah masuk ia langsung duduk di depan meja belajarnya tanpa melakukan apapun lagi, bahkan mengganti seragampun tidak.

Kyungjun dan Hyunsoo hanya bisa menggelengkan kepala melihat apa yang Taehun lakukan. Sekarang sudah pukul delapan malam, teman sekamar mereka yang satu itu berada di sana sudah tiga jam lebih.

"Tegur gih, sono," kata Hyunsoo.

"Kenapa gak lo aja?" tanya Kyungjun, namun ia tetap melakukan apa yabg Hyunsoo pinta.

Satu tepukan di bahu sukses membuat Taehun terkejut. "Apa?" tanya Taehun pada Kyungjun, si pelaku.

Kyungjun menggeleng lalu berkata, "Lo udah lama duduk, gak pegel apa? Ini juga udah jam delapan, mandi sana. Abis ini ceritain semuanya sama kita."

Taehun menghela nafasnya. "Gue yakin, lo juga udah tahu," ucapnya sebelum melenggang pergi.

Kyungjun memandang kepergian Taehun dengan tatapan aneh, ia tidak mengerti apa yang dimaksud temannya itu.

"Kenapa, Jun?" tanya Hyunsoo.

"Kayanya Tae lagi punya banyak masalah deh, gue tadi nyuruh dia mandi terus ceritain apa yang bikin dia kaya gini. Dan lo tahu dia jawab apa? Katanya dia yakin kalau kita juga udah tahu," jawab Kyungjun.

Hyunsoo berpikir sejenak, ia menebak-nebak masalah yang dihadapi teman sekamarnya. "Kemungkinan besarnya salah satu dari kita berlima udah ada yang tahu, jadi ya... Tae mikirnya itu yang tahu udah cepu ke kita."

"Mungkin, kita tunggu aja abis ini. Kita harus desak dia, Co, biar mau cerita. Gue ngerasa gak ada gunanya jadi temen kalau dia mendem semuanya sendirian," ujar Kyungjun, yang kemudian duduk di karpet bawah.

Hyunsoo ikut duduk di sebelah Kyungjun, ia kali ini sependapat dengannya. Kurang lebih tiga belas menit Kyungjun dan Hyunsoo menunggu, Taehun akhirnya keluar dari kamar mandi dengan pakaian santainya.

"Duduk sini, Hun," ucap Kyungjun.

"Gue mau ngeringin rambut dulu," jawab Taehun seraya duduk di depan kaca.

"Yang keringin rambut lo bukan mulut kan? Jadi ngeringinnya sambil cerita, sebenernya lo ini kenapa?" tanya Hyunsoo, ia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

"Sungjun pasti udah cerita, kenapa harus gue cerita ulang?"

Ingin rasanya Hyunsoo melempar Taehun dengan sesuatu, tapi ia berusaha untuk tetap sabar. "Asal lo tahu, tuh bocah gak ada cerita apapun. Dan kalaupun udah, ngapain kita nanya lagi sama lo?"

"Udahlah, Hun. Cerita aja, kalau kita udah tahu juga gak ada salahnya lo cerita lagi," imbuh Kyungjun.

"Gue curiga sama Minsoo. Dia yang selidikin kasus Jia, dia juga ada saat gue ber- ketemu Jia," ujar Taehun. Hampir saja ia mengatakan yang sebenarnya.

Mata Hyunsoo memicing, ia yakin lebih dari ini. "Terus apa hubungannya sama Sungjun? Itu jelas-jelas Haruto ceritanya baru tadi siang."

"Hallo, Kak?"

Taehun membulatkan matanya mendengar suara Sungjun dari ponsel milik Kyungjun, padahal ia baru saja bernapas lega saat tahu jika Sungjun belum menceritakan apa yang sedang ia hadapi.

"Lo ke asrama gue sekarang, ajak Hwi sama Junhyeok juga," kata Kyungjun sebelum menutup panggilannya sepihak.

"Lo udah gak bisa ngehindar lagi, Hun. Kita tahu ini kehidupan pribadi lo, tapi menurut gue lo udah gak bisa nampung semua itu sendirian. Lo sampe udah gak fokus sama kehidupan nyata lo. Inget, Hun, lo gak sendirian. Ada gue, Hyunsoo, Junhyeok, Hwi sama Sungjun. Lo bisa cerita apapun ke kita. Oh atau, lo udah gak percaya sama kita?" lanjut Kyungjun.

"Bukan kaya gitu, Jun. Gue percaya sama kalian, gue juga sebenarnya gak bisa hadapin ini sen-"

"Terus kenapa belagak bisa hadapin semuanya sendirian, Choi Taehun?" sela Hyunsoo.

Taehun menyerah, ia juga butuh sandaran. Setelah selesai dengan rambutnya, Taehun duduk di sebelah Hyunsoo. "Oke, gue dijodohin sama Jia, dan keluarga gue diambang kehancuran. Semuanya kedengeran simpel tapi nyatanya gak sesimpel itu."

🕸🕸🕸

"Nara, kenapa kamu masih gak mau berubah? Kamu udah janji sama aku!"

Nara memandang suaminya itu dengan tatapan sendu. "Aku cuma gak mau Taehun ngerasain apa yang aku rasain dulu. Ini demi kebaikannya di masa depan."

Minjae menghela napasnya, ia sudah sangat lelah dengan sikap Nara. "Kebaikan? Apanya yang baik? Di mana letak baiknya? Kamu udah hampir bikin dia pergi untuk selamanya-"

"Kamu juga terlibat, Minjae!" sela Nara cepat.

"Iya aku akui aku terlibat, tapi apa kamu lupa sama apa yang akan kamu lakuin kalau aku gak ikut rencana konyolmu itu?" Minjae sungguh menyesal telah mengikuti apa yang Nara mau. Dampaknya baru ia rasakan sekarang. Dulu ia hanya tak begitu dekat dengan anaknya sendiri, sekarang ia benar-benar jauh bahkan tak bisa mengenali kepribadian anaknya seperti apa. "Aku lebih rela kehilangan orang gila harta dari pada kehilangan anakku satu-satunya," lanjutnya.

Nara terdiam mendengar kalimat terakhir yang Minjae ucapkan. Hal itu cukup menusuk hatinya. "Aku cuma gak mau Taehun-"

"IYA NARA, IYA!" Minjae sudah tak bisa lagi menahan amarahnya. "Tapi gak kaya gini caranya, kamu gak akan bikin anak kita bahagia justru kamu malah bikin dia sengsara. Masih banyak cara lain, gak harus kaya gini."

"Tapi saudara kamu-"

"Kita tinggal bilang ke Tae buat gak kasih hak dia ke saudara aku."

"Tapi, giamana kalau dia gak mau nurut apa kata kita?"

















Happy 2nd Anniversary TNX & THX❤

After Big Secret 1990Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang